پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

PENDIDIKAN DAN FAKTOR GENETIK

PENDIDIKAN DAN FAKTOR GENETIK

 

Peranan Genetik dalam Pendidikan

            Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan pendidikan kita perlu mengkaji masalah genetik dan peranannya dalam pendidikan dan pembentukan pribadi seseorang, namun sebelum itu ada beberapa pertanyaan yang perlu dikemukakan di sini:

1.    Apakah sebagian dari sifat dan karakter seorang anak itu mereka warisi dari kedua orangtuanya dan dari kakek-kakek mereka atau tidak?

2.    Jika jawabannya positif, lantas mana yang merupakan sifat bawaan dan mana yang bukan merupakan sifat bawaan?

3.    Apakah sifat dan karakter genetik itu dapat dicegah?

4.    Apakah dengan pendidikan seluruh sifat dan pengaruh genetik dapat diubah?

5.    Apakah faktor genetik dapat bekerja secara sendirian atau untuk memberikan pengaruhnya ia memerlukan kepada faktor-faktor lain?

Yang kami maksud dengan genetik ialah sifat-sifat dan karakter-karakter individu—yang biasa terlihat pada manusia—yang terdapat pada sel-sel sperma kedua orangtua yang berpindah kepada anak-anak mereka. Karakteristik-karakteristik yang terdapat pada sperma inilah yang menentukan perjalanan, perkembangan dan pembentukan kepribadian masa depan anak, baik di dalam maupun di luar rahim.

Sudah sejak lama manusia mengetahui masalah faktor genetik. Mereka mengetahui bahwa seorang anak dalam bentuk tubuh, bentuk wajah, warna kulit dan beberapa sifat fisik dan kejiwaan mempunyai kesamaan dengan kedua orangtuanya, kakek-kakeknya, dan famili-familinya yang lain. Kelak, berdasarkan bentuk wajah mereka akan menentukan seseorang itu dari kelompok atau suku mana. Oleh karena itu, ilmu tentang wajah mempunyai kedudukan yang penting. Dalam pernikahan pun karakteristik fisik dan akhlak suatu suku dan kelompok menjadi bahan pertimbangan.

Secara umum keberadaan faktor genetik tidak dapat dipungkiri, karena sejak pertama kali seorang manusia dilahirkan dia sudah mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang membedakannya dari seluruh hewan yang lain, seperti potensi untuk bisa berpikir, potensi untuk bisa berbicara, potensi untuk bisa berdiri dan berjalan, dan berbagai potensi lainnya. Tidak diragukan bahwa karakter-karakter ini mereka warisi dari ayah dan ibu dan kakek-kakek mereka. Maksudnya, sel-sel sperma ayah dan ibu yang merupakan sumber pembentuk manusia, mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang akan membentuk dan mengembangkannya menjadi manusia, dan yang pada waktunya akan mengubah berbagai potensi yang tersembunyi dalam dirinya menjadi kemampuan nyata sehingga ia menjadi manusia sempurna. Seluruh binatang yang lain pun mempunyai karakteristik yang seperti ini, sehingga dengan begitu masing-masing dapat menjaga dan mempertahankan spesiesnya.

Demikian juga dengan keberadaan karakteristik genetik pada ras-ras manusia, sampai batas-batas tertentu manusia sudah mengetahuinya. Manusia etnis kulit hitam, sudah barang tentu mereka mewarisi warna kulit dan karakteristik-karakteristik etnisnya dari kedua orangtuanya dan kakek-kakek mereka. Demikian juga dengan etnis kulit merah dan etnis kulit kuning. Di sini kita harus katakan, bahwa sifat-sifat yang merupakan karakteristik etnis seseorang terpelihara di dalam sperma ayah dan ibu.

Yang menjadi pembahasan kita hanya mengenai perbedaan dan karakteristik-karakteristik di antara individu-individu manusia. Di antara individu-individu manusia sejak lahir sudah ada perbedaan-perbedaan, dan semakin besar mereka semakin tampak kelihatan perbedaan-perbedaan tersebut. Yang menjadi pembahasan kita ialah, apakah yang menjadi sumber berbagai perbedaan ini adalah faktor genetik atau faktor-faktor lain?

Kita dapat membagi perbedaan-perbedaan individu ke dalam beberapa kelompok: perbedaan lahir, perbedaan kecerdasan dan daya ingat, dan perbedaan akhlak. Di sini kami akan memberikan penjelasan kepada masing-masingnya.

 

Perbedaan Lahir

            Yang dimaksud perbedaan lahir atau fisik ialah seperti perbedaan warna rambut, warna mata, bentuk wajah dan bentuk tubuh, bentuk mata, bentuk alis, bentuk mulut, bentuk hidung, bentuk telinga, bentuk jari-jari, bentuk kuku tangan dan kaki, bentuk telapak tangan, golongan darah, tinggi badan, dan karakteristik-karakteristik fisik lainnya yang dapat dilihat pada individu-individu manusia. Sekali lagi, yang menjadi pembahasan kita ialah, apakah yang menjadi sumber semua perbedaan ini adalah faktor genetik atau faktor-faktor lain? Apakah karakter seorang individu telah ditentukan dalam sperma kedua orangtua, atau apakah sperma semua orang itu sama lalu disebabkan pengaruh faktor-faktor lain tercipta perbedaan?

            Satu hal yang tidak diragukan ialah bahwa anak-anak lebih mirip ayah ibu dan keluarganya dibandingkan orang lain meskipun mereka dididik dalam sebuah lingkungan dan kondisi yang sama. Semua orang mengetahui hal ini dan para ayah dan ibu mengharapkan anak-anak mereka serupa dengan mereka.

            Seorang ilmuwan menulis,

“Biasanya orang lebih mirip kepada kedua orangtuanya dibandingkan orang yang tidak mempunyai hubungan darah dengannya. Kemiripan ini lebih banyak disebabkan faktor kesamaan genetik di antara mereka. 50% gen anak mirip dengan ayahnya dan 50% lagi mirip dengan ibunya. Oleh karena itu, di antara anak dan kedua orangtuanya mempunyai kesamaan dalam beberapa sifat. Sebagai contoh, saya mempunyai hidung yang mancung, mata yang biru dan rambut yang pirang, dan kedua orangtua saya pun mempunyai sifat-sifat yang sama.”[54]

 

Ilmuwan yang sama mengatakan,

“Setiap individu manusia mempunyai tabiat yang berbeda dengan tabiat individu-individu manusia lainnya. Setiap manusia tidak dilahirkan seperti sebuah lembaran kertas yang putih.”[55]

Dia juga mengatakan,

“Sifat-sifat seperti bentuk wajah, mata, warna dan bentuk rambut dan sifat-sifat lahir lainnya, yang dengan itu kita dapat mengenali orang perorang, sangat dipengaruhi oleh faktor genetik.”[56]

Biasanya anak-anak mempunyai kemiripan dengan ayah dan ibunya, dalam beberapa sifat mirip ayahnya dan dalam beberapa sifat yang lain mirip ibunya, alhasil mereka mewarisi sifat-sifat kedua orangtuanya. Namun, seorang anak tidak senantiasa hanya mewarisi sifat-sifat dari kedua orangtuanya, karena terkadang terdapat beberapa sifat yang sama sekali tidak ada pada kedua orangtuanya. Di sini, berarti anak-anak mewarisi sifat-sifat tersebut dari kakek dan neneknya.

 

Seorang ilmuwan menulis,

“Individu-individu manusia, meskipun mereka mempunyai perbedaan-perbedaan individu di antara mereka namun mempunyai beberapa sifat dan karakter yang sama yang dipindahkan melalui mata rantai keluarga dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sifat-sifat biologis makhluk hidup yang baru lahir—sebagaimana telah kita katakan—merupakan hasil susunan gen-gen yang terdapat dalam sel-sel sperma. Adapun mana di antara sifat-sifat ini yang akan muncul pada anak, itu bersifat probabilitas. Maksudnya, sampai sekarang manusia belum mampu memperkirakannya. Seorang anak tidak mewarisi seluruh sifat genetiknya secara langsung dari kedua orangtuanya, melainkan ½ dari kedua orangtuanya, ¼ dari kakeknya, dan ¼ nya lagi dari kakek-kakek buyutnya. Oleh karena itu, ia juga mewarisi sifat-sifat dari kakek-kakek jauhnya. Hukum tabiat ini menjelaskan kepada kita mengapa pada beberapa kasus seorang anak berbeda dengan kedua orangtuanya, dengan saudara laki-lakinya dan saudara perempuannya.”[57]

            Alhasil, para ilmuwan biologi dan para pakar genetik setelah mereka melakukan penelitian dan percobaan selama bertahun-tahun mereka sampai kepada kesimpulan bahwa masalah genetika adalah masalah yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Mereka menjelaskan bahwa tumbuhan, binatang dan manusia memperoleh karakteristik-karakteristik spesiesnya dan sebagian sifat-sifat individunya dari generasi sebelumnya melalui turunan.

            Mereka menjelaskan,

“Yang dimaksud dengan turunan (genetik) ialah perpindahan alami beberapa sifat dan karakteristik badan atau pikiran kedua orangtua dan kakek kepada anak, dan perpindahan ini berlangsung melalui sel-sel yang ada dalam sperma kedua orangtua. Pada setiap sel sperma ini terdapat kromosom-kromosom yang berpasangan yang terkait dengan terjadinya proses genetik.

Menurut para pakar biologi, kromosom-kromosom itu sendiri mengandung sel-sel yang sangat kecil yang disebut dengan “gen”. Gen-gen inilah yang menentukan karakteristik-karakteristik badan, pikiran dan akal seseorang. Kromosom-kromosom ini terdapat di dalam pusat sel-sel sperma secara berpasang-pasangan, dan pasangan-pasangan ini serupa satu sama lainnya.

Jumlah kromosom pada setiap hewan berbeda-beda. Setiap makhluk hidup sejenis mempunyai jumlah kromosom yang sama, sebagai contoh, pada setiap sel tikus gurun terdapat 36 kromosom, pada sel sapi terdapat 38 kromosom, dan pada setiap sel manusia terdapat 46 kromosom yang membentuk 23 pasangan. Gen-gen setiap kromosom berbentuk dua rangkaian yang berada di samping satu sama lain, dan berbentuk rangkaian biji tasbih yang berpasang-pasangan dan saling berhadapan. Dari 23 pasangan kromosom yang ada pada setiap laki-laki dan perempuan terdapat sepasang kromosom penentu jenis kelamin. Sepasang kromosom ini, pada laki-laki berbentuk dua kromosom yang berbeda, yang satu disebut kromosom x dan yang lainnya disebut kromosom y, namun pada perempuan sepasang kromosom ini berbentuk sama yaitu kromosom x. Jadi, jika dalam pembuahan kromosom laki-laki itu kromosom y maka janin akan berjenis kelamin laki-laki, dan jika kromosom laki-laki kromosom x maka janin berjenis kelamin perempuan.

Sebelumnya para pakar memandang bahwa kromosom itulah yang memindahkan sifat-sifat kedua orangtua kepada anaknya, namun setelah dilakukan penelitian lebih lanjut dan pengkajian lebih teliti para ilmuwan sampai pada kesimpulan bahwa gen-genlah yang memikul tanggung jawab ini dan dialah yang mengontrol pertumbuhan badan baik pada masa sebelum lahir maupun sesudah lahir. Mereka memperkirakan pada setiap kromosom terdapat lebih dari 15.000 gen.

Munculnya sifat genetik kepada anak adalah ketika dua gen dari kedua orangtua itu sampai ke anak, jika keduanya mempunyai kesamaan dalam sifat tersebut maka sifat tersebut akan muncul pada anak. Di sini, kita katakan bahwa kedua gen itu muncul. Namun jika kedua gen itu mempunyai sifat yang berbeda, sebagai contoh, pada gen warna mata, warna mata ayah hitam sementara warna mata ibu biru, maka di sini gen yang kuat yang akan muncul dan gen itu disebut sebagai gen yang menang, sementara gen yang lemah yang tidak dapat menampakkan dirinya disebut gen yang tersembunyi atau gen yang kalah, namun ia tidak akan pernah lenyap melainkan tetap akan berpindah dari generasi ke generasi, dan ada kemungkinan ia akan menjadi gen yang menang pada generasi-generasi yang sesudahnya, namun sampai sekarang ilmu pengetahuan belum mampu mengungkap sebab dari semua ini.”[58]

 

Ilmuwan lain menulis,

“Yang dilakukan gen-gen dalam cytoplasma ialah mengubah bentuk dan karakteristik sel-sel. Gen-gen bersama syarat-syarat internal menyebabkan sel-sel berubah dari bentuk asalnya menjadi bentuk yang bermacam-macam, seperti daging, tulang, saraf dan lainnya.”[59]

Ilmuwan lain menulis,

“Faktor-faktor genetik yang berpindah dari satu generasi ke generasi berikut disebut gen. Gen-gen inilah faktor pokok munculnya sifat-sifat pada makhluk hidup, dan ia terdapat pada setiap sudut molekul yang disebut DNA.”[60]

 

Islam dan Masalah Genetika

            Secara umum Islam juga menerima masalah genetika. Al-Quran menjelaskan bahwa manusia tercipta dari sperma yang bercampur, Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes air yang bercampur yang Kami hendak mengujinya, karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat (QS. al-Insan:1-2).

Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari setetes air mani yang bercampur. Para mufasir dalam menjelaskan maksud dari “air yang bercampur” memberikan dua kemungkinan:

Kemungkinan pertama, yang dimaksud ialah terbentuknya janin berasal dari sperma ayah dan sperma ibu.

Adapun kemungkinan kedua, yang dimaksud ialah bahwa terbentuknya janin berasal dari bagian yang bermacam-macam yang mempunyai pengaruh yang berbeda-beda.

Pada ayat lain Allah Swt berfirman, Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur (QS. as-Sajdah:7-9).

Mungkin saja yang dimaksud dengan saripati (sulâlah) adalah air sperma yang berasal dari sperma kedua orangtua.

Yazid bin Salam meriwayatkan bahwa dirinya telah bertanya kepada Rasulullah saw,

“Apakah Adam telah diciptakan dari seluruh tanah atau dari satu tanah?” Rasulullah saw menjawab, “Dari berbagai macam jenis tanah. Karena jika dia diciptakan dari satu jenis tanah niscaya manusia tidak akan saling mengenal satu sama lainnya, karena mereka mempunyai wajah yang sama.” Perawi bertanya lagi, “Apakah yang seperti ini ada contohnya di dunia?” Rasulullah saw menjawab, “Tentu, seperti pada tanah, ada tanah yang putih, tanah yang hijau, tanah yang kecoklat-coklatan, tanah yang hitam pekat,  tanah yang biru, tanah yang merah, begitu juga ada tanah yang manis, tanah yang asin, tanah yang keras dan tanah yang lembut. Oleh karena itu di antara manusia ada yang lembut dan ada yang keras, ada yang putih, ada yang kuning, ada yang sawomatang dan ada yang hitam, persis seperti warna tanah yang bermacam-macam.”[61]  

Imam Ja`far Shadiq as berkata,

“Manakala Allah hendak menciptakan seorang anak manusia maka Dia mengumpulkan seluruh wajah yang ada di antara dirinya, ayahnya hingga Adam, lalu Dia menciptakannya berdasarkan salah satu di antara wajah mereka. Oleh karena itu, janganlah sampai seseorang di antara kamu berkata (berkenaan dengan anaknya), ‘Anak (saya) ini tidak mirip saya dan orangtua saya.’”[62]

Abdullah bin Sinan meriwayatkan, “Saya bertanya kepada Imam Ja`far Shadiq as, ‘Terkadang seorang anak tidak mempunyai kemiripan dengan ayah dan pamannya?’”

Imam Ja`far Shadiq as berkata, “Jika sperma laki-laki mendahului sperma wanita maka anak yang akan lahir akan mirip ayah dan saudara ayahnya, namun jika sperma wanita mendahului sperma laki-laki maka anak yang akan lahir akan mirip ibunya dan saudara ibunya.”[63]

            Dari ayat-ayat dan hadis-hadis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum Islam juga mengakui adanya hukum genetik, meskipun mengenai cara dan batasannya Islam tidak membahas secara rinci disebabkan pada masa-masa itu pembahasan ini belum begitu dikenal dan pembahasan mengenai ilmu-ilmu alam bukan termasuk tanggung jawab dan tujuan dari para nabi.

Perbedaan Kecerdasan dan Daya Ingat

            Jenis perbedaan kedua yang ada pada manusia ialah perbedaan dalam kecerdasan dan daya ingat. Dari sisi kecerdasan manusia mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Sebagian manusia berada pada tingkatan yang sangat tinggi dan berada pada taraf jenius sementara sebagian lagi berada pada tingkatan yang sangat rendah. Di antara dua tingkatan ini masih terdapat banyak lagi tingkatan-tingkatan yang lain. Demikian juga dengan kemampuan daya ingat.

            Apa yang menjadi penyebab semua perbedaan ini? Menurut para ahli biologi dan ahli ilmu jiwa, yang menjadi faktor terpenting perbedaan ini adalah faktor keturunan atau genetik. Biasanya, sebagian dari kecerdasan anak mereka warisi dari ayah, ibu dan kakek-kakek mereka.

            Salah seorang ilmuwan menulis,

“Eksperimen menunjukkan bahwa potensi kecerdasan yang tinggi atau pun yang rendah termasuk bagian dari sifat dan karakteristik sebuah keluarga dan lebih banyak berhubungan dengan faktor genetik. Piaget meyakini, seorang anak mempunyai kemampuan menyusun dan membentuk percobaan-percobaan dirinya, namun masing-masing anak mempunyai tingkat yang berbeda dalam kemampuan ini. Adapun faktor-faktor lain yang berpengaruh pada kecerdasan seorang anak, salah satunya ialah kecelakaan atau benturan yang menimpa otak anak pada saat dilahirkan. Sebagai contoh, bisa saja disebabkan kepala anak terbentur dengan benda keras akhirnya dia menderita kemunduran kecerdasan. Demikian juga dengan berbagai jenis penyakit, terutama penyakit kelamin dapat menyebabkan kelemahan pada kemampuan otak. Sebaliknya, kebersihan, kesehatan dan latihan dapat meningkatkan kecerdasan.”[64] 

Ilmuwan yang sama menukil perkataan seorang ilmuwan lainnya sebagai berikut,

“Tidak ada satu pun kemampuan kecerdasan dalam setiap tingkat pertumbuhan seseorang yang tidak bersandar kepada faktor genetik, hingga dapat dikatakan bahwa tidak ada satu pun perbedaan individu yang tidak berpijak pada dasar genetik.”[65]

Ilmuwan yang lain menulis,

“Kecerdasan anak dipengaruhi turunan dan lingkungan. Makhluk hidup mewarisi anggota tubuh, otak dan bagian-bagian tubuhnya yang lain yang berpengaruh pada kecerdasannya dari orangtuanya. Jika anggota-anggota tubuh ini kurang atau cacat maka kecerdasannya pun akan kurang.”[66]

Ilmuwan lain menulis,

“Manakala kedua orangtua mempunyai tingkat kecerdasan yang biasa atau tinggi maka kemungkinan besar anak yang dilahirkannya akan mempunyai kesempurnaan fisik dan kecerdasan normal. Biasanya anak dari orangtua yang seperti ini mempunyai kecerdasan normal. Begitu juga manakala salah seorang orangtua atau kedua-duanya mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih rendah dari bilangan 70 maka tingkat kecerdasan anaknya pun akan seperti mereka. Namun, terkadang tingkat kecerdasan anak lebih tinggi atau lebih rendah dari tingkat kecerdasan orangtua.”

Singkatnya, dalam masalah tingkat kecerdasan faktor genetik ikut berperan. Anak-anak yang kedua orangtuanya cerdas, biasanya lebih cerdas dari anak-anak yang lain. Demikian juga keluarga dan etnis ikut berperan dalam masalah ini. Sebagian keluarga secara keseluruhan lebih cerdas dibandingkan sebagian keluarga yang lain. Demikian juga sebagian etnis secara keseluruhan lebih rendah kecerdasannya dibandingkan sebagian etnis yang lain. Namun perlu diingat bahwa keturunan bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh pada kecerdasan melainkan terdapat juga faktor-faktor lain yang berpengaruh, seperti faktor lingkungan, pendidikan, kehidupan, latihan dan uji coba.

 

Pandangan Islam

            Islam juga mengakui adanya pengaruh faktor keturunan pada kecerdasan. Oleh karena itu, Islam melarang menikahi orang idiot atau orang gila.

            Amirul Mukminin as berkata,

“Hindarilah menikah dengan wanita idiot. Karena bergaul dengan istri yang semacam ini adalah bencana dan anak-anaknya adalah kehilangan.”[67]

            Muhammad bin Muslim berkata,

            “Salah seorang sahabat Imam Muhammad Baqir as bertanya, ‘Seorang Muslim jatuh hati kepada seorang wanita cantik yang gila, apakah ia boleh menikah dengannya?’ Imam Muhammad Baqir as menjawab, ‘Tidak boleh.’”[68]

Penyakit Turunan

            Sebagian manusia sejak pertama dilahirkan mempunyai tubuh yang sehat dan kuat. Ia mempunyai jantung, otak, lever, pencernaan, ginjal dan saraf yang sehat dan normal, dan hingga akhir hidupnya ia tetap dikaruniai nikmat yang besar ini. Namun sebaliknya ada sekelompok manusia yang sejak dilahirkan ia sakit dan tidak mempunyai tubuh yang sehat dan kuat, dan oleh karena itu ia terus menerus dilanda berbagai macam penyakit.

            Sudah barang tentu kondisi tubuh kedua orangtua, makanan yang dikonsumsi ibu pada saat mengandung, pemberian air susu ibu dan pemeliharaan kebersihan mempunyai pengaruh pada kesehatan dan kekuatan anak. Hal-hal ini tidak termasuk faktor turunan, namun sedikit banyaknya faktor turunan pun ikut berperan pada kesehatan dan kekuatan anak.

            Kalangan ilmuwan menganggap sebagian penyakit sebagai penyakit turunan, seperti penyakit buta sejak lahir, buta warna merah, buta warna hijau, bisu, buta yang disertai idiot, lumpuh, kanker mata, keterbelakangan mental, sebagian penyakit gula, gila dan mempunyai enam jari. Para ilmuwan mengatakan penyakit-penyakit ini adalah penyakit turunan dan yang menjadi penyebabnya adalah gen-gen cacat yang berasal dari kedua orangtua dan kakek-kakek mereka.

            Meskipun data statistik menunjukkan anak-anak cacat jumlahnya sedikit dan merupakan minoritas dibandingkan anak-anak yang normal namun sedikit banyaknya mereka dapat ditemukan di kalangan beberapa keluarga terutama keluarga-keluarga yang mempunyai perkawinan antar famili, seperti perkawinan antar sepupu.

            Pada pernikahan antar famili kemungkinan anak yang dilahirkan mengalami cacat lebih besar dibandingkan pernikahan antar orang lain. Pada keluarga yang mempunyai anak-anak yang cacat seperti ini kebahagiaan dan ketenangan terenggut dari mereka. Kondisi anak yang memprihatinkan membuat setiap orang yang melihat menjadi iba.

            Seorang ilmuwan menulis,

“Kemungkinan terjadinya heterozigot pada suami istri yang mempunyai hubungan keluarga beberapa kali lipat lebih besar dibandingkan pernikahan antar dua orang yang tidak mempunyai hubungan keluarga. Semakin dekat hubungan keluarga di antara suami istri maka semakin besar kemungkinan terjadinya heterozigot.”[69]

Masih ilmuwan yang sama menulis,

“Bukan hal yang mengherankan manakala sepasang suami istri yang mempunyai kakek yang sama (sepupu) mempunyai anak-anak yang sakit atau cacat, karena kemungkinan keduanya heterozigot menjadi jauh lebih besar.”[70]

Salah seorang ahli ilmu jiwa menulis,

“Penelitian yang dilakukan para ilmuwan menunjukkan bahwa banyak sekali pernikahan antar keluarga melahirkan anak-anak yang mempunyai keterbelakangan mental, namun itu tidak terjadi pada setiap pernikahan antar keluarga, karena sebagaimana yang disaksikan terdapat berjuta-juta orang  yang sehat dan normal di luar sana yang lahir dari pernikahan antar keluarga. Sekarang ini di banyak negara terutama di negara-negara Skandinavia dan Amerika, sebelum sepasang calon suami istri menikah mereka menjalani pemeriksaan genetik secara teliti, dan manakala hasilnya positif baru mereka menikah. Sekelompok ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa sebagaimana pernikahan sedarah (antar kakak-adik) telah dilarang maka secara perlahan pernikahan antar saudara sepupu pun harus dilarang atau paling tidak harus mendapat persetujuan dari lembaga pemeriksaan genetik, untuk mencegah semaksimal mungkin lahirnya anak-anak yang cacat.”[71]  

Oleh karena itu, para ahli genetik percaya bahwa penyakit-penyakit seperti ini bersifat genetis, dan berbagai penelitian membuktikan, kemungkinan munculnya anak-anak yang cacat dari pernikahan antar keluarga jauh lebih besar dibandingkan pernikahan lain. Mereka menganjurkan untuk sedapat mungkin menghindari terjadinya pernikahan antar keluarga dekat, kecuali jika sebelumnya berkonsultasi dengan dokter ahli genetik dan dokter itu menyimpulkan bahwa tidak mengapa pernikahan mereka dilangsungkan.

Berkenaan dengan hal ini Islam tidak menetapkan apa-apa, Islam hanya mengharamkan pernikahan antar keluarga derajat pertama, seperti antar saudara sekandung (seibu sebapak, seibu maupun sebapak), antar bibi dengan keponakan dan antar paman dengan keponakan. Mungkin, salah satu yang menjadi sebab pengharamannya adalah masalah ini.

Begitu juga kepada orangtua yang mempunyai anak yang cacat, mereka menganjurkan agar sebelum mempunyai anak lagi hendaknya terlebih dahulu berkonsultasi kepada seorang ahli genetik, mengemukakan masalah mereka dan melaksanakan nasihat-nasihat yang diberikannya, supaya jangan sampai lahir lagi anak yang cacat dari mereka sehingga mendatangkan banyak kesulitan pada kehidupan mereka.

 

Kesimpulan

            Para ahli ilmu genetik, setelah melakukan berbagai penelitian dan percobaan secara mendalam mereka sampai pada kesimpulan bahwa masalah genetik pada spesies dan individu-individu manusia dan bahkan pada hewan dan tumbuhan adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya, dan sampai kini mereka terus melanjutkan penelitian mereka. Namun, maksud dari perkataan para ilmuwan ini bukan berarti bahwa karakteristik-karakteristik yang terdapat pada sperma kedua orangtua adalah satu-satunya sebab bagi berbagai sifat dan karakteristik yang ada pada diri seorang anak sementara faktor-faktor lain seperti lingkungan dan pendidikan tidak mempunyai pengaruh terhadapnya, justru sifat-sifat tersebut untuk dapat muncul dan berkembang memerlukan lingkungan yang sesuai. Dengan kata lain, pada akhirnya lingkunganlah yang menentukan nasib berbagai sifat dan potensi tersebut.

            Oleh karena itu, pemeliharaan kebersihan dan kesehatan, makanan yang dikonsumsi ibu pada saat mengandung, pemberian air susu ibu dan kondisi lingkungan tempat tumbuh dan berkembang tidak diragukan sangat memberikan pengaruh pada bagaimana munculnya potensi-potensi genetik seorang anak. Manusia merupakan produk interaksi antara potensi-potensi genetiknya dengan kondisi lingkungannya tempat ia tumbuh dan berkembang. Masalah ini juga merupakan sesuatu yang diakui oleh para ahli genetik.

            Seorang ahli genetik menulis,

“Beragamnya individu manusia bersumber dari perbedaan bawaan (genetis) mereka dan juga dari perbedaan lingkungan mereka. Faktor genetik tiap individu bukan penentu nasib mereka, ia hanya sebuah rancangan di mana manusia lahir dengannya.”[72]

Ilmuwan yang sama menulis,

“Untuk dapat gen-gen membentuk kembarannya ia harus berinteraksi dengan lingkungan.”[73]        

Ilmuwan lain menulis,

“Setiap karakter berada dalam pengaruh lingkungan dan turunan. Manakala kedua faktor ini ada baru karakter tersebut dapat tumbuh, dan salah satu dari keduanya tidak dapat berperan tanpa yang lainnya.”[74]

Masih ilmuwan yang sama menulis,

“Gen-gen yang berbeda menunjukkan reaksi yang berbeda pada sebuah lingkungan yang sama, dan begitu juga gen-gen yang sama tidak akan tumbuh sama pada lingkungan yang berbeda. Oleh karena itu, setiap gen akan tumbuh sesuai dengan lingkungannya. Terkadang, lingkungannya sama namun gen-gennya berbeda, maka di sini gen-gen tersebut akan tumbuh berbeda-beda sesuai dengan potensi yang ada pada dirinya.”[75]

Ilmuwan lain menulis,

“Memisahkan sifat-sifat turunan dan sifat-sifat yang disebabkan lingkungan adalah tindakan yang salah, karena setiap sifat itu dipengaruhi turunan dan lingkungan sekaligus.”[76]

Ilmuwan lain menulis,

“Sudah barang tentu anak-anak mewarisi banyak potensi dari kedua orangtuanya, namun untuk dapat muncul dan berkembangnya potensi-potensi tersebut diperlukan lingkungan yang sesuai, dan hanya dengan mewarisi potensi-potensi tersebut tidak cukup menjamin potensi-potensi tersebut dapat berkembang secara baik.”[77]

Hukum genetik mengatakan bahwa yang menjadi sumber semua sifat dan karakter turunan individu manusia ialah potensi-potensi yang terdapat pada gen-gen sperma kedua orangtua, namun ia tidak mengingkari pengaruh dan peran faktor-faktor lain, yang salah satunya adalah faktor lingkungan. Pada akhirnya, untuk dapat menampakkan pengaruhnya gen-gen tersebut membutuhkan lingkungan dan makanan yang sesuai, dan oleh karena janin mendapat makanan dari makanan ibu maka apa yang dimakan ibu akan memberikan pengaruh kepada cara dan bentuk kemunculan potensi-potensi yang dimilikinya. Sebagai contoh, melalui sperma kedua orangtua sebuah gen yang akan menyebabkan rambut berwarna hitam berpindah kepada janin, namun gen tersebut tidak lebih hanya sebuah potensi yang untuk dapat tumbuh aktual ia memerlukan lingkungan dan kondisi yang sesuai. Bukan berarti bahwa dalam semua keadaan gen tersebut memberikan efek yang sama. Bisa jadi disebabkan makanan yang dikonsumsi rambutnya menjadi hitam legam atau hanya kehitam-hitaman, atau dapat juga pada beberapa kondisi tertentu menjadi berwarna hitam kecoklat-coklatan.

Oleh karena itu, hukum genetik tidak mengatakan bahwa sifat dan karakter setiap individu telah ditentukan pada sperma kedua orangtuanya dan sama sekali tidak dapat berubah, dan untuk dapat tumbuh dan berkembangnya tidak memerlukan faktor-faktor lain.

John Soto menulis,

“Jika faktor turunan dapat menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan dan pengajaran, maka faktor lingkungan pun secara mendasar dapat mengubah potensi anak ke arah yang diharapkan atau ke arah sebaliknya. Secara keseluruhan baik lingkungan materi maupun lingkungan sosial mempunyai peranan mendasar dalam kehidupan anak.”[78]

 

Perbedaan Akhlak

            Di antara individu-individu manusia terdapat berbagai perbedaan sifat dan kondisi kejiwaan. Sebagian orang bersifat tergesa-gesa dan sebagian lagi cermat dan teliti, sebagian pemarah sebagian lagi penyabar, sebagian cekatan dan sebagian lagi pemalas, sebagian penakut dan sebagian lagi tidak punya rasa takut, sebagian dermawan dan sebagian lagi kikir, sebagian selalu berkata benar dan sebagian lagi pembohong, sebagian bersifat amanah dan sebagian lagi bersifat khianat, sebagian rendah hati dan sebagian lagi sombong, sebagian mau mendengarkan perkataan orang dan sebagian lagi keras kepala, sebagian pemberani dan sebagian lagi lemah, sebagian bersikap disiplin dan sebagian lagi tidak disiplin, sebagian percaya diri dan sebagian lagi tidak percaya diri, sebagian senang bergaul dan sebagian lagi senang menyendiri, sebagian banyak gerak dan sebagian lagi tenang, sebagian egois dan sebagian lagi suka berkorban, sebagian mempunyai sifat tegar dan sebagian lagi cepat menyerah, yang mana semua itu merupakan sifat-sifat yang dapat kita temukan pada individu-individu manusia.

            Perbedaan-perbedaan akhlak (kondisi kejiwaan) ini juga dapat kita saksikan pada anak-anak dan bahkan pada bayi. Bahkan, pada individu-individu yang mempunyai sifat-sifat yang sama, biasanya mereka berbeda dalam intensitas sifat-sifat tersebut.

            Sekarang, timbul pertanyaan, apa yang menjadi sumber perbedaan-perbedaan perilaku? Apakah semua perbedaan ini bersifat genetis, dalam arti bahwa seorang anak mewarisi semua sifat-sifat ini dari ayah ibunya atau dari kakek-kakeknya, dan kemudian secara perlahan-lahan sifat-sifat ini menampakkan dirinya? Atau sebaliknya, sebenarnya seluruh manusia pada awal penciptaannya sama dan yang menjadi sumber semua perbedaan kondisi kejiwaan (akhlak) adalah kondisi lingkungan dan pendidikan yang berbeda-beda? Atau kemungkinan yang ketiga, yaitu sebagian dari sifat-sifat tersebut telah tertanam pada tabiat manusia melalui jalan genetis sementara sebagian lainnya sebagai akibat dari faktor pendidikan dan lingkungan?

            Khajah Nashiruddin Thusi menulis,

            “Mereka berbeda pendapat apakah akhlak masing-masing individu itu tabiat, artinya tidak dapat hilang, seperti panas pada api, atau bukan tabiat. Sekelompok orang berpendapat, sebagian akhlak bersifat tabiat dan sebagian lagi diakibatkan sebab-sebab lain. Di sisi lain, ada kelompok yang mengatakan bahwa seluruh akhlak itu tabiat dan tidak dapat hilang. Sementara sekelompok yang lain mengatakan, tidak ada satu pun akhlak yang tabiat atau bertentangan dengan tabiat, melainkan manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga dapat menerima setiap akhlak, baik dengan mudah maupun susah. Akhlak yang sejalan dengan temperamennya maka dengan mudah dapat ia terima sementara yang tidak sejalan dengan temperamennya dengan susah ia terima. Adapun yang menjadi sebab sebuah akhlak menang atas tabiat sekelompok manusia, pada awalnya ia hanya berupa kehendak namun karena dilakukan secara terus menerus maka akhirnya menjadi sifat yang mendarah daging.”[79]

            Meskipun dalam redaksi di atas tidak ada penyebutan kata genetik atau turunan namun sebagai gantinya digunakan ungkapan “akhlak tabiat” yang mengandung arti yang sama.

            Para ahli ilmu jiwa dan pakar genetik juga menyinggung masalah genetik dalam akhlak. Salah seorang dari mereka menulis,

“Adapun teori genetik mengatakan, manusia adalah makhluk yang terlahir ke dunia ini dengan sifat-sifat dan potensi-potensi yang tetap dan tidak dapat berubah. Apa yang mereka mampu laksanakan pada masa hidupnya maupun yang tidak mampu mereka lakukan telah ditetapkan sebelumnya.”[80]

Pakar lain menulis,

“Sekarang ini sudah tidak diragukan bahwa hukum genetik tidak hanya berpengaruh pada pembentukan cikal bakal janin tetapi juga secara pasti berpengaruh pada kondisi kejiwaan janin yang akan lahir, dan anak-anak akan mewarisi kejiwaan dan sifat-sifat kedua orangtuanya, namun begitu lingkungan pun berpengaruh padanya.”[81]

Pakar lain mengatakan,

“Perkembangan sosial anak dapat dijelaskan dari dua sisi: turunan dan lingkungan. Dengan kata lain, sebab perbedaan masing-masing anak dari sisi perkembangan sosial bisa dikarenakan faktor genetik, seperti dalam temperamennya, atau dikarenakan faktor lingkungan, tempat anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga akan berbeda dalam reaksi sosialnya dibandingkan anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga miskin, demikian juga antara anak-anak yang dibesarkan di panti asuhan dengan anak-anak yang dibesarkan dalam pelukan orangtuanya.”[82]

Aristoteles berkata,

“orang-orang yang terlahir dari orangtua yang lebih baik akan menjadi orang-orang yang lebih baik, karena asal keluarga adalah keunggulan keluarga.”[83]

Penjelasan tentang Pewarisan Akhlak

            Sebagaimana yang Anda lihat, para ahli ilmu jiwa dan para ulama akhlak mengakui bahwa masalah genetik merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada perbedaan akhlak, namun hal ini masih perlu dibahas, dengan cara apa pewarisan di atas memberikan pengaruhnya? Apakah ini terjadi dengan perantaraan gen-gen? Dalam arti, gen-gen yang dengan perantaraan ayah dan ibu pindah ke anak membawa semua atau sebagian karakteristik akhlak yang terdapat pada diri mereka berdua atau kakek-kakek mereka?

            Sampai sejauh ini yang saya ketahui masalah ini belum dibahas dalam buku-buku genetika, dan saya belum melihat ada seseorang yang mengetahui gen-gen pembawa karakteristik akhlak, namun ini tidak dapat meniadakan kemungkinan yang seperti ini. Meski demikian di dalam buku-buku psikologi, masalah pewarisan akhlak dapat dijelaskan melalui dua jalan:

            Jalan pertama: pewarisan insting.

Seorang ilmuwan menulis,

“Setiap anak dilahirkan dengan membawa sejumlah insting, seperti insting takut, insting seksual, insting keibuan, insting taat, insting egois, rasa ingin tahu, ingin dikenal dan insting-insting lain yang sampai kepada mereka secara genetik. Masing-masing dari insting-insting ini ada yang lemah ada yang kuat, dan manakala sebuah insting bertemu dengan faktor-faktor lingkungan maka akan tercipta kondisi kejiwaan tertentu. Oleh karena itu, kondisi kejiwaan terbentuk dari dua faktor: Pertama, lingkungan yang terjadi sehari-hari dan kecenderungan-kecenderungan individu. Kedua, genetik yang dinamakan dengan insting.”[84]     

Oleh karena itu, ilmuwan ini meyakini bahwa pewarisan terjadi pada insting. Dalam arti, semua insting yang ada pada diri seorang anak, yang menjadi sumber dari akhlak dan sifat kejiwaannya ia warisi dari ayah ibunya dan kakek-kakeknya. Semua anak manusia—dalam kondisi normal—sama dalam dasar pewarisan insting-insting ini, namun menurut keyakinan ilmuwan ini insting-insting di atas, dalam kuat dan lemahnya, tidak sama pada setiap individu, dan inilah yang menjadi sumber semua perbedaan di antara individu-individu manusia. Lantas, muncul lagi pertanyaan yang sama, apa yang menjadi faktor perbedaan kuat dan lemahnya insting-insting ini? Apakah faktor genetik atau faktor–faktor lain?

Jalan kedua: perbedaan-perbedaan jasmani.

Seorang ilmuwan menulis,

“Perilaku buruk seorang anak di sekolah bisa bersumber dari ketidaknormalan kelenjar-kelenjar yang ada dalam tubuhnya atau dari lingkungan keluarga yang tidak mengajarkan perilaku-perilaku baik. Ketidakmampuan seorang anak dalam menangkap pelajaran bisa disebabkan karena kekurangan beberapa jenis vitamin dan nutrisi yang diperlukan atau karena tidak adanya motivasi yang cukup untuk belajar.”[85]  

Ilmuwan lain menulis,

“Kerusakan sistem kerja kelenjar tiroid akan menyebabkan rangsangan pada saraf dan kejiwaan atau kelesuan dan kebodohan.”[86]

            Almarhum Khajah Nashiruddin Thusi menulis,

“Sebagian anak mempunyai kesiapan menerima etika dengan mudah dan sebagian lainnya menerimanya dengan susah.”

Almarhum Mullah Muhammad Mahdi Naraqi mengatakan,

“Watak manusia mempunyai pengaruh besar terhadap sifatnya. Sebagian watak dari sejak awal memiliki kesiapan menerima akhlak-akhlak tertentu sementara sebagian yang lain cenderung kepada kebalikannya. Kami yakin ada pribadi-pribadi yang memiliki watak mudah marah, mudah takut, mudah sedih atau mudah tertawa meski karena sebab-sebab kecil sekalipun, namun sebagian lagi sebaliknya. Namun terkadang disebabkan keseimbangan pada berbagai kekuatan yang ada dalam diri, kekuatan akal dan keutamaan-keutamaan akhlak telah sampai pada tahap kesempurnaan dan telah mampu mengalahkan kekuatan marah dan syahwat, sebagaimana yang terjadi pada para nabi dan para imam. Hal yang sebaliknya terjadi pada sebagian orang, di mana mereka telah keluar dari batas-batas keseimbangan, yaitu kekuatan akal mereka melemah, akhlak mereka buruk, dan kekuatan akal mereka dikalahkan oleh kekuatan syahwat mereka.”[87]

Dari semua paparan di atas kita dapat menyaksikan para ilmuwan mengakui adanya faktor keturunan pada sifat dan kondisi kejiwaan seseorang, namun itu terjadi melalui karakteristik-karakteristik yang terdapat pada bangunan tubuh seseorang. Dari sisi bahwa faktor keturunan merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembentukan dan penyusunan tubuh seorang anak para ilmuwan tidak ragu sedikit pun.

 

Alasan yang Diajukan

            Klaim para ilmuwan di atas didasarkan kepada dua alasan:

            Alasan pertama: Bentuk tubuh, karakteristik saraf, karakteristik otak, karakteristik kelenjar, dan anggota-anggota utama badan mempunyai pengaruh terhadap bentuk akhlak dan kejiwaan seseorang.

            Alasan kedua: Faktor keturunan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan berpengaruh pada bentuk dan susunan tubuh anak.

            Dari alasan pertama dapat disimpulkan bahwa meskipun akhlak termasuk sifat dan karakteristik jiwa, dan jiwa merupakan sebuah maujud yang terbebas dari materi, namun keterkaitan jiwa dengan badan tidak dapat diingkari. Para peneliti filsafat Islam meyakini bahwa jiwa bukan sebuah hakikat abstrak yang tercipta lepas dari tubuh lalu bersatu dengan tubuh, melainkan jiwa adalah rupa spesifik tubuh yang dengan gerak substansial dan gerak kesempurnaan bertahap sampai ke tahapan abstrak dan melampaui batas materi (tajarud). Rupa spesifik (shurat nau`iyyah) terkait dengan materi dan bahkan menyatu baik sebelum maupun sesudah terbebas dari materi.

            Pada tahapan ini jiwa manusia mempunyai dua dimensi atau dua peringkat wujud: satu sisi dia adalah sebuah hakikat yang lebih tinggi dan terlepas dari materi dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh materi, sementara dari sisi lain dia bersatu dengan badan dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya.

            Di antara dua peringkat wujud ini terjadi hubungan yang sempurna. Peringkat wujud yang lebih tinggi berpengaruh kepada peringkat yang lebih rendah dan memanfaatkannya untuk pekerjaan-pekerjaannya. Manakala jiwa manusia memahami hal-hal yang bersifat universal maka premis-premisnya diperoleh melalui saraf dan otak dan dengan menggunakan indera.

            Saling pengaruh mempengaruhi di antara jiwa dan badan sebagaimana yang dibuktikan dalam ilmu jiwa adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari. Sebagai contoh, manakala seseorang sedang sangat emosi dan sedih, akan timbul reaksi-reaksi tertentu pada badan: nafsu makan menjadi berkurang dan begitu juga daya pencernaan tubuh menjadi melemah. Sebaliknya ketika seseorang sedang gembira—yang merupakan salah satu suasana kejiwaan—nafsu makannya menjadi bertambah dan alat pencernaannya dapat mencerna makanan dengan lebih cepat dan lebih baik. Atau, ketika seseorang sedang berpikir, yang merupakan pekerjaan jiwa, terjadi reaksi tertentu pada tubuh, yaitu lebih banyak membutuhkan makanan jenis tertentu.

            Dari sisi lain, kesehatan berbagai organ tubuh mendatangkan ketenangan jiwa dan kemampuan lebih menghadapi berbagai ketidaknyamanan dan keteguhan dalam melakukan berbagai pekerjaan. Kesehatan badan dan saraf memberikan pengaruh dalam berpikir sehingga seseorang dapat berpikir dengan lebih baik dan lebih teliti. Sebagaimana disebutkan dalam ungkapan yang sangat terkenal “akal yang sehat terdapat dalam jiwa yang sehat”. Oleh karena itu, individu-individu yang tidak memiliki pancaindera dan saraf yang sehat, maka dalam sifat-sifat kejiwaan dan bahkan dalam cara berpikir pun mereka kacau.

            Dengan demikian, bentuk saraf dan otak seseorang sangat berpengaruh terhadap bentuk sifat kejiwaan dan akhlaknya dan bahkan berpengaruh kepada cara berpikirnya. Ini merupakan alasan yang pertama.  

            Sementara dari alasan kedua dapat disimpulkan bahwa sebagaimana seorang anak dalam kebanyakan sifatnya, karakteristik badannya dan karakteristik anggota-anggota utama tubuhnya seperti saraf dan otak, para-paru, lever, jantung, lambung, ginjal dan kelenjar-kelenjar dalam tubuh mewarisi dari kedua orangtuanya, begitu juga bentuk watak, kesehatan dan penyakit, kekuatan dan kelemahan fisik, dan bentuk organ-organ penting tubuh mewarisi dari ibu bapak atau salah seorang kakek yang bersangkutan. Para ilmuwan telah melakukan penelitian yang mendalam dalam masalah ini dan telah menyebutkan beberapa penyakit turunan.

          

Kesimpulan

            Dengan diterimanya kedua alasan ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bisa saja sebagian sifat ayah dan ibu berpindah kepada anak melalui faktor turunan. Artinya, bahwa sebagian sifat dan karakteristik ayah dan ibu merupakan akibat dari bentuk bangunan fisik mereka, dan bisa saja bentuk bangunan fisik mereka ini berpindah kepada anak mereka, sehingga dengan begitu sifat dan karakteristik mereka pun berpindah kepada anak mereka.

 

Akhlak (Perangai) Dapat Dirubah

            Dari berbagai penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa perbedaan-perbedaan akhlak (perangai) yang dapat disaksikan pada anak-anak dapat terjadi disebabkan perbedaan watak tubuh mereka, yang perbedaan ini pun bersumber dari perbedaan watak tubuh ayah ibu mereka. Sebagian anak ada yang cepat marah sebagian lagi penyabar, sebagian tergesa-gesa dan sebagian lagi tenang, mungkin saja sifat ini sebagai akibat dari perbedaan bentuk bangunan fisik mereka. Namun, ini bukan berarti bahwa sifat dan perangai tersebut tidak dapat dirubah, karena watak tubuh tertentu tidak lebih hanya berfungsi memberi lahan untuk tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat tersebut. Dalam arti, bahwa sebagian anak mempunyai watak dan saraf tertentu yang dengan mudah tersulut emosinya sehingga ia kehilangan kontrol atas dirinya. Dari sisi seberapa cepat tersulut emosinya, orang-orang yang seperti ini tidak berada pada tingkatan yang sama melainkan mempunyai tingkatan-tingkatan. Demikian juga kemungkinan seberapa besar dapat dirubahnya akhlak dan perangai mereka pun berbeda-beda, tergantung di tingkatan mana mereka berada, namun secara umum dapat dikatakan dapat dirubah. Kalau pun pada beberapa kasus merubah secara keseluruhan tidak dapat dilakukan namun setidaknya dapat dikurangi, dan seorang pendidik tidak boleh putus asa.

            Para pendidik harus mengenal secara baik anak-anak yang hendak dididik, dan benar-benar memperhatikan berbagai potensi watak dan perangai masing-masing mereka, kemudian bersungguh-sungguh dalam mendidik dan memperbaiki akhlak dan perangai mereka. Oleh karena dari sisi potensi watak dan perangai masing-masing anak berbeda-beda maka jalan yang harus ditempuh untuk memperbaikinya pun berbeda-beda. Seorang pendidik tidak boleh mempunyai anggapan semua anak sama dalam kemampuan menerima perbaikan. Potensi watak sebagian anak berkaitan dengan beberapa perangai sedemikian kuatnya sehingga untuk merubah dan meluruskannya diperlukan pengetahuan yang cukup, kesabaran dan kesungguhan. Bahkan terkadang sangat diperlukan berkonsultasi kepada seorang psikiater atau pun dokter ahli saraf.

 

Perbedaan dalam Kemampuan

            Singkatnya, dari sisi penciptaan manusia terbagi kepada tiga kelompok: baik, buruk dan sedang. Kelompok pertama, mereka telah diciptakan sedemikian rupa sehingga wataknya cenderung kepada kebaikan, sehingga jika tidak ada faktor dari luar yang memalingkannya maka tentu ia condong kepada kebaikan. Kelompok kedua, mereka telah diciptakan sedemikian rupa sehingga wataknya suka kepada keburukan, sehingga jika tidak ada faktor dari luar yang memberikan pengaruh kepadanya maka tentu ia condong kepada keburukan. Adapun kelompok ketiga berada di tengah-tengah, mereka mempunyai kesiapan yang sama untuk menerima baik dan buruk.

            Mendidik dan merubah akhlak dan perangai kelompok pertama dan kedua sedikit susah dan pada beberapa keadaan sangat susah, namun masih tetap bisa dilakukan. Jika merubah dan memperbaiki akhlak itu tidak mungkin dilakukan tentunya para nabi tidak akan memerintahkannya, dan para ulama akhlak serta para pendidik tentu tidak akan berusaha memperbaikinya.

            Seorang ilmuwan menulis,

“Masing-masing dari kita terlahir ke dunia ini ada yang baik, sedang dan buruk, namun sebagaimana kecerdasan, akhlak dan perangai pun dapat tumbuh dan berkembang melalui pengajaran, disiplin dan kemauan, dan ia dapat dididik.”[88]

Ibnu Miskawaih menulis,

“Akhlak adalah kondisi kejiwaan saat seorang manusia tergerak melakukan sesuatu dengan tanpa berpikir terlebih dahulu, dan ini terbagi kepada dua bagian: sebagian berupa tabiat dan bersandar kepada bentuk bangunan watak, seperti seseorang yang dengan mudah tersulut amarahnya hanya karena perkara kecil yang tidak mengenakannya, atau seseorang yang dengan mudah tertawa terbahak-bahak hanya karena perkara yang tidak begitu lucu, atau seseorang yang begitu sedih hanya karena peristiwa kecil. Sebagian lagi bersumber dari kebiasaan. Bisa saja pada mulanya dilakukan dengan pikiran dan perhitungan namun karena dilakukan secara berulang-ulang maka secara perlahan-lahan ia berubah menjadi sifat diri yang tetap, yang dilakukan dengan tanpa berpikir dulu.”[89]

Aristoteles mengatakan,

“Manusia yang berakhlak buruk terkadang dengan pengajaran menjadi baik, namun ini bukan sesuatu yang mutlak, karena pengulangan nasihat dan pengajaran dan digunakannya cara-cara yang baik pada individu yang berbeda-beda memberikan pengaruh yang berbeda-beda. Sebagian orang dengan cepat dapat menerima pengajaran yang baik dan bergerak ke arah keutamaan, namun sebagian lainnya dengan lambat menerimanya dan dengan lambat pula bergerak ke arah kebaikan.”[90]

Khajah Nashiruddin Thusi menulis,

“Jiwa itu ada dua: yang pertama tabiat, yang kedua adat. Adapun yang disebut dengan tabiat adalah watak dasar seseorang menuntut dan cenderung kepada satu keadaan dari banyak keadaan. Sebagai contoh, seseorang yang hanya karena sebab kecil cepat menjadi marah, atau seseorang yang hanya karena mendengar teriakan kecil atau mendapat berita yang sedikit tidak menyenangkan diliputi rasa takut dan prasangka buruk, atau seseorang yang hanya karena gerakan kecil yang lucu akan tertawa terbahak-bahak, atau seseorang yang hanya karena sebab kecil sedemikian bersedih. Adapun yang disebut dengan adat, pada awalnya seseorang melakukannya dengan berpikir dan menimbang terlebih dahulu dan memulainya dengan berat, namun karena dilakukan secara berulang-ulang lantas perbuatan tersebut menjadi tidak asing lagi baginya, dan sesudah tidak asing lagi maka dengan mudah perbuatan tersebut keluar dari dirinya sehingga menjadi perangainya.”[91]

Sayid Muhammad Ghiyatsi menulis,

“Setiap manusia berakal dapat memperbaiki dirinya dan menyucikan akhlaknya. Jadi, yang disebut dengan akhlak atau perangai adalah kebiasaan yang dengan mudah dan tanpa berpikir terlebih dahulu akan keluar dari diri seseorang. Sebagian kalangan menyangka akhlak atau perangai seperti penciptaan yang tidak dapat dirubah. Mereka mengatakan, akhlak mengikuti watak diri, sehingga seseorang yang berwatak panas adalah pemberani dan kebalikannya adalah penakut, demikian juga dengan akhlak-akhlak lainnya. Namun, pendapat ini lemah, adapun pendapat yang benar ialah akhlak dapat dirubah dan dapat bertambah dan berkurang, maka dengan begitu keseimbangan dan penyimpangan akhlak terjadi karena pengaruh berulang-ulangnya suatu perbuatan, perkataan, gerak, diam dan khayalan. Karena jika tidak demikian maka tentu para nabi, para wali, para orang bijak tidak akan bersungguh-sungguh menyeru manusia ke jalan Tuhan dan tidak mengajak mereka kepada akhlak yang mulia, padahal Rasulullah saw telah bersabda, ‘Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.’”[92]

Almarhum Naraqi mengatakan,

“Para ulama dahulu berbeda pendapat mengenai bisa atau tidak bisanya menghilangkan suatu akhlak atau perangai. Adapun pendapat ketiga mengatakan, sebagian akhlak itu berupa tabiat dan tidak dapat dihilangkan dan sebagiannya lagi bukan berupa tabiat dan timbul karena faktor-faktor dari luar dan dapat dihilangkan. Namun, para ulama kontemporer lebih memilih pendapat yang pertama, mereka mengatakan, tidak ada satu pun akhlak, baik yang sesuai dengan tabiat maupun yang tidak sesuai yang tidak dapat dirubah, jika ia sejalan dengan watak maka dengan sulit dapat merubahnya namun jika tidak sejalan maka dengan mudah dapat merubahnya. Dengan demikian, perbedaan manusia dalam akhlak dan perangai adalah akibat pilihan mereka dan faktor-faktor dari luar. Adapun yang menjadi dalil pendapat pertama ialah, setiap akhlak dapat dirubah dan setiap yang dapat dirubah tidak akan menjadi tabiat. Kesimpulannya, tidak ada satu pun akhlak yang akan menjadi tabiat.”[93]

 

Pandangan Islam

            Islam juga memandang tabiat dan penciptaan khusus manusia berpengaruh kepada kemunculan berbagai macam akhlak, dan memandang akhlak sebagai sebuah karunia Ilahi yang diletakkan pada fitrah manusia, yang tentunya manusia condong kepadanya.

            Imam Ja`far Shadiq as berkata,

“Sesungguhnya akhlak adalah pemberian Ilahi yang Allah berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sebagian dari akhlak itu bersifat fitri dan tabiat dan sebagian lagi muncul karena niat.” Perawi bertanya, “Mana yang lebih utama?” Imam Ja`far as menjawab, “Seseorang yang akhlaknya telah diletakkan pada tabiatnya ia harus melakukannya dan tidak dapat merubahnya, sedangkan orang yang melakukan suatu perbuatan dengan niat, ia harus berusaha dan sabar untuk melakukannya, dengan demikian yang kedua lebih utama.”[94]

Rasulullah saw juga bersabda,

“Jika engkau mendengar ada gunung yang hilang dari tempatnya maka percayailah, namun jika engkau mendengar ada seorang laki-laki yang telah melepaskan diri dari tabiatnya maka jangan engkau percaya, karena mungkin saja sebenarnya ia tengah kembali kepada tabiatnya.”[95]

Mungkin, makna ini juga yang dimaksud dengan kata thinah (watak, pembawaan) yang terdapat dalam hadis-hadis.[96]

Dari hadis-hadis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian akhlak telah diletakkan pada tabiat dan penciptaan manusia, sehingga upaya merubahnya sangat sulit dan bahkan menurut kebiasaan tidak dapat dilakukan.

Namun, Islam memandang upaya mendidik dan mengajar manusia dan merubah serta memperbaiki sifat-sifatnya dan juga menyucikan jiwanya adalah sesuatu yang mungkin, oleh karena Rasulullah saw menempatkan upaya penyucian jiwa sebagai program utamanya.

Allah Swt berfirman di dalam al-Quran, Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS. Ali Imran:164).

Rasulullah saw juga bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”[97]

Dengan demikian, upaya menyucikan dan memperbaiki jiwa adalah sesuatu yang mungkin. Allah Swt juga berfirman, Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. asy-Syams:7-10).

Banyak sekali ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw yang memerintahkan manusia kepada akhlak yang mulia dan memperingatkan mereka dari akhlak-akhlak yang tercela. Dari semua ini dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya penyucian jiwa dan memperbaiki akhlak adalah sesuatu yang mungkin dilakukan, karena jika tidak maka semua usaha dan anjuran ini menjadi sia-sia.[]

 

[54] Wirasat wa Thabi’at_e Adami, hal., 13.
[55] Wirasat wa Thabi’at_e Adami, hal., 64.
[56] Wirasat wa Thabi’at_e Adami, hal., 84.
[57] Rawansyenasyi Rusyd, hal., 61.
[58] Rawansyenasi Rusyd, hal., 60-61.
[59] Ushul_e Rawansyenasi, hal., 180.
[60] Musyaware_ye Genetik, hal., 33.
[61] Bihâr al-Anwâr, juz 42, hal., 60.
[62] Bihâr al-Anwâr, juz 60, hal., 340.
[63] Bihâr al-Anwâr, juz 60, hal., 339.
[64] Rawansyenasi Rusyd, hal., 193.
[65] Rawansyenasi Rusyd, hal., 58.
[66] Ushul_e Rawansyenasi, hal., 300.
[67] Wasâ’il asy-Syî`ah, juz 14, hal., 56.
[68] Wasâ’il asy-Syî`ah, juz 14, hal., 57.
[69] Musyaware_ye Genetik, hal., 103.
[70] Musyaware_ye Genetik, hal., 107.
[71] Venus, seorang psikolog terkenal dari Amerika, dalam jurnal ilmiah, tahun keenam belas, nomor 177.
[72] Wirasat wa Thabi’at_e Adami, hal., 68.
[73] Wirasat wa Thabi’at_e Adami, hal., 69.
[74] Rawansyenasi_ye Kudak, Mahdi Jalali, hal., 102.
[75] Rawansyenasi_ye Kudak, Mahdi Jalali, hal., 113.
[76] Wirasat wa Thabi’at_e Adami, hal., 77.
[77] Tawarus Umumi, Husyang Khawari, hal., 254.
[78] Murabbiyan_e Buzurg, hal., 271.
[79] Akhlaq_e Nashiri, hal., 102.
[80] Wirasat wa Thabi’at_e Adami.
[81] Rawansyenasi wa Akhlaq, hal., 27.
[82] Rawansyenasi Rusyd, hal., 343.
[83] Wirasat wa Thabi’at_e Adami, hal., 12.
[84] Rawansyenasi wa Akhlaq, hal., 43.
[85] Jami’ as-Sa’adat, juz 1, hal., 21.
[86] Insan Maujud_e Nasyenakhteh, hal., 160.
[87] Jâmi’ as-Sa’âdât, juz 1, hal., 21.
[88] Insan Maujud_e Nasyenakhteh, hal., 144.
[89] Tathhîr al-A`raq, hal., 51.
[90] Tathhîr al-A`raq, hal., 51.
[91] Akhlaq_e Nashiri, hal., 101.
[92] Adab an-Nafs, hal., 5.
[93] Jâmi`us Sa`âdât, juz 1, hal.,, 22.
[94] Al-Kâfi, juz 2, hal., 101.
[95] Nahj al-Fashahah, hal., 41.
[96] Bihâr al-Anwâr, juz 67, hal., 77-129.
[97] Mustadrak al-Wasâ’il, juz 2, hal., 282.