پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

BAB 12: Pengetahuan Imam Mahdi Tentang Saat Kemunculannya

 BAB 12
Pengetahuan Imam Mahdi Tentang Saat Kemunculannya

 

PERTEMUAN dibuka tepat waktu. Dr. Jalali menyambut rombongan dan membuka pertemuan dengan sebuah pertanyaan.

Dr. Jalali: Bagaimana cara Imam Zaman mengetahui saat kemunculannya telah tiba? Bila dikatakan bahwa ia akan menerima instruksi dari Allah SWT pada saat tertentu, maka apa bedanya dia dengan para nabi as ketika menerima wahyu?

Tn. Hosyyar: Pertama-tama, perlu diketahui bahwa dalil-dalil dan hadis-hadis berkenaan dengan imamah menyatakan bahwa eksistensi kudus Imam memiliki kontak dengan alam gaib. Terkadang dalam keadaan-keadaan yang memaksa, Imam diberi kemampuan untuk mengetahui kebenaran-kebenaran agama semacam itu. Dalam sejumlah hadis, dikabarkan bahwa Imam dapat mendengar suara malaikat, walaupun tidak melihatnya.1

Oleh karena itu, mungkin saja Allah SWT memberi informasi pada Imam melalui ilham. Imam ash-Shadiq as mengabarkan: 

Salah seorang dari kami, para imam, tetap menang walau dalam kegaiban. Ketika Dia berkehendak agar ia melaksanakan tugasnya, maka Dia akan memberi petunjuk. Dan ia pun akan muncul dan melaksanakan tugas dari Allah.2

Dilaporkan oleh Abu Jarud, yang menemui Imam al-Baqir as dan bertanya kepadanya ihwal pemilik perintah, Imam Zaman. Imam al-Baqir berkata:

Di malam hari, dia akan tampak sebagai salah seorang yang amat khawatir, sedangkan di pagi hari, dia berubah menjadi salah seorang yang sangat percaya diri dan tenang. Programnya akan disampaikan padanya kira-kira satu hari satu malam. Abu Jarud bertanya lagi, “Apakah beliau menerima wahyu?” Imam menjawab, “Ya, dia akan menerima wahyu. Namun tidak seperti wahyu para nabi. Wahyu yang diterimanya seperti wahyu yang disampaikan kepada Mariam putri Imran, ibunya Musa, dan seekor lebah madu. Wahai Abu Jarud, al-Qâ`im dari Ahlulbait Nabi lebih mulia daripada Mariam, ibu Musa, dan lebah madu!”3

Hadis ini dan hadis-hadis sejenis menunjukkan bahwa para imam as juga menerima wahyu dan ilham, namun ada perbedaan antara wahyu pada Nabi dan Imam. Nabi adalah pemberi hukum dan menerima norma-norma serta keputusan-keputusan syariah melalui wahyu, sedangkan imam hanya menjaga hukum. Dia tidak menerima keputusan-keputusan dan hukum-hukum melalui wahyu.

Selain itu, mungkin juga Nabi saw memberitahu para imam mengenai waktu kemunculan Imam Mahdi yang tepat melalui pemberitaan kondisi-kondisi yang akan terjadi sebelum kemunculannya. Imam Mahdi al-Muntazhar (yang ditunggu-tunggu) juga menantikan terpenuhinya kondisi-kondisi yang Nabi saw sebutkan. Misalnya dalam hadis Nabi berikut diprediksikan kemunculan Imam Mahdi. Nabi saw bersabda:

Ketika waktu zuhur tiba, Allah akan membawakan pedang dan panji al-Mahdi, kemudian terdengar sebuah seruan, “Wahai hamba Allah, bangkit dan bunuhlah musuh-musuh Allah!”4

Sebuah dokumen yang mungkin terdapat dalam hadis adalah riwayat yang memerikan perintah-perintah Allah tersegel yang diberikan kepada setiap imam mengenai peran mereka melalui wahyu kepada Nabi. Atas perintah-Nya, Nabi menyerahkan sebuah gulungan kepada Ali bin Abi Thalib. Ketika dirinya memangku jabatan kekhalifahan, dia membuka gulungan tersebut dan membaca instruksi di dalamnya dan menjalankan instruksi tersebut selama pemerintahannya. Demikian juga para imam setelahnya melakukan hal yang sama pada periode imamahnya masing-masing. Kini, gulungan bersegel yang memuat instruksi untuk Imam Keduabelas berada di tangannya.5

 

Persiapan Kemunculan Imam Mahdi Akan Terjadi Satu Malam

Banyak hadis dari para imam as yang menggambarkan peristiwa-peristiwa di hari-hari terakhir menjelang kemunculan al-Mahdi yang benar-benar akan menyiapkan jalan bagi revolusinya dan kesuksesan ultimatnya tersebut. Peristiwa-peristiwa yang akan terjadi semalam ini, mempercepat rencana-rencananya dan mengantarkan pada kemunculan puncak. Misalnya, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdul Azhim al-Hasani, dia melaporkan bahwa Imam al-Jawad berkata:

Al-Qâ'im kami adalah Mahdi yang akan ditunggu selama masa gaibnya dan akan ditaati ketika beliau muncul. Dia adalah keturunanku yang ketiga. Aku sungguh-sungguh bersaksi demi Allah yang memilih Muhammad sebagai Rasul-Nya dan menganugrahi kami dengan imâmah, sekiranya tersisa satu hari saja di dunia ini, maka Allah akan memperpanjangnya sedemikian rupa sehingga al-Mahdi akan muncul dan memenuhi dunia dengan keadilan dan sebagaimana hari-hari sebelumnya diisi dengan tirani dan kejahatan. Allah akan melakukan perbaikan dalam satu malam sebagaimana Dia memerintahkan Musa dalam satu malam ketika Musa pergi mengambil api untuk istrinya dan kembali dengan mahkota kenabian.” Lalu dia (Imam al-Baqir—penerj.) mengimbuhkan, “Salah satu amal terbaik para pengikut kami adalah menantikan keselamatan [melalui kemunculan al-Qâ'im].”6

Demikian juga, Nabi saw menyatakan bahwa al-Mahdi adalah salah seorang keturunannya dan Allah akan membantu beliau melaksanakan tugasnya dalam satu malam.7 Imam ash-Shadiq menyampaikan sebuah hadis yang menjelaskan alasan dirahasiakannya kelahiran Imam Mahdi, seraya menambahkan, “Allah akan menolongnya dalam melaksanakan tugasnya dalam satu malam.”8  Akhirnya, dalam sebuah hadis dari Imam Husain, dia berkata, “Dalam keturunanku yang kesembilan, sunah Yusuf dan sunah Musa akan kembali. Dialah al-Qâ`im dari Ahlulbait. Allah akan menolongnya dalam melaksanakan tugas dalam satu malam.”9


Menunggu Kemunculan Imam


Dr. Jalali: Apa yang mesti kaum Muslimin lakukan selama kegaiban beliau? Dengan kata lain, apa kewajiban mereka pada masa penantian ini?
Tn. Hosyyar: Para ulama kami dalam kitab-kitabnya telah mengidentifikasi dan menulis hal-hal tertentu yang harus dilakukan selama kegaiban beliau, yaitu mendoakan beliau, melakukan kerja-kerja mulia, meminta pertolongan dan bantuannya ketika dalam kesulitan, dan sebagainya. Tidak ada keraguan atas nasihat-nasihat tersebut dan oleh karenanya tak usah didiskusikan. Namun, kewajiban yang paling penting yang disebutkan dalam kitab-kitab rujukan yang perlu pendedahan lebih lanjut adalah penantian kelapangan melalui kemunculannya (intizhar faraj). Sampai batas-batas tertentu, kewajiban ini telah diabaikan dan tidak ada diskusi mendetil tentangnya Terdapat banyak hadis dari para imam, baik yang menganjurkan penantian ataupun menyebutkan pahala  dan keutamaannya, selama kegaibannya. Mari kita kutip beberapa contoh:
Imam ash-Shadiq berkata:
Seseorang yang meninggal dengan kecintaan (wilâyah) kepada Ahlulbait seraya menantikan kelapangannya (melalui kemunculan al-Qâ`im) maka ia sama dengan orang yang akan bernaung di bawah tenda al-Qâ`im.10
Imam Ali ar-Ridha as meriwayatkan hadis dari datuk-datuknya dan dari Nabi saw di mana beliau berkata bahwa Nabi bersabda, “Sebaik-baik perbuatan umatku adalah menunggu kelapangan.”11
Imam Ali bin Abi Thalib as berkata:
Barangsiapa menunggu pemerintahan kami, sama halnya dengan orang yang, di jalan Allah, telah berputar-putar dalam darahnya sendiri.12
Dalam hadis lain, Imam ar-Ridha memuji orang-orang yang menunggu kelapangan [melalui al-Mahdi—penerj.) dengan berkata:
Betapa baiknya kesabaran dan penungguan kelapangan! Belumkah kalian mendengar bahwa Allah telah berfirman dalam al-Quran, “Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula) [QS al-An`âm (6): 58]?” Oleh karena itu, bersabarlah sebab kemunculannya akan tiba setelah terjadinya keputusasaan. Orang-orang sebelum kalian bahkan lebih sabar dari kalian.13
Banyak hadis berkaitan dengan tema yang sama. Para imam selalu menasihati umatnya untuk menunggu kelapangan. Mereka mengingatkan umatnya bahwa menantikan kelapangan [melalui Imam Mahdi—penerj.] merupakan sejenis pembebasan. Barangsiapa yang menunggu sama dengan orang yang berperang melawan kaum kafirin di medan pertempuran dan berputar-putar dalam darahnya sendiri. Oleh karena itu, tidak ada keraguan sedikit pun bahwa kewajiban terberat bagi kaum Muslim selama kegaiban adalah mengharapkan kelapangan. Mari kita diskusikan makna menunggu atau mengantisipasi kelapangan.


Bagaimana mungkin seseorang yang mengantisipasi kelapangan menerima ganjaran terbesar yang melebihi orang yang berbuat kebaikan? Apakah orang yang mengatakan bahwa dia menunggu kelapangan [melalui kehadiran Imam Keduabelas] sudah memenuhi kewajibannya? Ataukah mungkin dari waktu ke waktu, dia mesti berteriak dan berdoa, “Ya Allah, turunkanlah kelapangan melalui Imam Zaman!” Atau, setelah shalat-shalat harian atau [ziarah-ziarah] di makam-makam suci dia harus memohon kepada Allah SWT untuk menyegerakan kelapangan! Atau, setelah membaca shalawat kepada Nabi dan keluarganya, dia harus menambahkan, “Allâhummâ `ajjil farajahu-syarif”, yang artinya “Ya Allah, segerakanlah kelapangan melalui [Imam] yang mulia ini!” Atau mungkin, dia mesti memanjatkan doa Nudbah (ratapan) khusus tiap hari Jum`at pagi dengan ratapan dan sedu sedan yang nyaring.


Semua sunah ini (mustahabat) dapat dilaksanakan. Namun, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa hanya dengan mengucapkan hal-hal di atas seseorang bisa beroleh manfaat sejati penantian kelapangan yang keutamaannya disebutkan dalam beberapa hadis ihwal tema ini. Khususnya perbandingan antara seseorang yang menanti kelapangan dengan orang yang gugur di medan pertempuran melawan musuh Allah, seperti yang diriwayatkan dalam salah satu hadis di atas, tidaklah berlebihan seperti itu. Sebab, hadis tersebut berasal dari imam yang terpelihara dari kesalahan.


Bayangkan seseorang atau sekelompok orang yang melarikan diri dari setiap bentuk tanggung jawab sosial, dari tanggung jawab moral berupa amar makruf nahi munkar, dari melawan kejahatan dan dosa, dari melakukan sesuatu untuk menghentikan kezaliman, hanya dengan mengucapkan, “Ya Allah, segerakan kelapangan melalui kehadiran Imam Zaman sehingga ia dapat mencegah tindakan jahat ini!” Apakah hati nurani Anda menerima bahwa status orang ini sebanding dengan status orang yang terbunuh dalam mempertahankan agama? Apakah dia setaraf dengan orang yang mengorbankan hartanya, keluarganya, dan kesenangan serta keamanannya di jalan Allah dan meraih gelar seorang syahid?


Sudah barang tentu, ada makna dan signifikasi yang lebih jeluk dari tindakan menunggu kehadiran Imam. Untuk memahaminya, izinkan saya mendahului diskusi ini dengan dua observasi umum:
Pertama, berdasarkan hadis-hadis menyangkut fungsi Imam Mahdi, tampak bahwa program yang diembannya merupakan program yang ideal, komprehensif, dan tentu saja sulit. Program-program beliau adalah: mereformasi seluruh dunia, mengalahkan kekuatan tiran dan penjahat, menjadikan Islam sebagai agama resmi segenap penghuni bumi ini, menghilangkan purbasangka dan pikiran-pikiran buruk di benak orang-orang sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis di bawah pemerintahan Allah. Selain itu, revolusi al-Mahdi akan mendirikan pemerintahan dunia di bawah satu Tuhan, satu agama, dan satu sistem hukum ideal, serta membawa semua komunitas lainnya di bawah panji persatuan Islam. Jelas, tujuan-tujuan semacam ini bukanlah tugas mudah. Program seperti ini mudah dilaksanakan apabila akal manusia sudah siap menerima tujuan-tujuan tersebut dan siap mengangkangi ideologi materialistis yang terbatas untuk membuminyatakan nilai-nilai ketuhanan bagi manusia. Keinginan melakukan revolusi dan mensyiarkan rencana Allah dalam rangka menggapai masyarakat yang ideal mesti datang dari orang-orag yang berperan serta aktif dalam menyiapkan sarana yang bisa dimanfaatkan oleh Imam Keduabelas dalam melaksanakan programnya, yaitu mewujudkan tatanan dunia baru.
Kedua, menurut beberapa hadis yang diriwayatkan dari para imam: Imam Mahdi al-Muntazhar dan para pendukungnya akan mengatasi kekuatan kaum kafir dan materialis dengan cara jihad. Kekuatan musuh Allah dan para pendukung kaum kafir serta para pelaku kezaliman akan dibasmi oleh kekuatan yang handal. Banyak hadis yang membicarakan kekuatan yang akan mencapai tujuan di atas.

 

Misalnya, Imam al-Baqir as berkata:


Al-Mahdi mirip kakeknya, yaitu Muhammad saw. Nabi memulai perjuangannya dengan pedang, dia (al-Mahdi) pun akan melakukan hal yang sama. Al-Mahdi akan membunuh musuh-musuh Allah, Nabi-Nya, dan orang-orang yang menindas orang lain dan yang menyesatkannya. Al-Mahdi akan memperoleh kemenangan dengan pedang dan membuat takut (musuh-musuhnya). Tak satu pun pasukannya mengalami kekalahan.14
Sahabat Imam al-Baqir as, Basyir, berkata kepada Imam:
Orang-orang berkata bahwa ketika al-Mahdi melancarkan revolusinya, tugas tersebut terasa ringan untuknya sehingga tidak ada pertumpahan darah walau hanya luka kecil luka karena berbekam* (al-hijamah).

Imam berkata, “Demi Allah, pernyataan tersebut salah. Bila hal tersebut dapat terjadi, maka hal yang seperti itu akan terjadi pula di zaman Nabi. Sebaliknya, gigi beliau terluka dan dahinya pun cedera dalam sebuah pertempuran. Aku dengan sepenuh hati menyatakan bahwa revolusi al-Mahdi akan terjadi dengan pertempuran dan pertumpahan darah.” Lalu beliau menyeka dahinya dengan tangan beliau.15


Hadis ini menunjukkan bahwa kemenangan al-Mahdi bukan hanya akibat dari bantuan Allah dan dunia gaib saja. Kemenangan tidak akan dapat diraih tanpa kekuatan semisal mukjizat—yang dengan kekuatan seperti ini maka program reformasi dan kebangkitan akan terwujud. Kemenangan tidak bergantung pada kejadian-kejadian biasa. Selain pertolongan Ilahiah ini, revolusi juga akan didukung oleh tentara yang bersenjata layak dan handal, yang dapat menggunakan persenjataan termodern di gudang-gudang senjata kontemporer.
Dengan menilik sejumlah hadis ihwal revolusi penghabisan yang dipimpin al-Mahdi ini, kita mulai dapat memahami prasyarat-prasyarat kehadiran beliau. Hal ini akan membantu kita dalam memahami tanggung jawab yang mesti diemban kaum Muslimin dalam menyongsong revolusi ini dan kemudian menilai apakah umat Islam sekarang sudah siap mendukung tugas ini secara aktif dan apakah penantian mereka akan tegaknya pemerintahan ideal di bawah al-Qâ`im memiliki manfaat?


Pemahaman saya, berdasarkan hadis-hadis Ahlulbait, menunjukkan bahwa tugas terpenting kaum Muslimin selama kegaiban Imam adalah, pertama, mereformasi diri dari dalam [batin] dengan semua kesungguhan. Mereka harus menghiasi diri dengan nilai-nilai Islami, melaksanakan segenap kewajiban, dan menunaikan bimbingan al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, mereka mesti mendalami ajaran-ajaran Islam mengenai kemasyarakatan yang diambil dari al-Quran, Nabi, dan Ahlulbaitnya, dan menerapkannya secara sempurna di tengah-tengah masyarakat mereka. Dengan membumikan program ekonomi Islam, mereka akan mampu memecahkan masalah ekonomi dan mengentaskan kemiskinan, pengangguran, dan penumpukan harta. Dengan menerapkan hukum-hukum Tuhan, mereka dapat membebaskan diri dari kezaliman dan kejahatan. Pendeknya, mereka harus bergerak aktif untuk merealisasikan sistem politik, sosial, ekonomi, hukum Islam dan menunjukkan kepada dunia bahwa sistem ini merupakan sistem alternatif yang dapat diterapkan (a viable alternative).


Yang lebih penting lagi, umat Islam harus mempelajari sains-sains modern secara serius yang tidak saja menguntungkan mereka sendiri tetapi masyarakat lain di seluruh dunia. Mereka harus menjadi pelopor di semua bidang pengetahuan. Melalui kemajuan agama dan ilmu mereka sendiri, mereka harus membuktikan ke seluruh dunia bahwa hukum-hukum dan etika Islam mampu berperan sebagai sistem ideal dunia yang membangun keseimbangan dunia dan akhirat. Selain itu, dengan memadukan ketentuan hukum yang lengkap dengan ajaran spiritual dan moral dari sistem Islam, umat Islam bisa menjadi sumber inspirasi bagi sistem politik, sosial, ekonomi yang manusiawi.


Dengan kata lain, kaum Muslim punya kewajiban untuk mengungguli (kaum lainnya—penerj.) dalam segala bidang yang terkait dengan perbaikan umat manusia hingga bidang-bidang tersebut akan diwarnai oleh nilai-nilai moral dan spiritual Islam. Hanya dengan cara itu, mereka dapat mewujudkan dan menjalankan sistem ideal di bawah kepemimpinan Imam Mahdi as. Mereka yang terlibat dalam ikhtiar-ikhtiar ini untuk memungkinkan keberhasilan revolusi al-Mahdi adalah mereka yang betul-betul menantikan kelapangan melalui kemunculan Imam Keduabelas as. Orang-orang yang bekerja keras dan bersedia mengorbankan diri ini adalah laskar-laskar Imam Keduabelas. Mereka dapat disetarakan dengan orang-orang yang berjuang di medan pertempuran melawan kekuatan buruk dan kejahatan.


Adapun orang-orang yang mengharapkan masalah mereka teratasi melalui sistem politik, sosial, dan ekonomi yang diciptakan pihak yang tidak punya kesetiaan pada agama dan moral akan ataupun kepada unsur-unsur moral-spiritualnya, hanya memicu diskriminasi, pemborosan pengeluaran, kezaliman dalam distribusi sumber-sumber alam, dan banyak kejahatan lainnya. Situasi seperti ini begitu meresahkan dan dapat membuat putus asa sehingga sukar membayangkan dampak eksploitasi, kerusakan, konflik yang diakibatkan oleh kekayaan dan kekuatan baru serta kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.


Negara-negara kaya mempunyai niat mendominasi; negara-negara miskin tak malu-malu tunduk pada kompromi jahat yang disetir oleh para penguasa mereka sendiri yang kebanyakan berlaku jahat dan tak bermoral. Untuk tetap berkuasa,  mereka menjual rakyat dan negara mereka pada penguasa adidaya. Mereka (negara adidaya) memutuskan segala permasalahan dengan memakai remote control yang memberi persenjataan militer destruktif yang digunakan untuk menekan warganya sendiri. Nah, umat Islam yang duduk-duduk saja dan tidak memikirkan masalah sedikit pun yang dihadapi saudara seiman mereka, tidak dapat dikatakan sebagai orang-orang yang mengharapkan  kehadiran Imam Keduabelas. Mereka tidak melakukan usaha-usaha penting untuk melembagakan pemerintahan Dunia Islam. Walaupun mereka rajin mengucapkan: Allâhummâ ‘ajjil farajahu-syarif, yang berarti, “Ya Allah, segerakanlah kelapangan melalui [kemunculan] orang suci (Imam) ini!”


Inilah yang saya pahami dari hadis-hadis yang membahas keutamaan mengharapkan kehadiran Imam Keduabelas as. Semua hikmah intizhâr terangkum dalam kata-kata Imam as-Shadiq:
Siapkanlah diri-diri kalian untuk revolusi al-Qâ'im kami, meski berupa mengumpulkan anak panah [untuk memerangi musuh-musuh Allah].16


Abdul Hamid al-Wasithi berkata kepada Imam al-Baqir, “Dalam mengharapkan terjadinya [revolusi al-Qâ'im], bahkan kami telah menarik diri dari perdagangan!” Imam as berkata:
Wahai Abdul Hamid, apakah Anda menyangka bahwa orang yang mengorbankan hidupnya di jalan-Nya, Allah tidak meluluskan jaminan untuknya? Demi Allah, niscaya Dia melapangkannya [dari kesulitan-kesulitan—peny.]. Semoga Allah merahmati orang-orang yang menghidupkan misi kami.


Abdul Hamid bertanya, “Apa yang terjadi apabila saya meninggal sebelum kemunculan tersebut?” Imam as menjawab:
Siapa saja yang berkata, “Bila saya bertemu dengan al-Qâ`im, saya akan menolongnya.” Maka orang ini berstatus sebagai orang yang akan berperang dekat Imam [membelanya]. Sungguh, dia akan berstatus sebagai orang yang akan terbunuh [dalam membelanya].17
Menurut Abu Bashir, seorang sahabat Imam Keenam terkemuka, suatu hari Imam ash-Shadiq berkata kepada para sahabatnya, “Haruskah saya memberitahu kalian mengenai perbuatan yang menjadi syarat keridhaan Allah?” Abu Bashir meminta Imam untuk menyebutkannya. Imam as berkata:


Bersaksi atas keesaan Allah dan kenabian Muhammad, mengagungkan perintah dan larangan Allah, mencintai kami dan menjauhi musuh-musuh kami, menerima otoritas para imam, dan beramal secara sungguh-sungguh dan penuh takwa, berlaku lembut dan menantikan kelapangan melalui kehadiran al-Qâ`im.


Lalu Imam as berkata:


Kami akan memiliki otoritas yang Allah akan anugerahkan pada saat yang tepat. Siapapun yang ingin menjadi sahabat dan teman dekat al-Mahdi, mesti menanti kelapangan melalui kehadirannya. Selain itu, orang tersebut mesti bertakwa dan beramal saleh serta terus mengharapkan al-Mahdi dalam keadaan seperti itu. Bila ia tetap hidup seperti itu dan meninggal sebelum kemunculan al-Qâ`im, maka dia akan mendapat ganjaran yang sama dengan orang yang benar-benar beserta al-Qâ`im. Wahai pengikutku, bersungguh-sungguhlah dan bekerja keraslah ketika kalian menunggu kehadiran al-Qâ`im. Wahai yang dikaruniai rahmat Allah, semoga kalian merasakan manisnya kemenangan terakhir.18


*****


Penelitian atas Hadis yang Berlawanan dengan Kebangkitan (Qiyâm)
Ir. Madani: Tuan Hosyyar! Berdasarkan pembahasan yang Anda suguhkan mengenai penantian kehadiran al-Mahdi, tampaknya selama masa gaibnya Imam Keduabelas, kaum Syi`ah harus melakukan sikap aktif dan berusaha mewujudkan pemerintahan Islam, melaksanakan sosial dan politik Islam, serta melakukan jihad untuk meraih itu semua. Dengan cara demikian, seperti yang Anda sampaikan, sebenarnya mereka tengah menyiapkan kehadiran Imam untuk melancarkan revolusi global. Saya kira, tafsiran Anda tidak sesuai dengan beberapa hadis lain. Seperti yang Anda ketahui, ada sejumlah hadis yang melarang keterlibatan Syi`ah dalam gerakan revolusioner sebelum kehadiran al-Mahdi. Alangkah baiknya kalau kita mendiskusikan beberapa hadis yang berkenaan dengan ini.
Tn. Hosyyar: Saya ucapkan terima kasih kepada Anda yang bersedia mengingatkan saya tentang perspektif yang berbeda mengenai filsafat penantian (intizhâr). Saya kira amat tepat bila kita meneliti hadis-hadis ini dalam rangka mengungkap keauntentikannya. Karena itu, pertama-tama, kita mesti memeriksa rangkaian sanad untuk menentukan keandalannya. Kedua, kita mesti memeriksa matan (redaksi kalimat) guna menetapkan keabsahan opini yang berasal darinya. Namun izinkan saya mengawali penelitian kita pada dua masalah ini dengan suatu penilaian umum berdasarkan dua topik berikut:
1.     Persoalan pemerintahan dalam agama
2.     Penelitian riwayat hadis



Pemerintahan dalam Agama


Berdasarkan pada ajaran Islam, seseorang bisa mengatakan bahwa Islam bukanlah agama sebatas akidah (aqidah) dan penghambaan ('ibâdah). Islam adalah sistem akidah, ibadah, etika, politik dan masyarakat yang lengkap. Prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam secara umum dapat digolongkan pada dua bagian:


(1) Kewajiban individu, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada mukmin dan mukminat, misalnya shalat lima kali sehari, puasa di bulan Ramadhan, bersuci (thaharah), haji, dan seterusnya. Seseorang tidak memerlukan pemerintah dan organisasi sosial untuk menjalankan ini semua. Dia bisa melakukannya sendirian sebab kewajiban ini merupakan hubungan antara Allah dan manusia.
(2) Kewajiban kolektif, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada sekelompok orang beriman, misalnya berjihad, amar makruf nahi munkar, menjalankan keadilan, menyelesaikan konflik, melembagakan hukuman-hukuman resmi, dan lain-lain. Kewajiban ini bersifat sosial dan politik yakni berkaitan dengan hubungan antar manusia. Sebagai anggota masyarakat, masing-masing orang perlu belajar menghormati hak-hak orang lain dan melindungi hak pribadi. Allah SWT telah memberikan prinsip-prinsip hubungan antarmanusia yang secara asasi dilambari keadilan dan persamaan. Sebab itu, sistem Islam disiapkan untuk mengatur hubungan ini sedemikian rupa sehingga mencakup semua bidang kehidupan manusia. Dengan kata lain, Islam dilengkapi dengan sistem hukum dan religius yang serba-mencakup yang merangkum kebutuhan-kebutuhan masyarakat tanpa membedakan antara ranah duniawi dan ukhrawi dari eksistensi manusia. Misalnya, jihad di jalan Allah merupakan kewajiban untuk mempertahankan diri sendiri dan makhluk hidup lainnya dalam masyarakat. Hukum Islam mencakup segenap peraturan penting yang meliputi aspek-aspek kewajiban kaum Muslimin untuk membela dan mempertahankan haknya. Dalam  hal ini, Allah berfirman:


Perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya semata-mata untuk Allah (QS al-Baqarah [2]: 193)
Jika mereka (orang-orang kafir) merusak sumpahnya setelah mereka berjanji dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu; karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dipegang janjinya supaya mereka berhenti (QS at-Taubah [9]: 12)
Banyak ayat sejenis yang menunjukan bahwa umat Islam punya kewajiban menyebarkan Islam dan memerangi kaum kafirin. Selain itu, Islam juga menyeru mereka untuk memobilisasi diri dan tegar menghadapi musuh:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya. (QS al-Anfâl [8]: 60)
Oleh karena itu, dugaan bahwa mendirikan dan menyelenggarakan tatanan politik dan sosial merupakan sebagian dari ajaran agama adalah benar adanya. Kaum Muslim berkewajiban melakukan apa saja untuk menyukseskan tujuan  ini dan membuat musuh takut serta segan pada Islam sehingga mereka tidak akan mencoba mengganggu lagi.



Kewajiban Amar Makruf Nahi Munkar

                                                          Kewajiban ini merupakan suatu ajaran Islam terpenting untuk menggapai keadilan Islam. Kewajiban ini membentuk landasan pemerintahan Islam. Setiap Muslim harus membendung segala bentuk kezaliman dan kerusakan. Penyebaran agama yang benar hanya mungkin bila disertai penyucian akhlak yang menjadi dasar kebenaran tugas sosial ini. Banyak ayat al-Quran yang mewajibkan kaum Muslimin beramar makruf nahi munkar yang menjadi tanggung jawab mereka sebagai orang yang mengaku meyakini keesaan Allah. Tentang ini, Allah berfirman:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kewajiban, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imrân [3]: 104)

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS Ali Imrân [3]: 110)

                          

Kesimpulan

Semua pembahasan di atas meyakinkan kita bahwa Islam sebagai agama menuntut penciptaan masyarakat dunia yang mengakui, di satu sisi, hubungan personal seseorang dengan Allah yang memerintahkan manusia menjalankan perintah-perintah-Nya; dan, di sisi lain, tanggung jawab individu sebagai anggota masyarakat yang di dalamnya hubungan antarpersona diatur oleh asas keadilan dan persamaan sebagaimana ditetapkan dalam wahyu Allah. Oleh sebab itu, penegakkan pemerintahan untuk mengatur urusan manusia merupakan bagian dan paket ajaran Islam. Sebagaimana Allah menurunkan hukum untuk mengarahkan hubungan sesama manusia, Allah pun mengeluarkan perintah yang berkaitan dengan otoritas masyarakat Islam. Bagaimana mungkin seseorang membayangkan suatu kewajiban untuk berperang tanpa petunjuk, yaitu siapa yang memberi komando kepada pasukan Muslim, siapa yang menentukan strategi perang dan lain-lain?  Dengan kata lain, umat Islam memerlukan hukum dan pengawas rencana Allah di bumi. Maka, amat tepat bila dikatakan bahwa pemerintahan adalah bagian dari keyakinan dan sunah Islam yang terpadu.


Nabi sebagai Pemimpin Muslimin


Nabi saw adalah pemimpin umat Islam sepanjang hayatnya. Sebagai wakil Allah, beliau mengatur urusan umat. Dia dianugrahi otoritas yang luas dalam urusan yang ada hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari dan pemerintahan Islam yang pertama. Menurut al-Quran, Nabi saw memiliki kendali penuh pada urusan umatnya.19 Allah berfirman dalam al-Quran:
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (QS al-Mâidah [5]: 48)

Karena itu, Nabi saw memangku dua jabatan: di satu sisi, melalui wahyu dari Allah SWT, beliau menerima perintah-perintah yang akan disampaikan pada umatnya; di sisi lain, dia berperan sebagai pemimpin masyarakat Muslim, yang diatur secara politis dan sosial dengan mengajarkan hukum Islam.

Studi terhadap biografi Nabi saw memperlihatkan bahwa beliau bertugas mengurusi urusan umat dan memerintah mereka. Dia mengangkat gubernur dan komandan, hakim, dan aparat negara. Beliau memaklumatkan perang, mengutus pasukan untuk kepentingan pertahanan dan mengatur setiap aspek kehidupan umat di negara Islam.20

Jabatan yang beliau emban adalah tugas dari Allah. Sesuai dengan jabatan ini, beliau diberi tugas untuk menyusun undang-undang dalam bidang sosial dan politik untuk kepentingan umat dan mengawasi pelaksanaannya. Ketika kaum Muslimin dituntut untuk berperan serta peperangan, maka Nabi saw harus menyiapkan mereka untuk hal tersebut dan memerintahkan untuk melakukannya ketika waktunya telah tiba. Misalnya, al-Quran memerintahkan Nabi saw agar memotivasi umatnya untuk ikut perang di jalan Allah:

Hai Nabi, kobarkanlah semangat kaum mukmin itu untuk berperang. (QS al-Anfâl [8]: 65)

Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. (QS at-Taubah [9]: 73)

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab-kitab dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi pendukung para pengkhianat. (QS an-Nisâ` [4]:  105)

Selain sebagai Nabi—yang berarti dia menerima wahyu dari Allah dan menyampaikan wahyu tersebut kepada umatnya—dia juga pemimpin umat Islam. Dia diberi wewenang dan kekuasaan untuk membuat hukum dan memberi keputusan, menegakkan keadilan, dan memberi hukuman. Dengan kata lain, melaksanakan fungsi-fungsi yang sebenarnya merupakan fungsi kepala negara. Berkenaan dengan ini, al-Quran menyuruh kamu Muslimin untuk taat kepada perintah Allah yang disampaikan melalui Nabi. Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu. (QS an-Nisâ` [4]: 59)

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu gentar dan hilang kekuatan. (QS al-Anfâl [8]: 46)

Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. (QS an-Nisâ` [4]: 64)

Berdasarkan ayat-ayat di atas, ketaatan kepada Nabi didahului oleh ketaatan kepada Allah. Kaum Muslimin diperintahkan taat kepada Allah dan Nabi-Nya. Ketaatan kepada Allah diwujudkan dengan cara menerima ketentuan yang disampaikan kepada Nabi-Nya. Selain itu, kaum Muslimin mesti menaati perintah Nabi sebagai kepala negara yang meliputi apa saja yang mereka mesti kerjakan. Jelaslah bahwa ketaatan kepada Nabi bersumber dari ketaatan kepada Allah. Dan, dalam makna ini, ia merupakan kewajiban. Kiranya tepat meyakini bahwa pemerintahan merupakan—dari awal kemunculan Islam—bagian integral dari fungsi Nabi sebagai pemimpin umat dan sistem sosio-politiknya.


Pemerintahan Islam Setelah Nabi


Setelah wafatnya Nabi, kenabian (nubuwwah) dan wahyu pun berakhir. Namun ketentuan dan hukum agama yang mencakup program sosio-politik tetaplah dijalankan. Muncul pertanyaan: Apakah dengan berakhirnya kenabian berarti pemerintahan umat juga mesti berhenti? Apakah Nabi sendiri sudah mempersiapkan masa depan umatnya?  Apakah Nabi tidak meninggalkan pesan untuk memastikan bahwa warisannya (ajaran—peny.) terus dijalankan setelah beliau wafat?  Atau, apakah Nabi meninggalkan semua masalah kepemimpinan kepada masyarakat sesuai dengan keinginan mereka?


Syi`ah percaya bahwa Nabi juga seorang negarawan dan penguasa atas urusan umat. Beliau menjalankan program-program yang diwahyukan kepadanya. Beliau memahami betul pentingnya kepemimpinan umat. Agar kaum muslimin tetap sebagai umat, mereka memerlukan pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin yang berkualitas yang dapat menerapkan ajaran Islam. Nabi sendiri mengetahui bahwa umatnya tidak dapat selamat tanpa pemerintahan yang adil untuk menjalankan misinya. Karena alasan inilah, dari awal dakwahnya, ketika kesempatan itu datang sendirinya dan senapas dengan perintah dari Allah, Nabi saw memperkenalkan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan imam umat sepeninggalnya. Ulama Sunni dan Syi`ah telah mendokumentasikan beberapa peristiwa ketika Ali bin Abi Thalib diperkenalkan sebagai wakil Nabi (washi—penerj.) Di antara peristiwa-peristiwa tersebut adalah pidato monumental Nabi dalam peristiwa Haji Wada di Ghadir Khum. Nabi berdiri di tengah-tengah umatnya, termasuk para sahabat besar  Islam, dan berkata:


“Wahai manusia! Siapakah yang lebih mulia ('awla) [di mata] orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Nabi saw berkata: “Allah adalah maulaku (pemimpinku) dan aku maula orang-orang beriman dan aku lebih utama di mata mereka daripada mereka sendiri. Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya.” Beliau mengucapkannya sampai tiga kali, dan menurut Ahmad, imam mazhab Hanbali, empat kali.21
Maklumat yang terjadi di Ghadir Khum di atas menyangkut kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib di tahun terakhir kehidupan Nabi (10 H/ 632 M). Setelah itu, Umar bin Khaththab menemui Ali dan mengucapkan selamat kepadanya dan berkata, “Wahai anak Abu Thalib, selamat atas jabatan baru Anda. Mulai sekarang, engkau adalah maulaku dan maula segenap mukmin—laki-laki maupun perempuan.”
Banyak sekali riwayat semacam ini dalam berbagai sumber. Semuanya membuktikan bahwasanya posisi Nabi sebagai pemimpin umat akan diteruskan oleh Ali bin Abi Thalib. Dia mempersiapkan Ali bin Abi Thalib dan memberi sepupunya ini informasi penting berkenaan dengan tanggung jawab yang akan diemban oleh Ali bin Abi Thalib. Selain itu, ia juga tahu bahwa Ali dikaruniai kemaksuman dan dilantik sebagai imam sepeninggalnya berdasarkan penunjukan Tuhan. Ali juga menyadari tanggung jawab besar yang diembannya. Dia adalah pelindung ajaran Islam dan pelaksananya. Peristiwa Ghadir Khum adalah titik kulminasi sebuah proses yang telah terjadi di hari-hari awal misi Nabi. Sebenarnya, pernyataan Umar ketika dia mengucapkan selamat kepada Ali menunjukkan bahwa dia mengerti maksud kata  maula yang berarti pemimpin. Kaum Muslimin lainnya pun tahu pernyataan Nabi, “Barangsiapa yang maulanya adalah aku, maka Ali adalah maulanya,” sebagai tanda pengangkatan Ali sebagai imam. Oleh sebab itu, mereka tetap setia dan loyal kepadanya. Jika pernyataan tersebut memiliki makna lain selain makna politik, niscaya tidak perlu menyatakan sumpah setia (bai`at).
   


Ali bin Abi Thalib: Khalifah Pelanjut Nabi


Walaupun Nabi saw telah memastikan bahwa hak pemerintahannya akan berlanjut di tangan Ali bin Abi Thalib, yaitu dalam bentuk imâmah, setelah Nabi meninggal sejumlah sahabat dekatnya memutuskan untuk merebut kekhalifahan. Dengan memanfaatkan kebodohan dan kelemahan rakyat, mereka merampas hak Ali yang sah. Kenyataan ini menjadi pemicu penyimpangan pemerintahan Islam dari jalan yang benar. Penolakannya (Imam Ali—penerj.) untuk menyatakan sumpah setia kepada orang-orang yang berkuasa, dan dalam khutbah-khutbahnya yang secara kritis mengevaluasi situasi setelah wafatnya Nabi, menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib benar-benar mengetahui keadaan pemerintahan Islam yang ideal dan keadaan Islam setelah direbut oleh para sahabat. Selain itu, khutbah-khutbah tersebut menunjukkan pentingnya permasalahan mengenai pemerintahan umat yang komprehensif. Bukan hanya dimensi-dimensi spiritual dan religius saja. Para khalifah tidak merampas otoritas spiritual dan religius Ali yang kepadanya mereka merujukkan semua masalah agama mereka. Yang mereka rampas adalah otoritas politik Ali, otoritas untuk melaksanakan hukum-hukum Islam.


Akhirnya, ketika memegang kendali pemerintahan pada tahun 35 H/656 M, Ali memikul kekuasaan luas yang mencakup segala sesuatu yang Nabi lakukan sebagai penguasa. Ketika Thalhah dan Zubair menentang kekhalifahan, mereka mengganggu aspek pemerintahannya yang luas ini. Mereka tidak pernah menentang otoritas spiritual dan religius. Mu`awiyah menentang Imam Ali bukan dalam masalah interpretasi perintah [hukum]. Dia menentang Ali dalam hak pemerintahan dan posisinya sebagai pemimpin umat yang utuh.
Dari pembahasan ini bisa disimpulkan, pemerintahan Islam tidaklah berakhir dengan wafatnya Nabi. Sebaliknya dengan mengangkat Ali, Nabi saw memastikan kelanggengan pemerintahan Islam di tangan keturunannya; juga menunjukkan bahwa pembuat hukum Islam tidak pernah membangun suatu sistem yang ditujukan bagi umat yang tidak bisa berfungsi dalam mengatur sistem sosial dan politik umat. Dengan kata lain, pemerintahan Islam mesti menjadi bagian kehidupan Muslim yang permanen sepanjang sejarah.
Imam Ali bin Abi Thalib mengangkat putranya, Hasan, sebagai imam setelahnya. Imam Hasan mengangkat saudaranya Husain untuk melanjutkan estafet kepemimpinan (imâmah). Dari Imam Husain, imamah berlanjut ke anaknya, yaitu Ali Zain al-Abidin; dengan cara ini imamah ini berlanjut sampai kepada imam terakhir, yaitu [Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar] Hujjah bin Hasan al-Askari as.  Keduabelas imam ini selain dikaruniai perlindungan Ilahi dalam bentuk kemaksuman dan ilmu Islam yang mendalam, juga dianugrahi kebijakan untuk memerintah dan mengatur sesuai dengan hukum Ilahi dan timbangan keadilan. Karena itu, kepemimpinan umat dan pemerintahan imam maksum merupakan aspek penting dari tatanan umat Islam yang ideal. Namun, selain pemerintahan singkat Ali bin Abi Thalib, para imam yang lain tidak diberi kesempatan untuk memerintah sejalan dengan hukum-hukum Allah dan memulihkan arah yang benar dan membangkitkan kepercayaan diri dalam masyarakat Islam.


Pemerintahan Islam Selama Masa Kegaiban

            Kini, muncul sejumlah pertanyaan mengenai status program sosial politik Islam selama kegaiban (Imam Mahdi). Apa yang mesti dilakukan oleh kaum Muslimin ketika mereka tidak bisa berhubungan dengan Imam, pemimpin yang hak? Siapa yang mesti membimbing umat untuk melaksanakan program Ilahi?  Apakah kaum mukmin harus mengabaikan hadis Nabi berkenaan dengan pemerintahan? Apakah perintah Nabi hanya relevan selama masa hidup beliau yang singkat saja, dan apakah perintah tersebut hanya berlaku kembali ketika Imam Mahdi hadir? Haruskah sebagian besar perintah Allah mengenai masalah sosial-politik-hukum terus ditunda selama masa gaibnya Imam?  Dengan kata lain, apakah kita mesti membaca ayat-ayat al-Quran dan mendiskusikannya berdasarkan riwayat hadis untuk mencerahkan diri kita sendiri tanpa berusaha melaksanakannya dalam kondisi sosial politik saat ini?

Sudah pasti, seorang Muslim tidak boleh menganggap perintah dan cita-cita Islam mesti ditunda sampai pemimpin yang berkualitas seperti Imam sendiri memegang kendali pemerintahan. Tak ada seorang ulama pun yang mengakui bahwa ideal-ideal yang disampaikan kepada Nabi ini sampai generasi belakangan hanya untuk didiskusikan, diperselisihkan, dan akhirnya dituliskannya saja untuk generasi yang akan datang. Bila kenyataannya seperti ini, maka umat tidak memiliki pilihan kecuali menerima bahwa baik Nabi maupun para imam tidak meninggalkan semua perintah ini bagi pemerintahan Islam selain hanya pada masa al-Mahdi. Tentu saja, seseorang tidak bisa mengatakan bahwa Islam datang untuk memberi bimbingan kepada umat dengan dilengkapi peraturan dan undang-undang sosial politik tanpa disertai sarana untuk melaksanakan ideal-ideal ini melalui seorang pelaksana rencana Allah, yaitu Imam, sang pemimpin.


Kewajiban Muslim Selama Masa Kegaiban


           Nabi dan Imam diangkat oleh Allah untuk menegakkan pemerintahan umat. Nabi dan Imam mesti melaksanakan kehendak Ilahi ini. Namun, kewajiban pokok terdapat di atas pundak umat: mereka mesti memberi dukungan penuh yang dibutuhkan oleh Nabi dan Imam untuk mengendalikan dan menggunakan kekuatan guna mencapai kehendak Allah. Selama umat tidak menunjukkan kesetiaan dan ketaatan kepada pemimpin pilihan Allah ini, maka pemerintahan yang ideal sulit ditegakkan. Oleh karena itu, selama Imam Mahdi tidak hadir (gaib) seperti yang terjadi sekarang ini, umat Islam mempunyai tanggung jawab untuk bekerja serius demi mewujudkan bentuk pemerintahan Islam. Islam, bahkan dalam kondisi sekarang ini, tidak mencegah kewajiban kaum Muslimin untuk menerapkan dan mengikuti ajaran Allah. Kenyataannya, banyak ajaran Islam ditujukan  kepada umat Islam:

 

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat,  dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS at-Taubah [9]: 41)

            Berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. (QS ash-Shaff  [61]: 11)

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas. (QS al-Baqarah [2]: 190)

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS al-Mâidah [5]: 38)

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah… (QS an-Nûr [24]: 2)

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan yang sebenarnya, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, atau ibu  bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya maupun miskin. (QS an-Nisâ`[4]: 135)

Semangat di atas ditujukan kepada kaum Muslimin secara umum dan menyeru kepada mereka untuk cergas kepada kewajiban sosial mereka berkaitan dengan tatanan umat Islam yang lebih baik. Tentunya, menjalankan kewajiban sosial ini tidak mungkin dapat dilakukan tanpa seorang penguasa yang dapat menjamin pelaksanaannya secara adil. Hukum yang berkaitan dengan tatanan sosial pasti memerlukan sebuah badan pemerintahan yang dilengkapi dengan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan ajaran Islam. Dengan kata lain, pelaksanaan sempurna dari tatanan umat Islam beserta semua kandungan spiritual, moral, dan hukumnya, tak mungkin dilakukan tanpa pemerintahan yang mempunyai kekuasaan eksekutif. Untuk menjalankan semua dimensi Islam amat diperlukan adanya pemerintahan yang mendukung pelaksanaannya. Allah berfirman:

 

Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS asy-Syûra [42]: 13)

Kiranya bisa disimpulkan dari perintah-perintah umum al-Quran kepada kaum Muslimin dan dari ketetapan Nabi untuk mengabadikan pemerintahan Islam melalui ajaran yang bermuatan sosial, politik, hukum, dan moral Islam bahwa selama kegaiban Imam Keduabelas, umat Islam berkewajiban untuk bekerja keras demi membumikan tujuan Islam dalam kehidupan sosial dan personal sehari-hari. Selama kita meyakini bahwa Islam hadir untuk memberi kebahagiaan dunia dan akhirat, dan, oleh karenanya, melegislasikan hukum-hukum yang mencakup setiap aspek hubungan Tuhan-manusia dan hubungan antarmanusia, maka kita mesti meyakini keniscayaan pengaturan urusan-urusan kita sesuai dengan hukum-hukum ini.

 

Kesimpulan ini akan terasa lebih masuk akal apabila kita menyadari bahwa hukum ini tidak hanya berlaku di zaman Nabi tapi juga berlaku bagi manusia hingga Hari Pembalasan. Oleh karena itu, kita mesti menjalankan norma-norma ini sekarang juga. Kaum Muslimin mesti menyiapkan diri untuk mendukung revolusi akhir Imam Mahdi dengan cara mengintrospeksi kekurangan-kekurangan dan membenahi diri guna melakukan tanggung jawab besar, yaitu menjadikan tatanan umat Islam sebagai satu-satunya tatanan yang dapat menjamin kedamaian dan keharmonisan di muka bumi.

 

Dua Fakta

Perlunya pendirian sebuah pemerintahan dan usaha untuk menstabilkannya merupakan keniscayaan rasional dan disetujui oleh semua orang berakal. Dalam hal ini, Islam sangat mendukungnya. Untuk menguatkan kesimpulan tersebut, mari kita tengok dua peristiwa sejarah pada masa Islam awal.

Diceritakan, selama Perang Uhud, pada masa awal-awal Islam, muncul berita bohong yang tersebar di kalangan Muslimin yang mengabarkan bahwa Nabi telah terbunuh. Akibatnya, moral pasukan Muslim menciut. Mereka segera meninggalkan posisinya dan bercerai-berai. Peristiwa ini didefinisikan dalam al-Quran:

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Mengapa, bila dia meninggal atau terbunuh, kamu akan berbalik ke belakang? (QS Ali Imran [3]: 144

Apakah ayat ini berarti bahwa setelah wafatnya Nabi, umat Islam harus kembali pada kebiasaan lama (jahiliah) mereka? Tentu saja tidak. Islam merupakan realitas yang akan tetap eksis, meskipun Nabi telah wafat. Oleh karena itu, kaum Muslimin harus setia kepada ajaran Islam dan bekerja dengan mengimplementasikannya tanpa gangguan. Tidak ada tugas eksplisit yang dibebankan oleh al-Quran yang dihapus setelah wafatnya Nabi atau gaibnya Imam.


(2) Fakta kedua, diperlihatkan oleh kaum Muslimin tidak lama setelah wafatnya Nabi saw. Para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Sa`idah. Mereka semua setuju bahwa pemerintahan negara Islam harus dilanjutkan oleh seorang pemimpin baru, yaitu khalifah. Ketidaksetujuan berkisar pada siapakah orang yang layak jadi pemimpin, bukannya pada perlunya kepemimpinan. Kaum Anshar bersikeras pemimpin harus dari kelompoknya, namun golongan Muhajirrin menolak. Mereka berpendapat, kepemimpinan sebenarnya hak orang-orang Makkah. Mereka berkompromi, khalifah adalah untuk satu kelompok dan komandan untuk kelompok lainnya. Namun, tak seorang pun berkata bahwa umat Islam tidak memerlukan seorang pemimpin dan mereka bisa membentuk sebuah masyarakat tanpa seseorang yang mengarahkan kehidupan sosial dan politik.


Bahkan lebih jelas lagi, Ali bin Abi Thalib, yang tidak menyetujui hasil Saqifah dan menentang keputusannya, mengetahui persis bahwa haknya untuk memimpin umat pada saat yang sangat genting telah diabaikan. Akan tetapi, dia sama sekali tidak menyangkal perlunya pemimpin negara Islam yang masih amat muda itu. Menurut keyakinan Ali bin Abi Thalib, kekhalifahan pasca-Saqifah adalah kekhalifahan yang menyimpang namun tetap perlu diselenggarakan demi kehidupan sosial-politik umat. Dengan alasan inilah, dia tidak pernah berusaha menumbangkan kekhalifahan tersebut. Sebaliknya, karena menyadari bahaya yang diakibatkan oleh huru-hara politik, dia tidak pernah enggan memberi nasihat terbaik untuk kelestarian Islam. Selain itu, dia tidak pernah melarang para pendukungnya yang paling loyal dan juga anggota keluarganya untuk menerima tugas resmi dari para khalifah. Dia benar-benar bersikukuh pada prinsip pemerintahan demi keberlanjutan tatanan umat Islam yang akan datang. Dalam perselisihannya dengan kaum Khawarij yang melepaskan diri dari pasukannya dan menafsirkan ayat al-Quran, ‘Keputusan adalah milik Allah semata’ (lâ hukm illâ li-Allâh) secara salah, dengan jalan memberontak terhadap otoritas Ali, ia menolak interpretasi  mereka dengan mengatakan:


Sungguh itu adalah kalimat  haqq, namun dimaksudkan untuk sesuatu yang batil! Memang benar, “tiada hukum kecuali bagi Allah”. Namun orang-orang itu bermaksud mengatakan: “Tiada kepemimpinan kecuali bagi Allah”. Padahal, masyarakat harus punya seorang pemimpin, apakah ia seorang yang baik atau yang jahat. Di bawah kepemimpinannya, seorang Mukmin melaksanakan tugasnya; seorang kafir menikmati hidupnya sementara Allah SWT mencukupkan ajal segala sesuatu. Penghasilan uang negara dikumpulkan; musuh-musuh diperangi; jalan-jalan diamankan dan hak si lemah diambil kembali dari si kuat, sehingga orang yang baik akan hidup tenteram dan yang jahat dapat dicegah dari kejahatannya.22


Oleh karena itu, seseorang tidak boleh meragukan prinsip-prinsip bahwa penegakkan dan kelangsungan pemerintahan merupakan perkara-perkara penting. Selain itu, tanggung jawab ini telah dibebankan di pundak umat. Ketika Nabi atau Imam hadir, mereka harus mendukung dan menolongnya untuk mengurus masalah-masalah kepemerintahan. Ketika Imam sedang gaib, umat mesti mencari dan memilih faqih (faqih) yang berkualitas, berilmu Islam yang luas dan mendetail, berpengalaman dalam dunia sosial-politik, dan dianugrahi oleh wawasan politik dalam rangka mengatur tatanan umat Islam. Pembenaran untuk memilih seorang ahli hukum (faqîh) yang berkualitas untuk mengatur pemerintahan Muslim dapat dilihat dalam hadis para imam yang tidak hanya menerima pemerintahan seorang faqih di masa kegaiban Imam Keduabelas, tetapi bahkan merekomendasikan para pengikutnya untuk mencari pemimpin-pemimpin seperti ini di antara mereka. Orang semacam ini mampu mengarahkan umat Islam dan mampu melaksanakan program sosial-politik Islam.


Perlu disebutkan, perdebatan mengenai pemerintahan Islam dan hubungannya dengan pemerintahan seorang faqih (wilayat al-faqih) adalah hal yang rumit dan perlu penjelasan mendetail yang tidak dapat kita lakukan pada kesempatan ini dalam pembahasan kita mengenai Imam Keduabelas as. Namun, kita akan membicarakannya secara ringkas dan menyimpulkan diskusi kita. Maksud kami membahas detail-detail mengenai perlunya pemerintahan Islam selama kegaiban ini adalah untuk menyadarkan Anda bahwa ketika kita menganggap hadis-hadis yang menolak segala keterlibatan yang aktif dalam gerakan sosial dan politik sebelum datangnya al-Mahdi, maka kita harus menyadari seluruh kewajiban tersebut diklasifikasikan sebagai bagian dari tugas-tugas kolektif—misalnya, perang, pertahanan, lembaga peradilan, pelaksanaan keadilan, dan lain sebagainya. Dan, oleh karena itu,  merupakan perkara-perkara yang diperlukan dari hadis hukum Islam. Dengan demikian, seseorang tidak bisa meragukan pelaksanaannya dalam tatanan umat Islam. Untuk melaksanakannya secara efektif, maka diperlukan otoritas Muslim yang memiliki kekuatan untuk melaksanakan agenda sosial politik Islam. Oleh karena itu, kita harus memeriksa hadis-hadis yang mendorong kepasifan politik di saat perlunya menata urusan Muslimin. Saya harap, saya bisa membicarakan permasalahan ini di kesempatan yang akan datang dan memerikannya dengan agak detail sehingga kita dapat menarik kesimpulan secara objektif. Berhubung waktu kalian tidak memadai, kita harus menundanya sekarang.


Dr. Jalali: Mari kita diskusikan pemasalahan lainnya di rumah saya.                          


Catatan

 

1.      Al-Kulaini, al-Kâfî,  jilid 1, hal.271.
2.      Itsbât al-Hudât, jilid 6, hal.364.
3.      Itsbât al-Hudât, jilid 7, hal.172; Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal.389.
4.      Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal.389.
5.      Al-Kulaini, al-Kâfî, jilid 1, hal.279
6.      Itsbât al-Hudât, jilid 6, hal.420.
7.      As-Suyuthi, Kitâb al-Hawi li al-Fatâwâ, jilid 2, hal.78.
8.      Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal.96.
9.      Ibid., jilid 51, hal.133.
10.  Kamâl al-Dîn, jilid 2, hal.644.
11.  Ibid.
12.  Ibid.
13.   Ibid., hal.645.
14.  Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal.218.
15.  Ibid., jilid 52, hal.358.
16.  Ibid., hal.366.
17.  Kamâl al-Dîn, jilid 2, hal.644.
18.  Nu’mani, Kitâb al-Ghaibah, hal.211.
19.  QS al-Ahzab: 6.
20.  Untuk detailnya, lihat Syaikh Abdul-Haqq, Kitâb al-Tarâtib al-Idâriyyah dan al-Hafizh Abu Ubaid, Kitâb al-Amwâl.
21.  Yanâbî’ al-Mawaddah, hal.3.
22.  Nahj al-Balâghah, khutbah 39.

* Bekam: Mengeluarkan (memantik) darah dari badan orang (dengan menelungkupkan mangkuk panas pada kulit sehingga kulit menjadi bengkak, kemudian digores dengan benda tajam supaya darahnya keluar). Ini merupakan tradisi pengobatan bangsa Arab. Menurut riwayat, Nabi saw acap melakukannya—peny.