پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

Perempuan dan Kebebasan

Perempuan dan Kebebasan

 

Perempuan, seperti halnya laki-laki, diciptakan merdeka dan ingin hidup tanpa campur tangan orang lain. Kecenderungan terhadap kebebasan adalah keinginan yang wajar dan diperbolehkan. Namun, apakah manusia bisa hidup dengan bebas dalam suatu masyarakat?

Manusia membutuhkan sesamanya dan juga harus menjaga hak-hak dan keinginan-keinginan mereka serta harus mengikat kebebasan-kebebasan dirinya dalam batasan undang-undang sosial. Batasan-batasan seperti itu tidak merugikan manusia tetapi sebaliknya justru bermanfaat baginya. Disamping itu, hidup bebas dan mengikuti segala keinginan dirinya terkadang berakhir dengan kerugian manusia. Dalam kondisi seperti itu, dia harus menerima batasan demi kemaslahatan dirinya.

Islam juga, walaupun menghormati hak kebebasan manusia, menganggap bahwa kebebasan mutlak tidaklah mungkin dan tidak selaras dengan kemaslahatan-kemaslahatan, baik individu maupun sosial manusia. Dengan argumen ini, Islam mensyariatkan hukum-hukum dan undang-undang yang membatasi kebebasan mereka untuk menjaga kemaslahatan-kemaslahatan, baik fisik maupun jiwa, baik di dunia maupun akhirat, dan baik individu maupun sosial. Mungkin sebagian batasan syariat dirasa tidaklah enak bagi selera manusia dan dia menganggapnya bertentangan dengan kebebasan dirinya. Pendapat ini diakibatkan manusia tidak mengetahui secara benar kemaslahatan-kemaslahatan dirinya. Apabila memahami kemaslahatan-kemaslahatan kehidupan dirinya, niscaya manusia tidak akan menganggap bahwa batasan-batasan syariat  menghalangi kebebasan dan akan menerimanya dengan senang hati.

Berkaitan dengan kebebasan kaum perempuan, Islam juga berlaku sama. Islam menghormati kebebasan kaum perempuan dan menjaganya dengan undang-undangnya selama tidak bertentangan dengan kemaslahatan riilnya dan kemaslahatan seluruh individu masyarakat. Namun, apabila kebebasan itu tidak sesuai dengan kemaslahatan-kemaslahatannya, maka Islam lebih menekankan batasan. Di sini secara singkat kami akan menyebutkan sebagian kebebasan kaum perempuan:

1. Kebebasan dalam pekerjaan

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa Islam menganggap perempuan sebagai salah satu dari dua fondasi masyarakat dan meletakkan tanggung jawab-tanggung jawab ke atas pundaknya. Perempuan tidak bisa dan tidak boleh menjadi anggota yang lumpuh dan makhluk pengangguran yang tidak berguna. Islam menganggap bahwa pekerjaan adalah tugas dan termasuk ibadah yang terbaik sehingga memerintahkan kepada para pengikutnya untuk mewaspadai pengangguran, bermalas-malasan, dan berhela-hela. Terdapat banyak hadis yang berkaitan dengan hal ini.

Rasulullah saw bersabda, “Ibadah ada 70 bagian dan yang paling utama adalah mencari rejeki yang halal.”[5]

Imam Musa bin Ja’far as berkata, “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla membenci hamba yang selalu tidur dan pengangguran.”[6]

Bekerja menurut perspektif Islam bukan merupakan hak melainkan tugas dan baik laki-laki maupun perempuan, dalam hal ini, tidak berbeda. Perempuan juga harus melaksanakan tugasnya dalam hal-hal sosial dan bebas memilih pekerjaannya. Namun dengan memperhatikan penciptaan khusus secara fisik dan kejiwaan, maka tidaklah setiap pekerjaan baik baginya dan bagi seluruh individu masyarakat. Perempuan adalah eksistensi yang lembut dan cantik. Karena kelembutan dan kecantikannya yang menarik bagi laki-laki, maka dia harus berusaha untuk memilih pekerjaan yang tidak merusak kecantikannya. Oleh karena itu, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat, susah, dan melelahkan tidak baik bagi kaum perempuan, seperti mengendarai mobil-mobil berat, pekejaan (lembur) malam, buruh tambang, buruh pelebur besi, buruh perusahaan semen, buruh perusahaan pembuatan mobil, pertanian, peternakan, dan semacamnya. Melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti itu kebanyakan berada di luar kemampuan banyak perempuan dan membahayakan kecantikan, kelembutan, serta daya tarik mereka.

Dengan argumentasi ini, Islam memerintahkan kepada kaum laki-laki supaya tidak mendorong kaum perempuan kepada pekerjaan-pekerjaan tersebut.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata kepada putranya Imam Hasan, “Janganlah engkau mendorong perempuan untuk melakukan pekerjaan di luar kemampuannya. Maka hal yang demikian lebih baik bagi keadaannnya dan lebih menenangkan hatinya serta lebih menjaga kecantikannya. Maka sesungguhnya perempuan adalah lembut seperti bunga dan bukan seorang yang gagah.”[7]

Topik penting lainnya adalah kelembutan, kecantikan, dan daya tarik perempuan yang identik dengan ketidakmampuan kaum pria untuk menghadapi gelora seks. Ini merupakan sesuatu yang wajar. Oleh karena itu, berguna bagi kaum perempuan dan demi kemaslahatan sosial apabila mereka menerima pekerjaan-pekerjaan yang berada di lingkungan yang sedikit berhubungan dengan para pria asing sehingga mereka terjaga dari bahaya-bahaya yang mungkin terjadi dan yang merusak keimanan serta harga diri. Ini membantu keselamatan dan kesucian lingkungan sosial, khususnya bagi para pemuda dan pria lajang.

Poin penting yang juga harus diperhatikan bahwa perempuan adalah eksistensi sentimentil (berperasaan) dan kebanyakan lebih cepat dipengaruhi perasaan dibandingkan para laki-laki. Oleh karena itu, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih membutuhkan ketajaman dan kekerasan tidak baik bagi kaum perempuan, seperti pekerjaan-pekerjaan militer, ketentaraan, dan pengadilan.

Poin terakhir yang harus diperhatikan oleh para perempuan dalam memilih pekerjaan adalah menjaga kondisi anak-anak dan melindungi keluarga. Apabila seorang perempuan telah menikah dan mempunyai anak, maka ia harus menyadari bahwa tanggung jawab yang satu ini lebih berat, yaitu mendidik secara benar anak-anak yang penciptaan khususnya dibebankan di atas pundaknya. Benar bahwa memilih pekerjaan adalah bebas tetapi harus menerima pekerjaan yang tidak menggoncangkan fondasi kehangatan keluarga dan tidak menghilangkan kasih sayang, simpati  ibu, dan pendidikan yang benar terhadap anak-anak.

Dalam kasus-kasus ini intinya adalah kesepahaman. Para lelaki juga harus berhenti dari segala fanatisme yang salah, kesombongan, diskriminasi, dan tradisi dominasi lelaki dan harus mengizinkan para perempuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dan layak berdasarkan atas kemaslahatan, baik individu maupun sosial.

2. Kebebasan dalam Kepemilikan

Islam menghormati kepemilikan perempuan seperti halnya laki-laki. Perempuan bisa mencari harta dan memilikinya melalui pekerjaan, perdagangan, mahar, pemberian, dan setiap jalan lainnya yang diperbolehkan dan dapat mengambil manfaat darinya. Tidak seorang pun yang berhak tanpa seizinnya untuk menggunakan hartanya kendatipun ayah, ibu, suami, dan anak-anaknya.

Al-Quran mengatakan, Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[8]

3. Kebebasan dalam Menikah

Perempuan seperti halnya laki-laki sangat bebas dalam menikah dan memilih pasangan. Tidaklah benar pernikahan perempuan yang balig dilakukan tanpa persetujuannya. Tidak seorang pun yang berhak memaksa seorang perempuan untuk menikah atau memilih pasangan tertentu walaupun itu ayah, ibu, kakek, dan saudaranya.

Imam Shadiq berkata, “Hendaknya mereka memperoleh izin dari perempuan yang perawan dan bukan perawan dalam pernikahan. Dan pernikahan tanpa kerelaannya adalah tidak benar.”[9]

Imam Shadiq berkata tentang seorang laki-laki yang ingin menikahkan saudarinya, “Harus meminta izin dari perempuan itu sendiri. Apabila dia diam, maka diamnya adalah setuju. Adapun tanpa persetujuannya maka pernikahannya tidak benar.”[10]

Oleh karena itu, dalam sahnya pernikahan, persetujuan seorang perempuan adalah perlu, baik perawan maupun bukan perawan. Di sini terdapat sebuah pertanyaan, apakah dalam sahnya pernikahan seorang perempuan di samping persetujuannya, juga harus terdapat persetujuan ayah atau kakek ataukah tidak?

Dalam jawaban pertanyaan ini secara detail, mereka mengatakan bahwa apabila perempuan tersebut bukan perawan, maka tidak perlu izin ayah atau kakek dan dia sendiri secara independen bisa mengambil keputusan. Di dalam hadis-hadis juga dijelaskan tentang topik ini.

Imam Shadiq berkenaan dengan pernikahan perempuan bukan perawan dengan mengatakan, “Dia lebih berhak berkenaan dengan dirinya daripada orang lain. Apabila dia dulu pernah menikah, maka dia bisa memilih lelaki yang dia sukai untuk menikah lagi.”[11]

Imam Shadiq mengatakan, “Seorang perempuan yang bukan perawan bisa menikah tanpa izin ayahnya apabila tidak ada masalah baginya.”[12]

Namun jika perempuan tersebut perawan maka mayoritas ahli fikih berpendapat bahwa sahnya pernikahan tergantung kepada izin ayah atau kakeknya. Dalam hal ini, mereka berpegang teguh kepada sebagian hadis sebagai berikut.

Imam Shadiq mengatakan, “Seorang perempuan perawan yang mempunyai ayah, maka hendaknya tidak menikah tanpa seizin ayahnya.”[13]

Kebebasan perempuan perawan dalam memilih pasangan hanya terbatas pada izin ayah atau kakek. Namun batasan ini tidak hanya bermanfaat bagi dirinya tetapi juga bagi kemaslahatannya. Ini karena perempuan perawan sebelumnya tidak pernah menikah dan tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini dan karena malu, dia tidak bisa meneliti secara sempurna laki-laki yang meminangnya. Maka, dia memerlukan penasehat yang penyayang dan berpengalaman sehingga dia dapat memanfaatkan arahan-arahan sang penasehat sementara ayah dan kakek adalah individu-individu terbaik yang mampu membantu putri dan cucu perempuannya.

Di samping itu, musyawarah dan izin ayah juga mempunyai faedah lain, yaitu menghormati ayah serta meminta persetujuan dan kerja samanya. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini untuk mengokohkan ikatan kekeluargaan dan kehidupan masa depan si perempuan serta membantu menyelesaikan problem-problem yang mungkin timbul dan berpengaruh terhadap kemaslahatannya.

Dikatakan bahwa ada dua hal yang dikecualikan dalam perlunya meminta izin ayah, yaitu:

Pertama, apabila tidak ada ayah atau kakek untuk dimintai izin.

Kedua, perempuan tersebut perlu menikah dan laki-laki (peminang) telah sangat sesuai baginya. Namun, sang ayah tanpa alasan yang tepat selalu beralasan dan menolaknya. Maka, para fukaha dalam hal ini mengizinkan perempuan (perawan) untuk menikah dengan laki-laki dambaannya tanpa izin ayahnya.

4. Kebebasan dalam Mencari Ilmu

Apabila perempuan tidak bersuami, maka dia bisa mencari ilmu dan tidak seorang pun yang mencegahnya untuk belajar. Namun apabila dia menikah dan mempunyai suami, maka dia harus menjaga hak-hak suaminya dan anak-anaknya. Untuk melanjutkan pendidikan, dia harus bermusyawarah dan saling memahami dengan suaminya.

5. Kebebasan dalam Memilih Tempat Tinggal

Jika perempuan tidak mempunyai suami, maka dia sangat bebas dalam memilih rumah. Namun, apabila dia mempunyai suami, maka dia harus mengikuti suami dalam memilih tempat tinggal. Menyediakan tempat tinggal adalah tanggung         jawab suami dan salah satu otoritasnya. Namun tempat tinggal harus sesuai dengan keadaan keluarga dan kemampuan finansial, yang menjamin ketenangan dan ketenteraman keluarga. Apabila mereka hidup bersama dalam satu rumah sementara istri meminta rumah pribadi dengan alasan ketenangan, dan sang suami mampu, maka sang suami harus memenuhi keinginan istrinya. Demikian juga apabila rumah mereka kecil atau di sana selalu terdapat gangguan dan istri meminta penggantian rumah, maka jika suaminya mampu, dia harus melaksanakan keinginan istrinya karena semua ini termasuk contoh  pergaulan yang baik.

Allah Swt di dalam al-Quran berfirman:

Dan bergaullah dengan mereka secara patut.[14]

Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan mereka.[15]

Kendatipun memilih tempat tinggal adalah otoritas laki-laki tetapi perempuan bisa menyarankan tempat tinggal khusus dalam akad nikah atau menjadikannya sebagai otoritasnya. Apabila suami menerima, maka dia harus mengikuti istri dan apabila dia melanggar, maka dia berdosa.

5)      Al-Kafi: juz 5 halaman 78
6)      Al-Kafi: juz 5 halaman 84
7)      Wasail Al-Syiah, Juz 20 halaman 168
8)      Q.S Al-Nisa' (4): 32
9)      Wasâil Al-Syiah: Juz 2 Halaman: 284
10)   Wasâil Al-Syiah: Juz 2 Halaman: 274
11)   Ibid: Juz 2 halaman 269
12)   Ibid:Juz 2 halama 272
13)   Ibid: Juz 2 Halaman 270
14)   Q.S Al-Nisâ’ (4): 19
15)   Q.S Ath-Thalâq (65): 6