پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Wahyu secara Istilah

Wahyu secara Istilah

Sepanjang sejarah, para utusan mengklaim diri mereka memiliki hubungan secara langsung dengan Allah Swt. Mereka menerima hakikat-hakikat yang manusia-manusia lain tidak mampu untuk menerimanya. Mereka menyaksikan malaikat pembawa wahyu dengan pandangan batin dan mendengar suara tertentu. Mereka mendapat perintah dari Allah Swt untuk menyampaikan pesan dan aturan-aturan-Nya kepada masyarakat dan membantu hamba-hamba-Nya dengan memberi petunjuk. Hubungan khusus dan tersembunyi ini dalam istilah disebut sebagai wahyu.

Syekh Mufid menjelaskan, “Manakala wahyu dinisbahkan pada Allah, dalam pandangan Islam, hal itu khusus untuk para nabi.”[8] Beliau melanjutkan keterangannya, “Terkadang Allah Swt menggambarkan sesuatu pada sebagian orang ketika tidur dan ketika sadar hal itu terealisir. Dalam ajaran Islam, hal itu tidak dapat disebut sebagai wahyu. Tidak dapat dikatakan bahwa ‘Seseorang mendapat wahyu.’ Kami meyakini para imam maksum mendapatkan pengetahuan-pengetahuan yang diberikan pada mereka tetapi tidak disebut sebagai wahyu karena umat Islam telah sepakat bahwa setelah Nabi Muhammad saw, tidak seorang pun yang mendapat wahyu.”[9]

Kata wahyu memiliki definisi tertentu yang kebanyakan bukanlah definisi sesungguhnya. Pada dasarnya, manusia seperti kita tidak dapat melakukan pendefinisian terhadap hakikat dan esensi wahyu karena wahyu bukanlah hubungan seperti biasanya yang memungkinkan kita untuk mendefinisikannya. Pendefinisian yang telah terjadi pada kata wahyu tidak lebih hanya sekadar penjelasan kata.

Allamah Thabathaba’i mendefinisikan wahyu sebagai berikut, “Wahyu adalah intuisi khusus dan pemahaman tersendiri dalam batin para nabi. Tidak seorang pun yang mampu memahaminya selain manusia-manusia yang diliputi inayat khusus dari Allah.”[10]

Pada keterangan lainnya, beliau menjelaskan bahwa, “Wahyu adalah sesuatu yang di luar kebiasaan dan merupakan pemahaman batin serta ekstasi tertentu yang tertutup dari pancaindra.”[11]

Muhammad Farid Wajdi menjelaskan, “Wahyu merupakan pengajaran-pengajaran Allah Swt tentang masalah-masalah agama pada para nabi-Nya melalui malaikat.”[12]

Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan, “Mereka mendefinisikan wahyu sebagai pemberitahuan Allah Swt mengenai hukum syariat kepada salah seorang nabi. Adapun, saya mendefinisikan wahyu sebagai salah satu bentuk irfan (pengenalan) yang seseorang merasakannya pada diri sendiri dan meyakini bahwa hal itu berasal dari Allah Swt baik melalui perantara maupun secara langsung.”[13]

Zarqani menjelaskan, “Wahyu dalam bahasa syariat adalah pemberitahuan Allah Swt mengenai sesuatu yang diinginkan untuk disampaikan kepada hamba-Nya yang terpilih secara tersembunyi.”[14]

Dalam ajaran kristiani definisi wahyu seperti ini juga dapat ditemukan.

John Haig (?) menjelaskan, “Wahyu merupakan sekumpulan hakikat yang tertuang dalam hukum-hukum dan ketetapan-ketetapan. Dengan perantara wahyu, hakikat yang sesungguhnya yang merupakan manifestasi dari Tuhan dialihkan kepada manusia.”[15]

Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat kita perhatikan bahwa kita tidak mendapatkan penjelasan yang sesungguhnya tentang wahyu tetapi mencukupkan dengan penjelasan kata saja. Oleh karena itu, lebih baik kita menjelaskan tentang wahyu dan mengenai definisinya kita tinggalkan pada akhir pembahasan.

Sebagai pengingat terakhir, perlu kami jelaskan satu poin penting bahwa kata wahyu digunakan dalam tiga penggunaan.

1.       Wahyu bermakna iyha yaitu mengirim wahyu.

2.      Bermakna memahami dan menerima sesuatu karakter penerima wahyu.[A2]

3.      Bermakna telah diwahyukan yakni hasil dari perbuatan Allah Swt dan nabi yang memiliki karakter pengetahuan dan hukum-hukum agama. Dengan demikian, al-Quran termasuk sebagai wahyu. 


[8] Tashhih al-I’tiqad, hal.120.
[9] Tashhih al-I’tiqad, hal.121.
[10] Al-Mizan, jil.2, hal.159.
[11] ibid., hal.160.
[12] Dairah al-Ma’arif al-Quran al-‘Isyrin, jilid 1, hal.707.
[13] Al-Wahyu al-Muhammadi, hal.44.
[14] Manahil al-Irfan fi Ulum al-Quran, hal.56.
[15] Falsafeh_ye Din, hal.119.
[A2]Cek…