پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Wahyu dalam Al-Quran

Wahyu dalam Al-Quran

Kata wahyu dan kata sejenisnya digunakan dalam al-Quran sebanyak tujuh delapan kali. Makna dasar dari kata wahyu secara bahasa adalah memahamkan sesuatu dengan cepat dan tersembunyi. Makna ini terdapat dalam penggunaan kata wahyu secara keseluruhan.

1.       Pemahaman Secara Fitrah

Dalam al-Quran disebutkan, Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah untuk menjadikan gunung, pepohonan, dan tempat tinggal sebagai tempat bersarang (QS. an-Nahl:68).

Syekh Mufid menjelaskan, “Yang dimaksud dengan wahyu adalah ilham yang tersembunyi. Lebah madu, tanpa ada ucapan tertentu, memahami dan mengetahui tugas-tugasnya.”[6]

Di antara perilaku lebah madu yang mengherankan adalah membuat sarang yang berbentuk segi enam yang terbuat dari malam, melakukan penjagaan terhadap sarang, melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk dapat menemukan bunga-bunga, menghisap sari madu bunga-bunga tersebut, mengubahnya menjadi madu, kembali ke sarang masing-masing, meletakkannya di dalam sarang, melakukan penjagaan terhadap ratu dan bermain-main dengan ratu lebah, dan masih banyak lagi perilaku-perilaku lebah yang sangat mengherankan. Seluruh perilaku tersebut bersumber dari insting yang ada pada lebah. Lebah madu, dalam perilaku yang indah dan mengherankan tersebut berbuat, sesuai dengan ilham yang telah diberikan oleh Allah pada mereka yang terdapat dalam diri mereka.

2.      Berlakunya Sunatullah dan Hukum Alam      

Dalam al-Quran disebutkan, Kemudian disemburkan ke langit berupa awan-awan. Berkata padanya dan pada bumi, “Datanglah suka atau tidak suka.” Keduanya berkata, “Kami datang dengan penuh ketaatan.” Saat itu, diciptakan tujuh lapisan langit dalam dua hari. Kemudian, diwahyukan pada setiap langit tugas-tugasnya. Allah hiasi langit dunia dengan bintang gemintang dan Kami menjaganya. Hal yang demikian adalah kekuasaan Zat Yang Mahaperkasa dan Maha Mengetahui (QS. Fushshilat:11-12).

Dalam ayat lainnya, al-Quran menjelaskan, Manakala bumi digoncangkan dengan sedahsyat-dahsyatnya, bumi mengeluarkan segala beban yang dikandungnya. Manusia berkata, “Apa yang terjadi pada bumi?” Pada hari itu, bumi memberitakan berita-beritanya. Sesungguhnya Tuhannya telah mewahyukan kepadanya (QS. az-Zalzalah:1-5).

Allah Swt menciptakan langit dan bumi serta seluruh jagat raya ini dengan sebuah aturan berupa hukum sebab akibat. Alam diatur oleh Allah sesuai dengan aturan dan hukum-hukum tertentu. Keteraturan alam dan berjalannya secara alamiah bersumber dari pencipta alam tersebut. Mungkin yang dimaksud dengan kata wahyu Ilahi yang digunakan pada ayat seperti ini adalah makna ini yaitu petunjuk takwini (penciptaan).

Sebagian ahli tafsir menafsirkan kata wahyu yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah wahyu yang diberikan pada penghuni langit yaitu para malaikat.

Dari dua ayat tersebut, dapat dipahami dua poin berikut. Pertama, wahyu tersebut tidak melalui pembicaraan. Kedua, penerima wahyu tidak harus sesuatu yang memiliki akal.

3.      Ilham yang Dipancarkan dalam Hati

Al-Quran berkenaan dengan ibu Nabi Musa as menjelaskan, Manakala Kami wahyukan kepada ibumu sesuatu yang perlu Kami wahyukan. Kami wahyukan kepadanya agar meletakkan bayinya dalam sebuah peti dan menghanyutkannya ke laut (sehingga ombak membawanya ke pantai) lalu musuh-Ku dan musuhmu (Firaun) mengambilnya… (QS. Thaha:38-39).

Ayat lainnya menerangkan, Dan Kami wahyukan kepada Ibu Musa, “Susuilah anakmu.” Jika kamu takut, hanyutkan ke laut. Jangan takut dan jangan bersedih Kami kelak mengembalikannya kepadamu dan Kami jadikan dia sebagai rasul (QS. al-Qashash:7).

Penerima wahyu pada dua ayat tersebut adalah ibu Nabi Musa as. Wahyu yang diberikan kepadanya jelas bukan wahyu pada seorang nabi melainkan sebuah bentuk pemahaman yang tersembunyi dan tertanam dalam hati. Hal tersebut adalah ilham, baik dalam tidur maupun dalam keadaan sadar.

Syekh Mufid menjelaskan, “Umat Islam sepakat bahwa wahyu yang disampaikan kepada ibu Nabi Musa as dalam bentuk mimpi atau disampaikan ketika dalam keadaan tidur.”[7]

4.      Isyarat

Al-Quran menerangkan, Zakariya berkata, “Tuhanku, berilah aku tanda.” Allah berfirman, “Tandamu adalah jangan engkau berbicara dengan manusia selama tiga hari tiga malam berturut-turut.” Kemudian dari mihrabnya, ia keluar menjumpai kaumnya, lalu mewahyukan (mengisyaratkan) pada mereka untuk memuji Allah sepanjang pagi dan petang (QS. Maryam:10-11).

Dalam ayat yang lainnya, al-Quran menjelaskan tentang kisah Nabi Zakariya sebagai berikut, Zakariya berkata, “Tuhanku, berilah aku sesuatu sebagai tanda.” Allah berfirman, “Tandamu adalah jangan kau berbicara dengan manusia selama tiga hari kecuali dalam bentuk simbol (isyarat). Banyaklah mengingat Tuhanmu dan bertasbihlah kepada-Nya di pagi dan petang.” (QS. Ali Imran:41).

Pada kedua ayat di atas, pemberi wahyu (isyarat) adalah Nabi Zakariya dan penerima wahyu adalah kaumnya. Wahyu juga bermakna memahamkan sesuatu dalam bentuk isyarat yang hanya dipahami oleh orang yang dituju sebagaimana yang disebutkan pada ayat ke-41 surah Ali Imran, yang menggunakan kalimat, illa ramza, “kecuali simbol”. Kandungan dari wahyu juga berupa bertasbih pada Allah di setiap pagi dan petang.

 

5. Wahyu pada Hawariyyun     

Al-Quran menerangkan, Saat Kami wahyukan kepada para Hawari untuk beriman kepada-Ku dan kepada utusan-Ku, mereka berkata, “Kami beriman dan kami bersaksi bahwa kami adalah orang-orang Muslim.” (QS. al-Maidah:111).

Pemberi wahyu dalam hal ini adalah Allah dan penerima wahyu adalah para Hawari dan sahabat-sahabat Nabi Isa as. Sebagian para penafsir memungkinkan bahwa para Hawari adalah para nabi. Oleh karena itu, wahyu pada mereka adalah wahyu dalam istilah. Andaikan kenabian mereka tidak dapat dibuktikan, maka kata wahyu yang digunakan dalam ayat tersebut bermakna pancaran dalam hati atau ilham. Nampaknya kata wahyu dalam ayat ini bermakna demikian.

6. Wahyu pada Malaikat                

Al-Quran menjelaskan, Manakala Tuhanmu mewahyukan kepada malaikat, “Aku bersama kalian. Kukuhkanlah langkah orang-orang Mukmin.” (QS. al-Anfal:12).

Pada ayat tersebut, pemberi wahyu adalah Allah dan penerima wahyu adalah para malaikat. Akan tetapi wahyu tersebut bukanlah wahyu kenabian dan bukan pula dengan menciptakan pembicaraan atau menciptakan suara karena para malaikat sebagaimana yang telah ditetapkan dan dibuktikan bahwa mereka tidaklah berjasad atau tidak memiliki materi.

7. Wahyu Setan                               

Al-Quran menerangkan, Sesungguhnya setan-setan mewahyukan kepada pengikut mereka agar berdebat dengan kalian. Jika kalian menaati mereka, kalian tergolong orang-orang musyrik (QS. al-An’am:121).

Allah berfirman, Demikianlah Kami jadikan pada setiap nabi, setan-setan dari golongan jin dan manusia yang sebagian mewahyukan kepada sebagian lainnya ucapan-ucapan yang indah tetapi menipu. Andaikan Tuhanmu menginginkan, mereka tidak dapat melakukan hal tersebut. Namun, Allah membiarkan mereka dengan kedustaan yang mereka lakukan (QS. al-An’am:112).

Pemberi wahyu dalam hal ini adalah setan dari jenis jin dan manusia yang menyampaikan sesuatu yang menyesatkan secara tersembunyi pada pengikut mereka. Oleh karena itu, wahyu juga bermakna ucapan yang tersembunyi atau waswas yang disampaikan ke telinga mereka masing-masing sebagaimana setan-setan dari golongan jin adalah pemberi wahyu, mereka meniupkan waswas dalam hati manusia yang sesat.

8. Wahyu pada Para Nabi      

Kendatipun kata wahyu juga digunakan untuk selain para nabi sebagaimana yang telah kami sebutkan. Akan tetapi, kata wahyu lebih banyak digunakan untuk para nabi. Sebagai contoh, dalam al-Quran disebutkan, Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan para nabi setelahnya. Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, dan Ya’qub serta Kami wahyukan kepada Asbath, Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman serta Kami berikan Zabur kepada Daud (QS. an-Nisa:163).

Al-Quran menjelaskan, Kami kisahkan kepadamu melalui wahyu al-Quran tentang kisah-kisah terbaik. Kendatipun kalian lalai setelah hal itu (QS. Yusuf:3).

Dalam ayat lainnya, al-Quran menjelaskan, Katakan, “Apakah kesaksian yang paling besar?” Katakan, “Allah menjadi saksi antara aku dan kalian. Diberikan wahyu kepadaku berupa al-Quran ini untuk memberi peringatan kepada kalian dan orang-orang yang al-Quran sampai kepada mereka.” (QS. al-An’am:19).

Masih terdapat puluhan ayat-ayat lainnya yang pada pembahasan mendatang akan kami sampaikan pada para pembaca. Pada ayat-ayat semacam ini, pemberi wahyu adalah Allah Swt dan penerima wahyu adalah para nabi yang sepanjang sejarah dipilih oleh Allah sebagai utusan-utusan-Nya. Kandungan dari wahyu adalah hakikat-hakikat, pengetahuan, dan perintah-perintah dari Allah Swt bagi manusia. Wahyu bagi para nabi meskipun secara bahasa—penyampaian sesuatu pada yang dituju secara tersembunyi dan sangat cepat—memiliki kesamaan dengan wahyu-wahyu lainnya, namun memiliki perbedaan yang mendasar serta menyeluruh. Hal ini kita bahas dalam pembahasan mendatang.

 

[6] Tashhih al-I’tiqad, hal.121.

[7] Tashhih al-I’tiqad, hal.121.