پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Prakata Penerjemah

Prakata Penerjemah

Kepemimpinan (imamah) dalam Islam-setidaknya eksplisit dalam Islam Syi'ah, dan "malu-malu" dalam Islam Sunni-diakui sebagai poras utama kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dalam hal pertama, seseorang tidak bisa menjalankan praktik beragamanya tanpa melibatkan dalam dirinya kehadiran seorang pemimpin (imam). Kehadiran seorang imam amat substantif bagi umatnya mengingat dialah-apalagi dalam teologi Syi'ah-yang berperan menjaga kandungan agama dan wahyu yang telah disampaikan Nabi saw. Dialah yang menerangkan makna lahir maupun batin sebuah nas. Dalam konteks ini, Imam merupakan perwujudan Logos dimana akal manusia pada praktiknya berasal dari pantulan Imam. Tidak ada hikmah dan kesucian tanpa karunia dari Sang Imam, sekalipun Sang Imam Gaib (baca: Imam Mahdi). Mengenal Tuhan berarti mengenal-Nya melalui Imam karen a semua pengetahuan berasal dari akal (Schuon, 1998).

Dalam hal kedua, ini lebih jelas lagi karena tidaklah kafilah manusia berevolusi dan bergerak kepada suatu arah dan tujuan melainkan niscaya dipandu pemimpinnya. Ini hukum universal, yang bisa dijumpai di manapun di dunia. Ketiadaan seorang pemimpin umat (Imam) hanyalah akan melahirkan chaos semata. Maka, peneguhan atas ken is cayaan hadirnya seorang Imam bukan semata-mata bersandar pada nas (al-Quran dan Hadis) tapi juga ditopang dengan keniscayaan rasional.

Kemuliaan istimewa para imam, termasuk Fathimah, terletak pada penggabungan antara, katakanlah, substansi Ilahi mereka dan kesucian pribadi mereka. Kekudusan mewujud secara efektif dalam diri Imam Keduabelas, yang menarik dirinya dari lingkungan manusia (okultasi) dan akan muncul kembali sebagai Mahdi menjelang Hari Kiamat (ibid., hal. 111). Eksistensi Imam Terakhir ini merupakan paku buwana (poros semesta). Artinya, dalam tatanan kosmos, ketiadaannya akan berakibat pada kehancuran alam semesta itu per se (kiamat).

Pembuktian eksistensi Imam Mahdi melalui dalil tekstual dan rasional dalam buku ini malah semakin mengukuhkan pendapat bahwa hanya dalam Islam Syi 'ah-lah hubungan antara manusia dan Allah Sang Pencipta tetap terpelihara melalui mediasi Imam Mahdi sebagai Imam Keduabelas. Ini tak terlihat dalam agama Yahudi yang hubungannya dengan Tuhan [seolah] terputus setelah wafatnya Musa as; dalam agama Kristen setelah diangkatnya Isa as ke langit; ataupun dalam Islam Sunnah setelah wafatnya Nabi saw.

Eksistensi Imam Mahdi dalam kegaiban yang panjang tidak mengurangi signifikansinya sebagai "kutub" alam semesta. Dengan paradigma Mahdiisme ini harapan akan masa depan yang lebih baik justru tidak bersifat pesimistik. Bagaimanapun, optimisme terhadap masa depan dunia yang lebih baik di bawah naungan pemerintahan Imam Terakhir ini tentu saja mesti dibarengi peran-peran efektif dan sinergis dari umat manusia sendiri. Terutama dari para pengikutnya. Inilah yang disebut dengan penantian yang membangun atau penantian positif.

Karenanya, daripada "duduk berpangku tangan, putus asa, dan terkoyak-koyak oleh angan-angan sendiri, seraya berkata bahwa usia dunia ini sudah berakhir, manusia sudah menggali kuburannya sendiri, dan masa kebahagiaan sudah harus selesai, adalah wajib bagi kita untuk menanamkan dan menumbuhkan harapan-harapan baik yang kita miliki, lalu berkata, 'Kemenangan ini, seperti yang telah dialami oleh umat manusia di masa-masa lalu, tidak akan muncul sebelum kita melewati berbagai kesulitan. Kemudahan selalu muncul sesudah kesulitan, dan kilat selamanya memancar di kegelapan awan.'" (Muthahhari, 1995). Pendek kata, tetap ada obligasi moral-sosial bagi umat Islam dalam menantikan (secara aktif) pemerintahannya.

Terkait dengan masalah pemerintahan Islam selama menunggu kehadiran Imam Mahdi, Imam Khomeini (2002: 56) menulis, "Sekarang, walaupun kita berada pada masa kegaiban Imam Mahdi as, namun masih tetap diperlukan terpelihara dan terjaganya aturan-aturan Islam yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat mencegah terjadinya anarki." Menurut Ayatullah Amini, tidaklah mungkin kewajiban-kewajiban religi diabaikan begitu saja hanya karena alasan penerus kepemimpinan Ilahi sedang gaib. Iman terhadap keberadaan

Imam Mahdi yang gaib menuntut tanggung jawab sosial dan itu-saat ini-dipikul oleh faqih yang kompeten. Karena Imam telah menjadikan faqih sebagai wakil "umumnya" [pasca-kegaiban besarnya], maka faqih adalah ia yang paling memenuhi syarat di antara umat Imamiyah untuk menerapkan kewajiban "memajukan kebajikan dan mencegah kemungkaran" dalam posisinya sebagai salah seorang dari ulu al- 'amr." (Sihbudi, 1996).

Menyangkut pemerintahan faqih (wildyat al-faqih), Imam Khomeini (2002) menyandarkan otoritasnya pada riwayat dari Imam Husain as dimana tugas wilayat al-faqih dan tugas-tugas fuqaha adalah untuk "melawan para penindas dan pemerintahan tiran [serta] untuk menegakkan pemerintahan Islam serta melaksanakan hukum-hukum Islam." Oleh sebab itu, pelembagaan wildyat al-faqih merupakan ken is cayaan rasional dan syar ' i.

Adapun, tugas dan fungsi seorang wali al-faqih, di antaranya-dengan meminjam ungkapan Sayid Baqir ash-Shadr (2001:108-9)-adalah: (i) menjadi pembawa obor Islam bagi seluruh pelosok dunia; (ii) mendukung kebenaran dan keadilan dan mewujudkannya dalam pemerintahan Islam yang ideal dalam urusan luar negeri dan politik; dan (iii) memerangi imperialisme dan penindasan serta mendukung masalah bangsa-bangsa yang serba-kekurangan dan tertindas di mana pun di seluruh dunia.Meski tidak dikupas tuntas, dengan alasan ruang yang tidak memadai, singgungan wilayat al-faqih oleh Ibrahim Amini dalam buku ini telah memberikan hal yang berharga sekaitan dengan tema penantian aktif.

Buku Imam Mahdi: Penerus Kepemimpinan Ilahi yang hadir di tangan pembaca ini berupaya mendedah dan memerikan setiap lapis persoalan yang menyelimuti eksistensi, jatidiri, dan fungsi-fungsi efektif yang diemban oleh Imam Mahdi, pemimpin dunia yang ditunggu¬tunggu. Pengupasan ayat dan riwayat oleh penulis prolifik ini akan mendekonstruksi citra-citra negatif perihal keberadaan Imam Keduabelas yang boleh jadi bagi sebagian kalangan merupakan tokoh mitologi yang disusupkan dalam batang tubuh Islam.

Motivasi penerjemahan buku ini tidak terlepas dari keinginan untuk berbagi informasi kepada pembaca perihal eksistensi Imam Mahdi yang masih diselimuti misteri. Lebih-lebih, karena buku ini disajikan secara berimbang dengan merujuk kepada dua jalur Islam (Sunnah dan Sviah) maka tentunya nilai dan mutu akademisnya bisa dipertanggungjawabkan.

Kami berdua mengucapkan terima kasih atas kesediaan Islamic Center Jakarta Al-Huda untuk menerbitkan naskah terjemahan kami. Semoga buku ini bisa memenuhi tujuan yang dimaksud. Amin.

Bogor, 29 Agustus 2002

Arif Mulyadi
R. Hikmat Danaatmaja, S.Pd.