پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

KEBIASAAN MEMBACA BUKU

KEBIASAAN MEMBACA BUKU

 

Buku sebagai Sumber Pengetahuan

             Buku merupakan salah satu sarana terbaik bagi pembelajaran dan pendidikan. Sebuah buku yang baik selalu memberikan pengaruh yang bermanfaat ke dalam benak pembacanya. Ia akan meninggikan jiwa dan pemikirannya. Ia juga akan memperbesar khazanah pengetahuannya.

            Buku membantu dalam membenahi moral yang tercela. Khususnya, pada masa-masa kehidupan serba mesin seperti sekarang ini, ketika manusia menghabiskan waktunya untuk menghadiri pertemuan dan simposium; sumber yang paling baik untuk memperoleh pengetahuan keagamaan dan umum adalah buku, yang dapat dibaca kapan saja seseorang memiliki waktu luang. Mungkin saja, membaca buku memiliki dampak yang lebih dalam bagi benak para pembacanya ketimbang sumber-sumber lain dalam memperoleh pengetahuan. Adakalanya, kegiatan membaca membawa perubahan yang revolusioner bagi pandangan seseorang.

            Kebiasaan membaca buku adalah cara memanfaatkan waktu luang yang paling baik. Ia dapat menjaga seseorang tetap sibuk, ketika tiada hal lain yang dikerjakannya. Orang-orang yang terbiasa membaca, bukan hanya akan dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, tetapi juga memelihara pemikirannya dari hal-hal yang merusak, yang mungkin terjadi jika duduk melamun; tak mengerjakan apapun. Sebuah buku yang baik, bagi seorang pembaca, adalah lebih baik ketimbang berkunjung ke taman terbaik dan tempat terindah.

            Amirul Mukminin Ali mengatakan, “Seseorang yang (selalu) menyibukkan dirinya dengan buku-buku, tidak akan pernah kehilangan ketenangan akalnya.”[272]

            “Raihlah segarnya pengetahuan dengan menyingkirkan keletihan dan kesuraman di hatimu; sebab hati, sebagaimana tubuh, juga mengalami kelelahan.”[273]

Buku sebagai Tolok Ukur Peradaban

Alat untuk mengukur kemajuan dan peradaban sebuah bangsa adalah kualitas dan jumlah buku serta jumlah orang yang terbiasa membacanya. Pendidikan formal seseorang bukanlah kriteria untuk menentukan (tingkat) pengetahuan seseorang. Seorang yang benar-benar berpengetahuan adalah yang selalu terlibat dalam kegiatan membaca dan meneliti. Kita sangat tidak beruntung memiliki banyak individu yang memiliki ijasah tingkat sekolah dan universitas, tetapi sangat sedikit sarjana dan peneliti. Kebanyakan anak-anak, setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, menyingkirkan buku-buku dan sibuk dengan aktivitas lain. Pertumbuhan pengetahuan orang-orang seperti ini menjadi mandek sejak saat itu. Keinginan mereka mendapatkan pendidikan guna meraih pekerjaan telah tercapai. Mereka merasa bahwa tidak diperlukan tambahan pengetahuan lebih lanjut. Sebenarnya, pendidikan semestinya ditujukan untuk mencapai keunggulan dalam ranah pengetahuan yang dipilih. Pendidikan adalah proses menerus dan berlanjut hingga nafas terakhir. Agama Islam juga mendesak para mengikutnya untuk meraih jalan pengetahuan, mulai dari buaian hingga ke liang lahat.

Pandangan Islam tentang Ilmu

            Rasulullah saw bersabda, “Mencari ilmu adalah kewajiban setiap Muslim. Allah mencintai orang-orang yang mencari pengetahuan.”[274]

            Imam Ja`far Shadiq mengatakan, “Sekalipun sahabat-sahabat saya dimotivasi untuk meraih ilmu dengan ancaman deraan, saya akan menyetujuinya.”[275]

            Rasulullah saw juga bersabda, “Selain dua tipe manusia, tidak ada pahala bagi manusia lainnya: pertama, orang yang alim (terpelajar) dan selebihnya adalah ia yang sibuk mencari ilmu.”[276]

              Imam Ja`far Shadiq berkata, “Manusia itu terdiri dari tiga jenis: orang yang alim, para pencari ilmu, dan selebihnya merupakan tumpukan sampah belaka.”[277]

            Luqman, sang nabi, berkata pada anaknya, “Luangkan waktu dalam sehari semalam untuk membaca dan mencari ilmu. Jika engkau berhenti membaca, ilmumu akan menghilang.”[278]

            Imam Ja`far Shadiq berkata, “Mencari ilmu dalam semua kondisinya adalah kebutuhan mutlak.”[279]

            Rasulullah saw bersabda, “Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim laki-laki dan setiap Muslim perempuan.”[280]

            Imam Ja`far Shadiq mengatakan, “Jika orang-orang mengetahui manfaat dari ilmu, mereka tentu telah berusaha meraihnya, meski dengan mengorbankan hidup mereka. Untuk tujuan ini, mereka akan mengarungi samudera yang penuh bahaya.” [281]

            Rasulullah saw bersabda, “Jika saya melalui satu hari tanpa penambahan khazanah pengetahuan saya, maka saya akan merasa bahwa hari itu tidak membawa keberuntungan bagi saya.”[282]

            Adalah tugas para orang tua untuk menyuruh anak-anaknya ke sekolah guna mendapatkan ilmu dengan membaca dan menulis. Dalam hal ini, Islam telah memberikan perintah yang tegas kepada orang-orang yang beriman.

            Imam Ja`far Shadiq berkata, “Seorang anak bermain selama tujuh tahun, belajar selama tujuh tahun, dan tujuh tahun yang lain mempelajari tentang apa yang diperbolehkan (halal) dan apa yang tidak diperbolehkan (haram).”[283]

            Rasulullah saw telah bersabda, “Seorang anak memiliki tiga hak atas ayahnya: (1) sang ayah harus memilihkan sebuah nama yang baik baginya; (2) mengajarinya membaca dan menulis; dan (3) jika ia telah dewasa, mencarikan pasangan baginya.”[284]

            “Jika seorang anak dikirim ke sekolah, dan sang guru mengajarinya membaca basmalah maka Allah akan menghindarkan orang tua anak tersebut dari api neraka.”[285]

            “Kasihan anak-anak di zaman dahulu, atas apa yang telah ditimbulkan oleh nenek-moyang (para pendahulu) mereka kepada mereka. Meskipun para orang tua ingin mereka menjadi Muslim, tetapi mereka tidak mengenalkan kewajiban keagamaan kepada anak-anak itu.”[286]

Menciptakan Suasana Gemar Baca

            Tanggung jawab lain para orang tua adalah mengasuh anak-anak dengan suatu cara sehingga mereka dapat menanamkan kebiasaan membaca buku-buku bermutu dan menjadi seorang peneliti keilmuan. Suasana dalam rumah harus menjadi suatu pembelajaran dan pendidikan. Mereka harus mendorong anak-anak, dengan ucapan dan perbuatan, untuk memiliki kebiasaan membaca. Sebelum mengenyam pendidikan fomal di sekolah, sang anak harus sudah dihantarkan untuk mengenal buku. Pada tahap awal, para orang tua harus membacakan buku-buku itu bagi sang anak. Mereka dapat membacakan cerita pendek yang menarik dan dongeng untuk membuat anak-anak tertarik kepada buku. Berilah anak-anak buku yang banyak menampilkan gambar berwarna dan ilustrasi. Setiap hari, orang tua atau kakaknya mesti membacakan sebagian dari buku itu guna memelihara kesinambungan perhatiannya atas isi buku tersebut. Mereka harus menjelaskan kepada si anak ilustrasi yang ada dalam buku itu. Selanjutnya, anak harus diminta untuk menceritakan kembali dan menjelaskan ilustrasi yang berkait dengan cerita tersebut. Dalam pendidikan informal ini, orang tua sepatutnya tidak terburu-buru dalam mengajar dan tidak memberikan buku-buku yang berada di luar kemampuannya. Pertama-tama, mereka harus membuat anak-anak tertarik untuk mendengarkan cerita, kemudian lanjutkan dengan proses membaca buku.

            Lanjutkan proses tersebut hingga anak belajar membaca dan menulis sendiri. Kemudian, serahkan tugas membaca buku itu kepadanya. Sesekali, mintalah pendapat si anak atas buku baru yang telah dibacanya. Diskusikan isi buku itu dengannya. Teruslah memberikan perhatian hingga si anak terbiasa membaca buku.

Poin-poin Penting

Di sini, para orang tua harus mengingat poin berikut:

    Anak-anak menyukai cerita dan dongeng dan memahami isinya dengan baik. Oleh karena itu, sangat bermanfaat bila materi beberapa subjek disajikan dalam bentuk cerita.
    Setiap anak memiliki ciri kepribadiannya masing-masing. Kemampuan dan rasa sangat berbeda antara satu orang dengan yang lain. Akan terjadi perubahan rasa dalam diri seseorang setelah mengalami perkembangan dalam beberapa tahun. Oleh karena itu, para orang tua pertama-tama harus mencoba untuk mengukur selera dan kemampuan anak, kemudian membawakan buku-buku untuk memahami kebutuhannya. Jangan sodorkan buku-buku yang sulit dan membosankan. Ini akan membawa dampak negatif  bagi kebiasaan membaca pada dirinya.
    Sejak si anak berada dalam proses perkembangan kepribadiannya, dan buku memberikan dampak yang dalam bagi proses ini, perhatian harus diarahkan untuk melihat bahwa buku-buku dengan isi yang pantas telah dipilihkan untuknya. Orang tua harus membaca sendiri buku itu sebelumnya, kemudian memutuskan kelayakannya sebagai bahan bacaan anak. Jangan perbolehkan anak membaca materi yang buruk, yang dapat memberikan dampak negatif bagi pikirannya yang masih rentan. Jika dia terbiasa membaca literatur seperti itu, akan menjadi sulit untuk membebaskannya dari hal itu.
    Anak-anak menunjukkan minat yang lebih besar dalam membaca kisah tentang kejahatan dan petualangan. Buku-buku ini dapat menimbulkan efek yang merusak bagi jiwa anak. Buku-buku yang melepaskan kecenderungan seksual pada anak, misalnya, juga harus dijauhkan dari jangkauannya. Seseorang menuturkan dalam buku hariannya:

“Nenekku sangat mencintaiku. Aku biasa tidur bersamanya di malam hari. Aku selalu minta kepadanya untuk bercerita saat aku hendak tidur. Untuk membuatku tertidur, beliau biasa membawakan sebuah dongeng setiap malamnya. Dalam daftar ceritanya, terdapat kisah tentang Jin Baba dan cerita horor lainnya. Cerita-cerita itu telah meninggalkan bekasnya dalam jiwaku. Aku biasa tidur dengan perasaan penuh takut setelah mendengarkannya. Aku pun mulai mengalami mimpi-mimpi buruk yang mengerikan. Setelah itu, aku berubah menjadi seorang penakut dan pengecut. Aku selalu ketakutan bila sendiri. Aku menjadi mudah gelisah. Keadaan ini terus bertahan pada diriku. Bagaimanapun, aku berharap kepada para orang tua atau orang yang lebih dewasa agar jangan menceritakan kisah-kisah horor kepada anak-anak yang masih mudah terpengaruh. Aku telah berketetapan hati untuk tidak menceritakan dongeng seperti itu kepada anak-anakku. Secara umum, aku akan menceritakan kepada mereka kisah-kisah dalam al-Quran dan kisah-kisah lain yang mengandungi akhlak nan mulia.”

    Kebiasaan membaca bukan hanya untuk waktu senggang. Tujuan utama membaca adalah memperoleh pengetahuan, memahami isi buku, dan mengambil manfaat darinya. Tidak terlalu penting, berapa jumlah buku yang dibaca anak-anak, tetapi yang terpenting adalah bagaimana mereka membacanya. Apakah hanya membaca cepat dan sepintas lalu saja? Sudahkah dia membaca buku itu dengan penuh perhatian dan memahami isinya? Para orang tua harus memberikan perhatian penuh dalam aspek ini. Sesekali, mereka harus meminta si anak untuk membuat intisari dari buku yang telah dibacanya. Mereka harus dapat menyimpulkan; apakah anak telah memahami isinya secara benar ataukah tidak. Mereka harus melakukan koreksi, jika pemahaman atas isi buku itu tidak benar.
    Umumnya, anak-anak menyukai buku-buku yang berisi cerita khayal. Beberapa cendekia menganjurkan untuk membaca buku-buku seperti ini. Mereka beranggapan, buku seperti itu akan mendorong fakultas imajinatif anak. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa membaca cerita-cerita khayal dan rekaan akan meningkatkan kebiasaan berbohong pada anak. Akalnya akan menjadi gudang pemikiran yang salah. Jika tumbuh dewasa, dia akan mudah melakukan kebohongan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
    Benar, anak-anak lebih suka membaca cerita ketimbang bahan bacaan lain.  Akan tetapi, perhatian perlu dilakukan agar dia mendapatkan kumpulan buku-buku yang terseleksi dengan baik dan terdiri dari subjek yang beragam, bukan hanya buku cerita. Secara perlahan, anak harus dibangunkan minatnya untuk membaca dan memahami bahan bacaan dengan subjek yang rumit dari literatur yang serius.
    Adalah tidak benar bahwa anak-anak hanya menggemari cerita-cerita rekaan. Mereka pasti menunjukkan minat yang kuat untuk membaca kisah tentang pribadi-pribadi besar, kehidupan dan keberhasilan-keberhasilannya. Mereka akan mencari panutan pada tokoh-tokoh tersebut dan bercita-cita agar kehidupannya seperti kehidupan sang tokoh besar tersebut.

 

[272]. Ghurar al-Hikam, hal.636
[273].Ushûl al-Kâfî, jil.1, hal.48.
[274].ibid., hal.30.
[275]. ibid., hal.33
[276]. ibid.
[277]. ibid., hal.34.
[278]. Bihâr al-Anwâr, jil.1, hal.169.
[279]. ibid.. hal.172.
[280]. ibid., hal.177
[281]. ibid.
[282]. Majma’ az-Zawâ`id, jil.5, hal.127.
[283]. Mustadrak al-Wasâ`il, jil.2, hal.645.
[284]. ibid., hal.625.
[285]. ibid.
[286]. ibid.