پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

BAB 4: Alam Gaib dan Imam Zaman

BAB 4

Alam Gaib dan Imam Zaman

 

PERTEMUAN berikut dilangsungkan di kediaman Dr. Jalali. Dialah orang pertama yang membuka diskusi.

            Dr. Jalali: Sebagian kecil Muslimin percaya bahwa Imam Zaman adalah putra Imam Hasan al-Askari yang lahir pada tahun 256 H/843 M. Akan tetapi, mereka mengatakan bahwa ia diangkat dari dunia ini ke alam gaib yang disebut sebagai Hurqalyah1. Ketika manusia mencapai kematangan dan mengakhiri kehidupan yang dikuasai pertikaian dunia ini seraya menyiapkan dirinya sendiri untuk bertemu dan melihat Imam Zaman, ia akan lebih mudah untuk melihatnya.

            Salah seorang otoritas terkemuka telah menulis demikian dalam bukunya:

Alam [gaib] ini telah merapat sampai ia menyatu dengan bumi. Di masa Adam, ia diperintahkan: ‘Naiklah!’ Dan, sampai sekarang ia naik. Dia belum melepaskan dirinya sendiri dari keterikatan-keterikatan duniawi dan kotoran-kotoran yang menahannya. Dia belum mencapai atmosfer yang bersih. Jadi, di sini semuanya berupa kegelapan. Dalam kegelapan, seorang manusia mencari suatu agama dan melakukan perbuatan-perbuatan. Ia memiliki serangkaian keyakinan. Ketika ia membebaskan dirinya dari debu tradisi-tradisi dan memasuki ruang yang bersih, ia akan menyaksikan wajah berseri wali Allah itu (= Imam Keduabelas). Ia [Adam] mendapatkan manfaat dari kehadirannya tanpa halangan secara nyata. Pada saat itu, tata tertib agama akan menjadi sesuatu yang lain dan agama akan mencapai bentuk sejatinya sehingga segala sesuatu akan berbeda.

Dari itu, kita harus mikraj ke dunia tersebut tempat wali Allah ini hadir dan tidak menantinya untuk mendatangi kita. Jika ia mendatangi kita dan menemukan kita lemah, kita tidak bisa mendapatkan manfaat darinya. Bahkan, jika ia mendatangi kita dan kita tetap dalam kondisi [eksistensi penuh dosa] yang sama, kita tidak akan bisa menemuinya. Ini pun berlawanan dengan akal sehat. Di sisi lain, jika keadaan kita berubah lebih baik dan meningkat, maka posisi kita niscaya beranjak naik. Nama alam tersebut bahasa teosofi adalah Hurqalyah. Jadi, ketika dunia naik ke aras tinggi itu, ia mencapai maqam Hurqalyah. Di tempat itu, ranah Imam diketahui. Kebenaran dimenangkan dan kebatilan dikalahkan.2

            Tn. Hosyyar: Maksud pengarang itu dalam tulisan tadi tidaklah jelas. Jika ia bermaksud menyampaikan bahwa Imam Zaman as telah memasrahkan eksistensi ragawi dan tubuh fisiknya untuk mikraj ke alam ideal tersebut, akibatnya ia bukan lagi orang yang ada di bumi ini yang memerlukan jasad duniawi dan terikat dengan kemestian-kemestian duniawi. Pandangan ini, di samping pada dirinya sendiri tidak rasional, tidak sesuai dengan bukti-bukti rasional dan tekstual yang membuktikan keniscayaan imamah.

Sudah tentu, bukti-bukti ini menunjuk kepada fakta bahwa mesti ada di tengah-tengah manusia seorang insan sempurna yang memiliki semua sifat unggul dan nilai kebajikan dalam dirinya bisa diaktualisasikan. Orang semacam itu—yang telah mencapai jalan lempang agama—akan menunjukkan jalan tersebut dan memimpin manusia kepadanya. Baru setelah itu, imam tersebut bisa berperan sebagai teladan dan menjaga aturan-aturan Tuhan dan berperan sebagai otoritas yang kompeten dan bukti keberadaan Tuhan (hujjatullâh). Imam Keduabelas adalah orang seperti itu. Dengan melihatnya secara berbeda, kebutuhan pemandu dan pembimbing amat terasa ketika manusia bergerak menuju sejumlah tujuan, yang diperintahkan untuk mencapai kesempurnaan tersebut.

            Akan tetapi, jika maksud pengarang berkaitan dengan Hurqalyah adalah untuk memastikan suatu tempat di alam material ini, maka kami setuju dengan keyakinan yang dipegangnya. Namun, makna belakangan yang lebih rasional tampak tidak sesuai dengan pengertian eksplisit dalam tulisannya. ‘Ala kulli hal, tampaknya pendapat ini lemah.

 

Apakah Imam Dilahirkan Di Akhir Zaman?

            Dr. Fahimi: Kami bisa menerima hal ini dari apa yang telah Anda katakan, yakni, eksistensi al-Mahdi di tengah-tengah kebenaran Islam tak terbantahkan lagi, yang untuk itu Nabi pribadi telah menyampaikan informasi tersebut. Akan tetapi, apakah ada masalah jika kita katakan al-Mahdi yang dijanjikan belumlah lahir? Ketika kondisi-kondisi dunia telah kondusif Allah akan melantik salah seorang keturunan Nabi yang akan menegakkan aturan keadilan dan menciptakan kondisi-kondisi bagi ibadah yang ikhlas kepada Allah dengan menghancurkan pasukan kezaliman serta berusaha memerangi para pelaku kejahatan sampai kemenangan diperoleh.

            Tn. Hosyyar: Izinkanlah saya untuk menunjukkan bahwa kita telah membuktikan melalui semua bukti rasional dan tradisional bahwa tidak satu periode pun dari kehidupan manusia tanpa kehadiran seorang imam. Pasalnya, ketiadaan imam akan mengarah kepada kemunduran manusia. Oleh karenanya, zaman kita pun tidak mungkin tanpa kehadiran imam.

            Selain itu, kami telah meneguhkan eksistensi al-Mahdi secara berturut-turut melalui hadis dan riwayat dari Nabi dan keluarganya. Dari sana, kita juga akan memperoleh paparan tentang orang dan karakternya dari sumber-sumber yang sama. Syukurlah, semua karakteristik dan tanda-tanda eksistensinya tercakup dalam sejumlah hadis, tidak meninggalkan kesamaran ataupun ketaktepatan pada nilainya. Akan tetapi, jika kita betul-betul membaca semua riwayat tersebut, semua ini akan memerlukan sejumlah pertemuan. Karena itu, saya tidak percaya bahwa Anda, dengan kesibukan Anda yang begitu padat, punya banyak waktu. Beranjak dari situ, saya hanya akan memberi Anda daftar riwayat ini dan Anda bebas melakukan pengujian yang lebih terperinci guna memuaskan minat Anda.


Paparan tentang al-Mahdî

Ulama kontemporer, Shafi Gulpaygani, telah mengumpulkan semua hadis berikut dalam kitabnya, Muntakhab al-Atsar, dengan menukil sumber-sumbernya dari jalur Sunni dan Syi`i. Berikut daftar subjek yang dimaksud dan sejumlah hadis tentang subjek itu:

Hadis 91: “Para imam berjumlah dua belas orang. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah al-Mahdi.”

Hadis 94: “Para imam berjumlah duabelas dan yang terakhir adalah al-Mahdi.”

Hadis 107: “Para imam ada duabelas orang. Sembilan di antaranya keturunan Husain, dan yang kesembilan itu al-Qâ’im.”

Hadis 389: “Mahdi berasal dari keturunan Nabi.”

Hadis 214: “Mahdi berasal dari keturunan Ali.”

Hadis 192: “Mahdi berasal dari keturunan Fathimah.”

Hadis 185: “Mahdi berasal dari keturunan Husain.”

Hadis 148: “Mahdi adalah keturunan Husain yang kesembilan.”

Hadis 185: “Mahdi berasal dari keturunan Ali bin Husain.”

Hadis 103: “Mahdi berasal dari keturunan Imam Muhammad al-Baqir.”

Hadis 103: “Mahdi berasal dari keturunan Imam Ja’far ash-Shadiq.”

Hadis 99: “Mahdi adalah keturunan Imam ash-Shadiq yang keenam.”

Hadis 101: “Mahdi adalah keturunan Imam Musa al-Kazhim.”

Hadis 98: “Mahdi adalah keturunan Imam al-Kazhim yang kelima.”

Hadis 95: “Mahdi adalah keturunan keempat Imam Ali ar-Ridha.”

Hadis 90: “Mahdi adalah keturunan ketiga Imam Muhammad at-Taqi.”

Hadis 90: “Mahdi adalah keturunan Imam Ali al-Hadi.”

Hadis 145: “Mahdi adalah putra Imam Hasan al-Askari.”

Hadis 148: “Nama ayah al-Mahdi adalah Hasan.”

Hadis 47: “Nama dan gelar al- Mahdi sama dengan nama dan gelar Nabi.”3

 

Nabi saw bersabda:

Al-Mahdi yang dijanjikan berasal dari keturunanku. Nama dan gelarnya sama dengan nama dan gelarku. Dalam penciptaan dan perilaku ia yang paling dekat denganku. Ia akan hidup dalam kegaiban. Selama masa kegaiban, manusia akan kebingungan dan tersesat. Di saat itu, laksana bintang gemerlap ia akan muncul kembali dan mengisi bumi dengan keadilan dan persamaan, sebagaimana ia dipenuhi dengan kezaliman dan tirani sebelumnya.4

Sebagaimana yang bisa Anda saksikan dari hadis-hadis di atas, al-Mahdi telah diidentifikasi sedemikian jelas di mana tidak ada keraguan tentang sosoknya. Pada titik kritis ini, tampaknya tepat untuk mengingatkan diri kita bahwa berdasarkan sejumlah hadis Nabi dan laporan-laporan sejarah, siapapun bisa menyimpulkan bahwa Nabi saw telah melarang gabungan nama dan julukannya dalam satu sosok. Maka itu, ini  merupakan peristiwa yang jarang terjadi dalam sejarah.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, “Jangan menggabungkan nama dan julukanku dalam satu orang.”5 Disebabkan larangan inilah maka saat Ali bin Abi Thalib memilih nama dan julukan Nabi saw untuk putranya Muhammad bin al-Hanafiyyah, para sahabat Nabi saw mengajukan keberatan terhadapnya. Ali bin Abi Thalib as menjawab keberatan ini dengan mengatakan: “Aku punya izin khusus dari Nabi saw tentang masalah ini.” Sejumlah sahabat membenarkan ucapan Ali ini.

Jika kandungan hadis ini dihubungkan dengan hadis yang menyatakan bahwa al-Mahdi akan mempunyai nama dan gelar Nabi saw, maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw sendiri menghendaki penggabungan nama dan gelarnya sebagai bagian dari tanda-tanda al-Mahdi masa depan sebagai pengecualian darinya. Kasus Muhammad bin al-Hanafiyyah merujuk kepada fakta ini yakni  penyatuan nama dan gelar Nabi saw pada dirinya. Pada gilirannya, ia mengklaim—dengan alasan nama dan gelar Nabi yang menyatu pada dirinya—tanda kemahdiannya ketika mengatakan: “Benar. Akulah al-Mahdi. Namaku sama dengan nama Nabi saw, dan gelarku sama dengan gelarnya.”6

 

Mahdi Berasal dari Keturunan Husain bin Ali

            Dr. Fahimi: Para ulama kita mengakui bahwa al-Mahdi berasal dari keturunan Husain. Mereka menyebut hadis berikut yang diriwayatkan dalam Sunan Abi Dawud:

Abu Ishaq meriwayatkan: “Ali, ketika melihat putranya Hasan, berkata, ‘Putraku ini adalah sayyid sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw. Di antara keturunannya akan lahir seorang lelaki yang namanya sama dengan Nabi saw. Ia akan menyerupai Nabi saw dalam sikapnya. Namun ia tidak menyerupainya dalam perawakan.”7

                Tn. Hosyyar: Pertama, mari saya tunjukkan beberapa kemungkinan dalam hadis tersebut. Dalam hadis itu, besar kemungkinan telah ada suatu kesalahan dalam penulisan ataupun pencetakan hadis. Dan, alih-alih ‘Husain’ yang tercatat malah ‘Hasan’. Alasannya, hadis yang sama telah diriwayatkan dalam kumpulan hadis lain di mana alih-alih ‘Hasan’ yang tertulis adalah Husain. Ucapan ini disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib kepadanya [Husain].8

                Kedua, sudah sangat banyak hadis dalam kumpulan Sunni dan Syi`i yang mengatakan bahwa al-Mahdi berasal dari keturunan Husain. Dengan sendirinya, hadis ini tidak absah. Mari kita periksa beberapa contoh dari kompilasi Sunni tentang topik ini:

            Hudzaifah menyampaikan hadis berikut dari Nabi saw:

Nabi saw berkata: “Sekiranya masih tersisa waktu satu hari untuk dunia, Allah akan memperpanjangnya sampai seorang lelaki dari keturunanku, yang namanya sama dengan namaku, akan muncul.” Salman bertanya: “Dari keturunanmu yang manakah ia akan lahir?” Nabi saw menjawab: “Dari putraku ini.” Dan, beliau menepuk-nepuk Husain dengan tangannya.9

                Dalam hadis lain, Abu Sa`id al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata kepada Fathimah:

“Al-Mahdi  dari umat ini berasal dari kita. Di belakangnya, Nabi Isa as akan shalat.” Kemudian beliau menepuk-nepuk bahu Husain dengan tangannya dan menyatakan: “Al-Mahdi umatku berasal dari keturunan putraku ini.”10

            Suatu saat Salman al-Farisi menjenguk Nabi saw ketika beliau menggendong Husain dalam pangkuannya. Nabi saw mencium wajah dan mulut Husain seraya berkata:

Engkau adalah sayyid, putra dan saudara sayyid. Engkau adalah Imam, putra dan saudara Imam. Engkau adalah hujjah, putra dan saudara hujjah keberadaan Allah. Engkau adalah ayah sembilan hujjah Allah, yang kesembilan dari mereka adalah al-Qâ’îm.11

            Menurut hadis ini, al-Mahdi adalah keturunan Husain. Sebab itu, siapapun harus mengabaikan hadis-hadis berikut yang mengatakan bahwa al-Mahdi merupakan keturunan Hasan. Bahkan, sekalipun orang mengakui hadis-hadis belakangan sebagai hadis autentik, bisa ditegaskan bahwa kedua jenis hadis menunjuk kepada fakta bahwa al-Mahdi memang keturunan Hasan sekaligus Husain. Maksudnya, ibunda Imam Muhammad al-Baqir  adalah putri Imam Hasan. Hadis di bawah menyebutkan hubungan logis antara kedua jenis hadis di atas tentang al-Mahdi yang berasal dari keturunan Hasan dan Husain:

Nabi saw berkata kepada Fathimah. Dua cucu umat ini berasal dari kita. Inilah Hasan dan Husain yang keduanya adalah penghulu para pemuda surga. Demi Allah, ayah mereka lebih utama ketimbang mereka berdua. Sesungguhnya aku menyatakan demi nama Zat Yang Mahatunggal yang telah mengutusku sebagai nabi bahwa al-Mahdi umat ini akan muncul dari kedua putramu di saat kekacauan akan merajalela.12

Bagaimana al-Mahdi Terkenal?

            Dr. Jalali: Jika al-Mahdi adalah pribadi terkemuka dan terkenal serta jika keutamaan dan karakteristiknya sangat masyhur telah sampai ke telinga kaum Muslimin dan para sahabat imam yang jujur di masa-masa awal Islam, maka jalan ke manipulasi dan kesesatan niscaya telah tertutup dan para sahabat imam dan para ulama niscaya tidak akan jatuh dalam kesalahan. Sebaliknya, siapapun menemukan bahwa bahkan sebagian dari keturunan para imam tidak punya informasi yang benar tentang topik al-Mahdi. Lantas, bagaimana bisa banyak orang yang mengklaim sebagai al-Mahdi tampil di masa-masa awal, memperkenalkan diri mereka sebagai al-Mahdi yang dijanjikan dalam Islam serta menyesatkan orang-orang dengan klaim palsu mereka? Jika umat Islam mengetahui al-Mahdi melalui namanya, nama ayah dan ibunya, dan gelarnya dan ia adalah Imam Keduabelas, dan semua detail lain tentang zamannya dan ciri-ciri lain, lantas bagaimana sekelompok orang bisa jatuh dalam kesalahan dan menganggap Muhammad bin Hanafiyyah, Muhammad bin Abdullah bin Hasan, Ja’far ash-Shadiq, Musa al-Kazhim, atau orang-orang lain sebagai al-Mahdi?

            Tn. Hosyyar: Sebagaimana disebutkan di muka, keyakinan mendasar terhadap eksistensi al-Mahdi merupakan ajaran agama yang kuat kedudukannya di kalangan Muslim awal. Nyatanya, orang-orang tidak memiliki keraguan apapun akan eksistensinya. Nabi saw telah menginformasikan secara terperinci ihwal eksistensi al-Mahdi, karakteristiknya, misi universalnya untuk melembagakan pemerintahan Ilahi berdasarkan keadilan dan persamaan serta mengakhiri kezaliman dan penindasan dengan melakukan perubahan serta perbaikan penting dan mendasar. Sesungguhnya, Nabi saw telah banyak memberi kabar gembira semacam itu kepada kaum Muslim. Akan tetapi, beliau tidak memperlengkapi mereka dengan bukti-bukti dan karakteristik dan kekhususan aktual dari al-Mahdi. Alih-alih, siapa saja bisa mengatakan bahwa masalah-masalah tersebut merupakan bagian dari informasi terpercaya yang diturunkan kepada sejumlah kecil pengikut Islam yang setia dan terpercaya, Nabi saw telah memberikan informasi terpercaya tentang al-Mahdî tersebut kepada Ali bin Abi Thalib, Fathimah, dan para sahabat utama lainnya, seraya menyimpan rahasia tersebut dari masyarakat umum, selain hanya memberi mereka isyarat-isyarat dan kabar umum tentang topik tersebut. Para imam pasca-Nabi saw mengikuti teladannya. Mereka hanya menyampaikan informasi ringkas tentang al-Mahdi kepada masyarakat. Semua landasan mendetail tentang topik tersebut dipindahtangankan dari satu imam ke imam lain. Terkadang, informasi tersebut diungkapkan kepada sejumlah kecil sahabat mereka yang amanah dan jujur. Secara umum, masyarakat umum dan bahkan sebagian dari anggota keluarga para imam, mengetahui sangat sedikit tentang topik tersebut.

            Ada dua alasan bagi Nabi saw dan para imam as untuk tidak memperturutkan sesuka hati dalam menyampaikan informasi terperinci tentang masa depan menjelang kemunculan al-Mahdi:

            Pertama, mereka ingin menjaga identitas dan rahasia dari al-Mahdi yang dijanjikan dari musuh-musuh Allah dan para penguasa zalim sehingga tidak ada bahaya yang akan menimpanya dari kedua pihak tersebut. Nabi saw dan para imam as sepenuhnya sadar bahwa andaikata para penguasa, khalifah zalim dan agen-agen mereka mengetahui identitas al-Mahdi lengkap dengan semua ciri tentang nama orang tuanya, nama-nama mereka, dan seterusnya, niscaya mereka semua tidak menunda-nunda lagi untuk menghalangi kelahirannya sekalipun dengan cara membunuh orang tuanya. Bani Umayyah dan Abbasiyyah memutuskan mengakhiri kekuasaan mereka melalui pelibasan bahkan ancaman paling ringan kepadanya. Mereka tidak henti-hentinya melakukan tindak kejahatan yang mengerikan untuk mengukuhkan kekuasaan. Barangkali, mereka telah berusaha mengucilkannya, meski ini artinya membunuh seseorang secara tidak langsung yang terkait dengan tantangan kepada penguasa otokratis mereka.

            Sebagai catatan penting sekalipun Bani Umayyah dan Abbasiyyah tidak sepenuhnya diberitahu tentang tanda-tanda kemunculan al-Mahdi, mereka membunuh ribuan keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fathimah, untuk membungkam ancaman potensial dari revolusi al-Mahdi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Imam ash-Shadiq kepada Mufadhdhal, Abu Bashir, dan Aban bin Taghlib, Imam as berkata: “Karena Bani Umayyah dan Abbasiyyah telah mendengar bahwa pemerintahan tiranik akan digulingkan oleh al-Qâ’im kami, mereka memulai permusuhan terhadap kami. Mereka berusaha membunuh keturunan Nabi saw dan menghancurkan generasi berikutnya dengan harapan mereka bisa menyingkirkan al-Qâ’im. Namun karena Allah telah memutuskan memenuhi kehendak-Nya, Dia tidak menyingkapkan kepada para tiran semua informasi tentang persoalan tersebut.”13

                Kasus para imam tidaklah jauh berbeda dengan kasus Nabi saw sendiri. Mereka tinggal dalam kekhawatiran selama hidup mereka. Oleh karenanya, mereka menerapkan taqiyyah dalam menyampaikan detail-detail tentang al-Mahdi sekalipun terhadap para sahabat yang paling dekat dan keturunan Ali lainnya (’Alawi). Abu Khalid, sahabat dekat Imam al-Baqir dan ash-Shadiq as, suatu saat meminta Imam al-Baqir as untuk membenarkan al-Qâ’im baginya sehingga ia akan sepenuhnya mengenalinya. Imam as berkata: “Wahai Abu Khalid, Anda telah menanyakan sesuatu yang seandainya keturunan Fathimah akhirnya mengetahui sesuatu, para penguasa akan memotongnya menjadi serpihan-serpihan!”14

                Kedua, dengan semata-mata memberikan informasi umum tentang al-Mahdi, Nabi saw dan para imam as menghendaki agar mereka yang imannya lemah tidak dikuasai rasa frustrasi di hadapan para penguasa yang zalim. Dengan kata lain, mereka yang telah menyaksikan atau mendengar sesuatu ihwal pemerintahan Nabi saw dan Imam Ali bin Abi Thalib yang bersih dan adil di masa-masa awal Islam, telah mendengar tentang kemenangan akhir agama sejati dan akhir kezaliman serta kebejatan di bawah kekuasaan Islam. Dengan begitu, mereka telah menerima agama baru tersebut dengan harapan menyaksikan akhir semua kebejatan. Akan tetapi, karena mereka adalah mu`allaf (baru masuk Islam), keimanan mereka tidaklah kuat.

            Pada saat yang sama, di satu sisi, kekacauan yang terjadi di masyarakat Islam dan kondisi-kondisi tidak kondusif yang terjadi telah berdampak kepada orang-orang ini. Di sisi lain, mereka melihat perilaku tercela dari para penguasa Bani Umayyah dan Abbasiyyah dan cara-cara yang dipaksakan kepada masyarakat. Kondisi-kondisi sosio-politik yang tidak mendukung ini pada akhirnya telah membingungkan mereka.

             Yang menjadi keprihatinan Nabi saw dan para imam as adalah bahwa orang-orang yang imannya lemah akan putus asa, dalam kebenaran dan agama Islam yang dikuasai oleh kekuatan-kekuatan jahat, maka mereka akan mengabaikan Islam. Sampai titik tertentu hal yang bisa menjamin orang-orang untuk tetap memegang teguh agama Islam dan memberi harapan ke dalam hati-hati mereka adalah keyakinan akan kemunculan kembali dan revolusi al-Mahdi yang dijanjikan. Kaum Muslim ini mengharapkan revolusi al-Mahdi terjadi pada suatu hari dengan meruntuhkan kezaliman di masyarakat dan memperbaharui tatanan baik universal sesuai dengan ideal-ideal Islam tentang keadilan dan persamaan. Secara alamiah, harapan akan masa depan yang lebih baik ini ada di masyarakat yang hanya akan terpengaruh ketika semua detail hakiki tentang kebangkitan al-Qâ`im tidak diketahui secara jelas. Sebaliknya, jika detail-detail tentang waktu, jatidiri, dan tanda-tanda terkait lainnya dari kemunculan al-Mahdi menjadi pengetahuan umum, sikap dan harapan positif niscaya tidak berhasil.

            Tak ayal lagi, adalah warta umum dan ringkas tentang peran masa depan al-Mahdi ini yang memberdayakan orang-orang tertindas di masa-masa awal Islam untuk bersabar atas kondisi-kondisi yang tidak mendukung yang ada di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah yang zalim dan korup.

            Dampak yang diinginkan dari apa yang diprediksikan tentang al-Mahdi secara ringkas terangkum dalam riwayat berikut. Yaqthin, seorang pendukung Abbasiyyah, bertanya kepada putranya Ali bin Yaqthin, seorang sahabat Imam Musa al-Kazhim terkemuka: “Mengapa perkara-perkara yang memprediksikan kami [Abbasiyyah dan sekutunya] telah terpenuhi, sementara yang menyangkut kalian tetap tidak diketahui?”

Ali bin Yaqthin menjawab: “Riwayat-riwayat yang meramalkan kejadian dan peristiwa (yang akan datang) berasal dari sumber [kenabian] yang sama. Akan tetapi, karena saat bagi kekuasaan politik kalian telah tiba, nubuat mengenai kalian, satu per satu, terpenuhi. Tetapi, waktu bagi kekuasaan kami, yakni kekuasaan keluarga Nabi saw, belumlah tiba. Oleh karenanya, mereka telah menyibukkan kami dengan berita-berita gembira dan aspirasi-aspirasi masa depan. Sekiranya kami diberitahu bahwa pemerintahan keluarga Nabi saw tidak akan tegak untuk dua tiga abad selanjutnya, niscaya hati-hati menjadi keras dan kebanyakan orang akan meninggalkan Islam. Namun, peristiwa-peristiwa tersebut telah diriwayatkan sedemikian cara di mana hati-hati menjadi bahagia dan setiap saat kami menunggu tegaknya pemerintahan Allah.”15

 

Hadis-hadis dari Ahlulbait Bukti bagi Semua Umat Islam

            Dr. Fahimi: Siapapun harus mengakui fakta bahwa hadis-hadis Anda mengidentifikasi dan menjelaskan al-Mahdi dengan sangat baik. Sayangnya, hadis-hadis seperti itu nilainya sangat sedikit bagi orang seperti saya sebagai seorang Sunni dan yang tidak melekatkan signifikansi apapun kepada pendapat dan tindakan para imam Anda.

            Tn. Hosyyar: Saya tidak sedang dalam proses membuktikan imamah dan wilâyat (kecintaan terhadap Ahlulbait) kepada Anda. Saya hendak menunjukkan sesuatu yang lain bagi Anda. Kiranya penting untuk menekankan bahwa pendapat dan perbuatan para imam di kalangan Ahlulbait memiliki nilai dan hujjah serta signifikansi bagi semua umat Islam di seluruh dunia, tak peduli apakah umat Islam itu mengakui mereka sebagai imam ataukah tidak. Alasannya, ada sejumlah hadis masyhur tentang otoritas Nabi saw dan diakui sebagai terpercaya baik melalui jalur Sunni ataupun Syi`i dimana Nabi saw telah mengenalkan Ahlulbaitnya sebagai sumber otoritatif dalam pengetahuan Islam dan mendudukkan pendapat serta perbuatan mereka sebagai terpercaya. Misalnya, hadis masyhur tentang “dua pusaka yang berharga” (al-tsaqalain), Nabi saw bersabda:

Aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka yang berharga (al-tsaqalain). Jika kalian berpegang kepada mereka, kalian tidak akan pernah tersesat. Salah satu dari keduanya lebih berbobot ketimbang yang lain. Salah satu dari dua itu adalah Kitab Allah yang merupakan tali antara langit dan bumi, yang keduanya adalah keluargaku, Ahlulbaitku. Dua pusaka ini tidak akan terpisah satu sama lain sampai Hari Kiamat. Oleh sebab itu, berhati-hatilah kalian dalam memperlakukan keduanya.16

            Hadis ini telah dilaporkan dalam pelbagai bentuk, baik dari sumber Sunni maupun Syi`i. Bahkan, ia dinilai sebagai hadis sahih. Menurut Ibn Hajar, sebagaimana tercatat dalam kitabnya ash-Shawâ`iq al-Muharriqah, hadis ini telah diriwayatkan melalui berbagai sumber dan melalui sejumlah rantai periwayatan dari Nabi saw. Sesungguhnya, lebih dari 20 sahabat dekat Nabi saw telah meriwayatkannya. Nabi saw selalu menempatkan arti penting al-Quran dan Ahlulbaitnya dalam berbagai kesempatan yang telah ia nyatakan signifikansi keduanya bagi kesejahteraan kaum Muslim di masa depan, termasuk Haji Wada’ dan al-Ghadir serta setelah kepulangannya dari perjalanannya ke Tha`if.

            Hadis lain yang diakui secara luas di semua sumber Sunni dan Syi`i diriwayatkan oleh Ibn Abbas yang mendengar Nabi saw bersabda: “Perumpamaan keluargaku laksana bahtera Nuh. Barangsiapa yang masuk ke dalamnya, ia selamat, dan barangsiapa yang berpaling darinya, ia akan binasa.”17

            Jabir bin Abdullah al-Anshari meriwayatkan dari Nabi saw hadis lain yang dikutip secara luas. Di dalamnya, Nabi saw bersabda:

Dua putra Ali [Hasan dan Husain] adalah para penghulu pemuda surga. Keduanya adalah anakku. Ali, dua putranya, dan para imam setelah mereka, merupakan hujjah keberadaan Allah di tengah-tengah manusia. Merekalah pintu gerbang pengetahuanku di masyarakat. Barangsiapa yang mengikuti mereka akan selamat dari api neraka, dan barangsiapa yang menerima mereka sebagai pemimpinnya (imam) telah mendapatkan jalan petunjuk. Allah tidak merahmati siapapun dengan kecintaan mereka tanpa memuliakan mereka di surga.18

 

Dalam salah satu pidatonya, Ali bin Abi Thalib berkata kepada orang-orang:

Aku meminta kalian untuk membenarkan hal ini atas nama Allah: Apakah kalian ingat apa yang dikatakan Nabi saw dalam khutbahnya yang terakhir: “Wahai manusia! Aku tinggalkan kepada kalian Kitab Allah dan keluargaku! Berpeganglah kepada mereka dan kalian tidak akan pernah tersesat, karena Allah, Yang Mahabijaksana, telah mengabarkan dan menjamin aku bahwa keduanya itu tidak akan pernah saling berpisah sampai Hari Kiamat.” Pada saat itu, Umar bin Khaththab menjadi marah, lantas berdiri dan berkata: “Apakah pernyataan ini termasuk semua keluargamu?” Nabi saw menjawab: “Tidak. Ini hanya mencakup pewarisku. Di antaranya yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, saudaraku, pembantuku, pewarisku, khalifahku. Dialah salah seorang yang memiliki kekuasaan yang luas atas umatku. Setelah Ali, putraku Hasan, setelahnya putraku Husain, dan kemudian sembilan dari keturunan Husain adalah para pewaris. Mereka akan menggantikan satu sama lain sampai Hari Kiamat. Mereka adalah hujjah-hujjah keberadaan Allah bagi manusia, para penjaga pengetahuan Ilahi, dan gudang kearifan di muka bumi. Barangsiapa yang menaati mereka, berarti menaati Allah, dan barangsiapa yang mendurhakai mereka, berarti mendurhakai Allah.”

Ketika jawaban Ali sampai pada noktah ini, mereka semua yang hadir berkata: “Kami bersaksi bahwa Nabi saw benar-benar mengatakan semuanya.19

            Bersandarkan hadis-hadis tersebut yang terekam dalam sumber-sumber Sunni dan Syi`i, kesimpulan yang bisa ditarik adalah sebagai berikut:

(a)    Karena al-Quran akan tetap bersama orang-orang hingga Hari Kiamat, keluarga Nabi saw, Ahlulbait, akan tetap bersama mereka juga. Oleh karenanya, hadis-hadis semacam ini bisa dihitung sebagai bukti bagi keberadaan Imam Gaib.

(b)   Istilah itrat dalam hadis tersebut sesungguhnya merujuk kepada dua belas pewaris Nabi saw.

(c)    Nabi saw tidak meninggalkan kaum Muslim tanpa seorang pembimbing. Justru sebaliknya, beliau telah menjadikan keluarganya, Ahlulbait, sebagai sumber pengetahuan dan petunjuk Ilahi. Ia telah menyatakan pendapat dan perbuatan mereka sebagai kompeten dan bisa dipercaya serta telah merekomendasikan bahwa siapapun mesti berpegang kepada mereka sampai Hari Kiamat.

(d)   Imam tidak akan pernah terpisah dari al-Quran dan aturannya. Oleh karenanya, ia harus sangat mengetahui tentang-tentang perintah al-Quran. Karena al-Quran tidak menyesatkan siapapun dalam masalah petunjuk dan mengantarkan mereka yang mematuhinya kepada keselamatan, maka Imam mengantarkan manusia kepada tujuan mereka tanpa melakukan kesalahan. Jika manusia mengikuti al-Quran dan para imam, niscaya mereka akan dibimbing kepada kesejahteraan mereka. Dengan kata lain, imam terbebas dari kesalahan dan penyimpangan (maksum).

 

Ali bin Abi Thalib: Suri Teladan Pengetahuan Kenabian

            Dalam sinaran sumber historis dan tradisional, kiranya tepat untuk menandaskan bahwa Nabi saw dengan sangat baik bahwasanya di kalangan sahabatnya, tidak semua mampu menjalankan kadar dan bobot pengetahuan yang disampaikan olehnya dalam kedudukannya sebagai Nabi Allah. Bahkan keadaan yang berkembang di masyarakat tidak mendukung untuk menyebarkan berita semacam itu. Akan tetapi, beliau juga menyadari bahwa suatu hari masyarakat akan membutuhkan pengetahuan tersebut. Akibatnya, ia memilih Ali bin Abi Thalib dengan tujuan menjadikannya gudang pengetahuan kenabian. Secara pribadi, beliau mengajari dan mendidik Ali siang dan malam. Sebab itu, apa yang dikatakan Ali memantulkan pengetahuan Nabi saw tentang Islam. Menukil beberapa contoh, mari kita lihat hadis berikut:

            Ali dibesarkan di bawah asuhan dan perhatian Nabi saw dan sepanjang waktu dalam persahabatannya. Dalam hubungan ini, Nabi saw memberitahu Ali bahwa Allah meminta Nabi agar melindungi Ali dan mengajarinya semua yang telah Nabi terima dari Allah sebagai seorang nabi. “Engkau pun harus memperhatikan dalam pengajaran dan pencatatan yang telah aku ajarkan kepadamu. Niscaya Allah akan membantu upayamu,” kata Nabi saw kepada Ali bin Abi Thalib.20

            Sebab itu, Ali senantiasa berkata: “Apapun yang kupelajari dari Nabi saw tidak pernah aku lupakan.”21 Dalam riwayat lain ia berkata: “Nabi saw telah menyedikan waktu khusus di malam hari dan siang hari ketika aku biasa menjenguknya [untuk belajar dari Nabi saw].”22

            Dalam satu kesempatan, Ali ditanya: “Apa alasan bahwa dibandingkan dengan para sahabat Nabi yang lain, Anda mempunyai hadis yang lebih banyak?” Ia menjawab: “Setiap kali aku menanyakan sesuatu, beliau memberiku jawaban. Dan setiap kali aku diam, beliau akan memulai pembicaraan.”

            Menurut Imam Ali, Nabi saw biasa memintanya untuk menuliskan apa yang dikatakan Nabi saw. Ali bertanya kepadanya apakah Nabi mengira dirinya lupa. Nabi saw menjawab: “Bukan, bukan itu. Karena aku telah berdoa kepada Allah agar menjadikan engkau di antara orang-orang yang ingat segala sesuatu dan mencatatkannya. Akan tetapi, aku ingin engkau memeliharanya demi sahabat-sahabatmu dan para imam sepeninggalmu. Karena eksistensi para imamlah, maka hujan tercurah ke bumi buat manusia, shalat-shalat mereka diterima, dan bencana dihilangkan dari mereka dan rahmat dilimpahkan kepada mereka.” Lantas Nabi saw menunjuk Hasan seraya berkata: “Inilah imam kedua dalam rangkaian para imam,” dan menambahkan, “para imam berasal dari keturunan Husain.”

Kitab Ali bin Abi Thalib

            Tentu saja, Ali bin Abi Thalib mampu memahami dan menguasai pengetahuan kenabian melalui komitmen yang serius dan pertolongan Ilahi. Ia memiliki bakat yang dikaruniakan Tuhan. Pengetahuan tersebut ditulis dan disusun dalam satu kitab yang menjadi korpus komprehensif. Di dalamnya, Ali menambahkan rekomendasinya sendiri bagi kepentingan masa depan umat ini. Persoalan ini telah terjaga rapi dalam riwayat yang disampaikan oleh Ahlulbait as. Misalnya, kami membaca hadis berikut dalam kumpulan tersebut:

Imam ash-Shadiq berkata: Kami mempunyai sesuatu yang menjadikan kami bebas dari kebutuhan apapun kepada manusia. Sehingga, [karena apa yang kami miliki] orang-orang membutuhkan kami. Kami mempunyai sebuah kitab yang didiktekan oleh Nabi saw sendiri dan itu ditulis tangan oleh Ali. Itulah kitab yang komprehensif yang mencakup semua aturan tentang yang halal dan yang haram.24

Dalam hadis lain, Imam al-Baqir berkata kepada Jabir:

Wahai Jabir, sekiranya aku menjelaskan kepadamu keyakinan dan ajaran kami niscaya menghancurkan diri kami sendiri. Oleh sebab itu, kami menyampaikan kepadamu hadis-hadis yang kami kumpulkan dari Nabi saw, pada saat manusia mengumpulkan emas dan perak.25

                Abdullah bin Sinan mendengar Imam ash-Shadiq yang berkata:

Kami memiliki sebuah kitab di dalam kantung kulit, yang panjangnya tujuh puluh cubit.* Kitab itu ditulis oleh Ali yang didiktekan oleh Nabi saw. Ia memuat semua pengetahuan yang dibutuhkan orang untuk diketahui sampai detail yang sekecil-kecilnya.26

Warisan Pengetahuan Nabi:          

            Tn. Hosyyar: Dr. Fahimi, sebelumnya Anda katakan bahwa Anda tidak menerima imamah keluarga Nabi saw. Tetapi, Anda harus menerima watak evidensial dari apa yang mereka katakan, pada saat Anda menerima hadis-hadis yang dilaporkan dari para sahabat dan generasi Muslim sesudahnya. Alasannya, bahwa sekalipun Anda tidak menerima salah seorang dari mereka sebagai imam, Anda tidak bisa mengabaikan hak-hak mereka untuk menyampaikan hadis-hadis sahih berdasarkan otoritas Nabi saw. Tak syak lagi, nilai apa yang mereka sampaikan berkali-kali lebih besar ketimbang informasi yang diriwayatkan oleh Muslim biasa manapun. Sejumlah ulama Sunni telah mengakui derajat pengetahuan, ketakwaan, dan kekuatan karakter mereka.27

            Para imam biasa mengatakan bahwa mereka tidak memberikan pendapat berdasarkan prasangka mereka sendiri. Alih-alih, jawaban mereka diturunkan dari ajaran Nabi saw sendiri. Dengan kata lain, mereka adalah pewaris sejati pengetahuan kenabian, yang menyampaikan segala sesuatu dari Nabi saw. Menurut Imam ash-Shadiq:

Hadisku adalah hadis ayahku. Hadis ayahku adalah hadis kakekku. Hadis kakekku adalah hadis Husain. Hadis Husain adalah hadis Hasan. Hadis Hasan adalah hadis Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib]. Hadis Ali bin Abi Thalib adalah hadis Nabi. Dan, hadis Nabi saw adalah perkataan Allah kepadanya.28

            Dr. Fahimi: Saya minta Anda bersikap tidak berat sebelah. Apakah Anda menganggap bahwa hadis yang berdasarkan otoritas Hasan dan Husain, dua penghulu pemuda surga tidak sebaik hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Samurah bin Jundab atau Ka’b al-Ahbar? Bagaimana halnya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Zain al-Abidin yang takwa, Imam al-Baqir, ash-Shadiq, dan seterusnya?

            Tn. Hosyyar: Tidak diragukan lagi bahwa Nabi saw telah menyatakan Ali dan keturunannya sebagai harta karun pengetahuan kenabian. Ia mengingatkan kaum Muslim berkali-kali dan dalam konteks yang berbeda agar menjadikan mereka sebagai sumber pengetahuan yang handal tentang Islam. Sayangnya, arah sejarah Islam menyimpang dari jalan yang lurus dan masyarakat Islam meninggalkan perintah-perintah berharga dari Ahlulbait, yang membawa kemunduran di kalangan Muslimin.

            Dr. Jalali: Saya menyimpan banyak pertanyaan dalam benak saya. Namun, karena sangat terlambat, saya akan mengajukannya pada pertemuan berikutnya.

            Ir. Madani: Jika kalian sepakat, saya ingin mengadakan diskusi selanjutnya di rumah saya. Kita akan lanjutkan dialog ini di sana.

Catatan Kaki:

1.      Kata tersebut merujuk kepada alam mitologis yang dikenal oleh kaum mistikus sebagai alam yang sangat sulit yang memerlukan kekuatan atau ketangguhan Hercules untuk menembusnya. (Penerjemah dari bahasa Persia ke Inggris—A.A.Sachedina).
2.    Muhammad Karim Khan, Irsyad al-‘Ulûm, (Kirman, 1380), jilid 3 hal.401.
3.   Lihat: Luthfullah ash-Shafi al-Gulpaygani, Muntakhab al-Atsar fi al-Imâm al-Tsânî’asyar (Teheran: Maktabat al-Shadr, tanpa titimangsa).
4.    Al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal.72.
5.    Ibn Sa’d, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, jilid 1, hal.107.
6.    Ibid., jilid 5, hal.94.
7.   Sunan, Kitâb al-Mahdî.
8.   Itsbât al-Hudât, jilid 7, hal.208.
9.    Dzakhâ`ir al-‘Uqbâh, hal.136.
10.  Al-Bayân fi Akhbâr Shâhib az-Zamân, hal.502.
11.  Yanâbî’ al-Mawaddah, jilid 1, hal.492.
12.  Itsbât al-Hudât, jilid 7, hal.183.
13.  Ibn Babuyah, Kamâl ad-Dîn, jilid 2, 354.
14.  Syaikh al-Thusi, Kitâb al-Ghaybah, hal.202.
15.  Ibid., hal.208.
16.  Dzakhâ`ir al-‘Uqbâh (Kairo, 1356), hal.16; Ash-Shawâ`iq al-Muharriqah, hal.147; al-Fushûl al-Muhimmah, hal.22; al-Bidâyah wa an-Nihâyah, jilid 5, hal.208; (edisi Hyderabad), hal.153, 167; Sibth bin Jawzi, Tadzkirat al-Khawâshsh, hal.182.
17.  Semua sumber yang disebutkan dalam catatan sebelumnya, ditambah Majma` az-Zaw­â`id, jilid 9, hal.168.
18.  Yanâbî’ al-Mawaddah, jilid 1, hal.54.
19.  Jâmi` ahadits asy-Syî`ah, jilid 1, pengantar.
20.  Lihat, Manâqib Khwârazmî¸ hal.199; al-Kulaini, al-Kâfî, jilid 1, hal.64.
21.  A’yân asy-Syî`ah, jilid 3.
22.  Yanâbî’ al-Mawaddah, jilid 1, hal.77.
23.  Ibid., jilid 2, hal.36; Ibn Sa’d, Thabaqât, jilid 2, bagian II, hal.101.
24.  Jâmi’ Ahadits asy-Syî’ah, jilid 1, pengantar.
25.  Ibid.
26.  Ibid.
27.  Ada sejumlah karya yang ditulis oleh ulama Sunni yang mengakui para imam Syi`ah sebagai orang saleh dan sangat memahami masalah-masalah agama. Lihat, misalnya, al-Jawzi, Tadzkirat al-Khawashsh, Ibn Shabbagh al-Maliki, Fushûl al-Muhimmah; asy-Syablanjî, Nûr al-Abshâr; Ibn Hajar, ash-Shawâ’iq al-Muharriqah; dan seterusnya.
28.  Jâmi’ Ahadits asy-Syî’ah, jilid 1.

* Ukuran panjang yang dipakai zaman dulu. Kira-kira 18-22 inci atau 45-56 cm—peny.