پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

IMAM KEEMPAT: IMAM ALI ZAINAL ABIDIN AS

IMAM KEEMPAT: IMAM ALI ZAINAL ABIDIN AS

 

Ali bin Husain, menurut beberapa riwayat, lahir di pertengahan bulan Jumadil Ula, tahun 31 atau 36 Hijriah. Ayah beliau adalah Husain bin Ali dan ibunya, menurut satu pendapat, adalah Syaher Banu, putri raja Yazdghird. Kunyah-nya adalah Abu Hasan, Abu Qasim, Abu Muhammad, dan Abu Bakar sementara di antara laqab-nya yang paling populer adalah Zainal Abidin, Sayidul Abidin, Zainus Shalihin, dan Sajjad.  Menurut beberapa pendapat, Imam lahir pada tanggal 12 Muharram, tahun 94 Hijriah di Madinah dan dimakamkan di pemakaman Baqi’.

Imam hidup selama 57 tahun dan ketika berusia dua tahun, kakeknya, Ali bin Abi Thalib, syahid. Imam menyaksikan sepuluh tahun imamah (kepemimpinan) pamannya, yakni Imam Hasan as. Dalam usianya yang ke- 22, tepatnya pada Asyura     (10 Muharram) tahun 61 Hijriah, Imam menyaksikan ayahnya syahid di Karbala. Setelah itu, Imam hidup selama 35 tahun yang merupakan periode imamah-nya.


Nash Imamah

Untuk membuktikan imamah Ali bin Husain, selain argumen-argumen universal dan kolektif yang digunakan untuk membuktikan kebenaran dua belas imam suci yang sebelumnya telah kami bawakan,  kami juga akan membawakan argumen khusus, yakni nash yang disebutkan oleh ayah Imam.

Abu Bakar Khadrami menukil dari Imam Ja’far Shadiq yang berkata, “Tatkala hendak pergi ke Irak, Husain bin Ali menitipkan surat wasiat, kitab, serta hal-hal lainnya kepada Ummu Salamah, istri Nabi saw, dan mengatakan, “Ketika anakku yang tertua nanti datang kepadamu, serahkanlah amanah ini kepadanya!” Di kemudian hari, sepeninggal Imam Husain, putranya, Ali Zainal Abidin, mendatangi Ummu Salamah dan mengambil amanah tersebut.”

Abu Jarud menukil dari Imam Muhammad Baqir yang berkata, “Imam Husain, sebelum syahadah, memanggil putrinya yang bernama Fatimah dan menitipkan sebuah buku yang dilipat beserta sebuah wasiat yang tampak jelas kepadanya.  Saat itu, Ali Zainal Abidin sakit keras. Setelah itu, Fatimah menyerahkan amanah itu kepada Ali bin Husain. Demi Allah! Kitab itu ada di tangan kami.”

Abu Jarud berkata, “Apa yang terkandung dalam kitab itu, demi jiwaku yang kukorbankan untukmu, adalah semua hukum dan hudud, bahkan denda sebuah goresan.”

Abdullah bin Atabah mengatakan, “Suatu hari, aku berada di sisi Husain bin Ali yang tiba-tiba Ali bin Husain datang. Aku mengatakan kepada Imam Husain, sekiranya –semoga Allah menjauhkannya– ajalmu tiba, sipakah yang dapat kami jadikan rujukan sepeninggalmu?” Imam Husain mengatakan, “Merujuklah kepada anakku. Dia adalah imam dan ayah para imam.”

Dalam kitab Istbatul Washiah, Mas’udi menulis, “Husain di Karbala memanggil anaknya, Ali bin Husain, yang sedang sakit dan mengajarkan kepadanya ismul a’dzam dan warisan-warisan para nabi lalu memberitahukan kepadanya bahwa telah dititipkan ilmu, shahifah, serta senjata kepada Ummu Salamah. Imam Husain pun mewasiatkan agar Ummu Salamah menyerahkannya kepada Ali bin Husain.”

Sayyid Murtadho dalam kitab Uyunul Mukjizat menulis, “Para perawi hadis meriwayatkan bahwa Husain bin Ali mewasiatkan ismul a’dzam dan warisan para nabi  kepada putranya  Ali bin Husain  dan mengatakan bahwa Ali bin Husain akan menjadi imam sepeninggalnya nanti.”

Muhammad bin Muslim mengatakan, “Aku bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq, “cincin Husain bin Ali sampai kepada siapa? Aku mendengar bahwa cincin beliau pada hari Karbala dikeluarkan dari jarinya.”  Imam Ja’far menjawab, “Tidaklah seperti itu, melainkan Husain berwasiat kepada putranya yang bernama Ali bin Husain dan memberikan cincinnya serta menyerahkan urusan imamah kepadanya Ali bin Husain,  sebagaimana Rasulullah melakukan hal yang sama terhadap Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Ali as melakukannya terhadap Imam Hasan dan Imam Hasan terhadap saudaranya, Imam Husain. Setelah Ali bin Husain, cincin itu sampai ke tangan ayahku dan setelah ayahku, sampai ke tanganku. Setiap hari Jumat aku mengenakan cincin itu dan shalat dengan bersamanya.”

Muhammad bin Muslim mengatakan, “Pada hari jumat, aku tiba di sisi Imam Ja’far Shadiq.  Imam Ja’far dalam keadaan shalat.  Ketika selesai dari shalatnya, Imam menjulurkan jarinya kepadaku. Aku menyaksikan sebuah cincin di tangannya yang mulia. Cincin itu bertuliskan la ilaha illa Allah iddatun liliqo illah.  Sewaktu itu, Imam berkata, “Ini adalah cincin kakekku Abu Abdillah Husain bin Ali.”

Penulis kitab Kasyful Ghummah, untuk membuktikan imamah Ali bin Husain membawakan sejumlah argumentasi lain.

Pertama, Imam Sajjad, setelah ayahnya, dari segi ilmu dan amal, merupakan manusia yang paling mulia. Dengan keberadaan manusia yang paling utama, maka yang tidak utama tidak dapat menjadi imam. Ini berlandaskan akal.

Kedua, dengan argumentasi aqliyah dan naqliyah, telah terbuktikan bahwa wujud imam diperlukan di semua masa dan tidak ada satu masa pun di bumi ini yang kosong dari keberadaan hujjjah. Di sisi lain, orang yang, di zaman Ali bin Husain, mengaku sebagai imam tidak memiliki argumen yang benar terhadap imamah-nya dan klaimnya adalah batil. Oleh karena itulah, imamah Ali bin Husain terbuktikan sebab bumi tidak akan sunyi dari seorang imam.

Ketiga, dari Rasulullah saw telah datang nash yang menyatakan imamah Ali bin Husain. Contohnya adalah lauh yang dinukilkan oleh Jabir dari Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Baqir dari ayahnya, dan ayahnya dari kakeknya, dan kakeknya dari Fatimah, putri Rasulullah saw. Di dalamnya, tertulis nama-nama dua belas imam dan di antaranya nama Imam Sajjad tercatat di dalamnya.

Amirul Mukminin di masa kehidupan Husain bin Ali memberitahukan imamah cucunya Ali bin Husain as, sebagaimana dapat disimpulkan dari hadis-hadis.

Begitu juga, Husain bin Ali sebelum syahadah-nya, mewasiatkan imamah putranya dan menyerahkan surat wasiat tersebut kepada Ummu Salamah agar nanti sepeninggalnya diserahkan kepada Ali bin Husain yang akan memintanya dari Ummu Salamah. Ini merupakan salah satu tanda kebenaran klaim imamah Ali bin Husain.

Jabir bin Abdillah Anshari mengatakan, “Wahai Rasulullah! Para Imam dari putra Ali bin Abi Thalib, siapakah mereka?” Nabi saw mengatakan, “Hasan dan Husain adalah pemuka ahli surga. Setelah itu, Sayyid Abidin Ali bin Husain. Setelah itu, Baqir Muhammad bin Ali. Wahai Jabir!  Engkau akan menemuinya.   Sampaikanlah salamku kepadanya. Setelah itu, Shadiq Ja’far bin Muhammad. Setelah itu, Kazhim Musa bin Ja’far. Setelah itu, Ridha Ali bin Musa. Setelah itu, Taqi Muhammad bin Ali. Setelah itu, Naqi Ali bin Muhammad. Setelah itu, Zaki Hasan bin Ali. Setelah itu, putranya yang bernama Imam Mahdi, yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah bumi dipenuhi oleh kezaliman dan kesewenang- wenangan. Wahai Jabir! Mereka adalah para khalifah, taushiya, anak-anak, serta itrah-ku. Barangsiapa yang mematuhi mereka artinya mematuhiku dan barangsiapa yang menentang mereka artinya menentangku. Barangsiapa yang menentang atau memungkiri salah seorang dari mereka berarti telah mengingkariku. Dengan berkah wujud mereka, Allah swt menjaga bumi dan tidak menenggelamkan penduduknya.”


Keutamaan dan Kemuliaan Akhlak

Ali bin Husain adalah manusia yang paling besar dan mulia di eranya sehingga dijuluki dengan “penghias ahli ibadah”. Imam Shadiq mengatakan, “Seorang penyeru menyeru di hari kiamat, “Di manakah Imam Ali Zainal Abidin?” Tampak kami menyaksikan Ali bin Husain yang bangun dan bergerak di antara barisan.”

Tatkala Ali bin Husain berdiri di sisi Umar bin Abdul Azis, Umar bertanya kepada hadirin, “Siapakah manusia yang termulia.” Mereka berkata, “Andalah.” Umar berkata, “Tidak! Kalian salah tetapi yang termulia adalah orang yang baru saja bangun di sisiku.”

Hisyam bin Abdul Malik, setelah khilafah, pergi haji. Hisyam ingin mencium Hajar Aswad. Namun, dikarenakan banyaknya kerumunan manusia, Hisyam tidak dapat melakukannya. Di saat itulah, Ali bin Husain tiba. Para jemaah haji lantas membuka jalan bagi Ali bin Husain agar ia dapat mencium Hajar Aswad. Para pengiring Hisyam bertanya,  “Siapa lelaki ini sehingga masyarakat membuka jalan untuknya.” Hisyam berkata, “Kami tidak mengenalnya.” Farazdaq, seorang penyair, yang mendengar ucapan Hisyam berkata, “Namun, aku mengenalnya dengan baik. Dialah Ali bin Husain Zainal Abidin.” Kemudian Farazdaq membacakan syair indah untuk memperkenalkan Imam Zainal Abidin.

Abu Hazim Sufyan bin Uyaynah dan Zuhri berkata, “Di antara Bani Hasyim, aku tidak menyaksikan yang lebih lebih mulia dan fakih melebihi Ali bin Husain.”


Ibadah dan Keterjagaan di Malam Hari

Setelah Ali bin Abi Thalib, Ali bin Husain merupakan lelaki yang paling ahli dalam ibadah sehingga dijuluki Zainal Abidin. Imam Shadiq mengenainya berkata,  “Tatkala shalat tiba, tubuh Imam Zainal Abidin gemetar dan warnanya kuning, seperti benih pohon kurma yang bergoyang.”

Imam Baqir berkata, “Aku melihat Ali bin Husain yang dalam kedaan shalat. Aba’ah-nya ‘jubahnya’ jatuh dari pundaknya tetapi dia tidak membetulkannya hingga shalatnya usai. Aku menanyakan hal itu kepadanya. Dia berkata, “Apakah engkau tahu di depan siapakah aku tadi berdiri?  Sesungguhnya shalat seseorang tidak akan diterima, kecuali sebatas perhatian atau konsentrasi hatinya kepada Allah swt.”

Tatkala Imam Zainal Abidin berdiri untuk shalat, warna wajahnya berubah, tubuhnya gemetar, dan keadaannya berubah. Adakalanya ketika ditanya tentang penyebab perubahan keadaan itu, dia mengatakan, “Aku akan berdiri di hadapan seorang Raja yang Mahaagung.”

Ketia sibuk dengan shalat, ia berpaling dari semuanya dan tidak mendengar suara apa pun.

Abdullah, putra Imam Sajjad, mengatakan, “Ayahku begitu tenggelam dalam shalat hingga penat dan kemudian tidur di atas tanah layaknya seorang anak kecil yang lelah kemudian tertidur.”

Ali bin Husain jika tertinggal dalam shalat sunnah di siang hari akan menggantikannya dan mengatakan kepada anak-anaknya, “Meskipun shalat nawafil ‘sunnah’ itu tidak wajib tetapi aku menyukai segala perbuatan baik yang kalian lakukan. Maka, hendaknya kalian lanjutkan. Ayahku tidak meninggalkan shalat  malam di dalam perjalanan dan juga ketika hadir.”

Ayah Abu Tsumali mengatakan, “Aku melihat Ali bin Husain di sisi Ka’bah sedang sibuk menunaikan shalat. Begitu lama beliau memanjangkan rukuknya hingga penat dan adakalanya kakinya hampir jatuh karena tak kuat menahan letih.  Aku mendengar beliau berdoa, “Ya Tuhanku! Apakah engkau akan menyiksaku padahal hatiku bergelimang dengan kecintaan terhadap-Mu? Sungguh demi kemulian-Mu, bila engkau menyiksaku, latajma’anna baini wa baina qaumin thala ma adaitahum fika.

Zuhri berkata, “Ali bin Husain berkata, “Bila sekiranya masyarakat Timur dan Barat mati tetapi al-Quran tetap menyertaiku, aku tidak akan pernah takut.”  Manakala sampai pada ayat “maliki yaumiddin”, Imam mengulanginya hingga hampir saja meninggalkan dunia ini.

Imam Muhammad Baqir berkata, “Fatimah, putri Ali bin Abi Thalib, melihat Ali bin Husain yang kepenatan karena banyak beribadah. Lantas ia menjumpai Jabir bin Abdillah Anshari seraya berkata, “Wahai sahabat Rasulullah saw!  Kami memiliki hak terhadapmu. Sekiranya salah seorang dari kami hampir saja membunuh dirinya sendiri karena banyak beribadah, engkau harus menasehatinya agar ia menjaga kesehatannya. Kini, Ali bin Husain, yang merupakan peninggalan ayah kami, kening, lutut, dan tangannya telah menebal. Datanglah dan bicaralah kepadanya! Mungkin ia dapat mengurangi kepenatan dan keletihan terhadap dirinya sendiri karena ibadah.”

Jabir mendatangi Ali Zainal Abidin. Dia menyaksikan Imam Ali Zainal Abidin sedang tenggelam dalam ibadah. Ali bin Husain bangkit sebagai penghormatan terhadap Jabir dan mendudukkannya di sisinya.

Jabir berkata, “Wahai putra Rasulullah saw! Tidakkah kalian mengetahui bahwa Allah swt menciptakan surga untuk kalian dan pecinta kalian sementara menciptakan neraka untuk musuh-musuh kalian? Lalu, mengapa engkau membuat dirimu sepenat ini dalam beribadah?”

Ali bin Husain menjawab, “Wahai sahabat Rasulullah! Tidakkah engkau mengetahui bahwa kakekku, Rasulullah saw, telah Allah ampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang. Namun demikian, Rasulullah bersungguh-sungguh beribadah sehingga telapak kaki dan betisnya membengkak dan sebagai jawaban terhadap orang-orang yang menasehatinya beliau mengatakan, “Tidakkah aku pantas menjadi hamba yang bersyukur.”

Tatkala melihat nasehatnya tidak mempengaruhi Ali Zainal Abidin, Jabir mengatakan, “Wahai putra Rasulullah! Jagalah kesehatan jasmanimu karena engkau berasal dari keluarga yang karena keberadaanya malapetaka dihindarkan dari bumi dan hujan diturunkan.”

Imam Sajjad berkata, “Wahai Jabir! Selagi masih hidup. Aku tidak akan meninggalkan sunnah dan cara ayah-ayahku hingga aku bertemu dengan mereka.”

Ali bin Husain pergi ke haji dengan berjalan kaki dan menempuh perjalanan antara Madinah ke Makkah selama dua puluh hari.

Berbuat Baik kepada Orang-orang Miskin

Imam Muhammad Baqir berkata, “Ayahku membagi hartanya menjadi dua sebanyak dua kali dan memberikan separuhnya kepada fakir-miskin.”

Ali bin Husain memenuhi sebuah kantung dengan roti dan makanan lalu membagikannya kepada fakir-miskin seraya berkata, “Sedekah memadamkan api kemarahan.”

Umar bin Dinar berkata, “Ketika Zaid bin Usamah sakit keras, Ali bin Husain yang berada di situ bertanya sebab sakitnya. Usamah berkata, “Aku berhutang sebanyak lima belas ribu dinar dan tidak dapat membayarnya.  Aku khawatir mati dalam keadaan berhutang.” Imam Sajjad berkata, “Janganlah engkau bersedih karena aku akan mengemban hutangmu dan akan kubayar.”

Abdullah yang dalam keadaan sekarat didatangi oleh para penangih hutang. Ia berkata, “Aku tidak memiliki sesuatu untuk kuberikan kepada kalian. Namun, aku berwasiat kepada salah seorang anak pamanku, Ali bin Husain dan Abdullah bin Ja’far, agar membayar hutang kalian. Pilihlah yang kalian suka! Mereka berkata, “Abdullah bin Ja’far memang kaya tetapi Ali bin Husain –walaupun tidak memiliki banyak harta, jujur dan kami lebih memilihnya.”

Hal ini diberitakan kepada Ali bin Husain. Imam Ali Zainal Abidin berkata,  “Hutang kalian akan kubayar saat ladangku panen.” Kebetulan, ketika panen, Allah swt memberikan panen yang melimpah sehingga Imam dapat menunaikan hutang Abdullah.

Imam Muhammad Baqir berkata, “Ayahku di malam-malam yang gelap memanggul kantung yang dipenuhi dengan kantung-kantung dinar, dirham, serta makanan. Beliau mengetuk pintu-pintu rumah orang-orang miskin dan membagikan dirham, dinar, dan makanan itu kepada mereka dalam kedaan mukanya tertutup agar tidak dikenali. Sepeninggal Imam, Orang-orang fakir baru memahami bahwa lelaki yang tak dikenal itu adalah Ali bin Husain.”

Zuhri berkata, “Pada suatu malam yang dingin dan hujan, aku menyaksikan Ali bin Husain sedang membawa gandum. Sementara ia berjalan, aku bertanya, “Wahai putra Rasulullah!  Apa yang engkau pikul?”  Beliau berkata, “Aku berniat melakukan perjalanan. Aku akan membawa bekalku ini ke tempat yang aman.” Aku bertanya, “Ijinkanlah budakku membantumu membawa barangmu itu.” Beliau tidak mengijinkannya.  Aku berkata, “Ijinkanlah aku sendiri yang membantumu.” Imam berkata, “Aku sendiri yang harus memikulnya dan menyampaikannya kepada tujuannya. Demi Allah! Tinggalkan aku sendiri dan pergilah mengurus urusanmu sendiri!” Setelah beberapa hari, aku melihat Imam Ali bin Husain belum pergi. Aku bertanya,  “Wahai putra Rasulullah! Engkau belum juga pergi?” Beliau berkata, “Wahai Zuhri! Perjalanan itu bukanlah seperi yang kaupikirkan, melainkan perjalanan akhirat yang kupersiapkan sendiri untuk menempuhnya. Persiapan untuk mati dengan dua hal: menjauhi yang haram dan membelanjakan harta di jalan kebaikan.”

Tatkala Madinah diserang oleh pasukan Yazid (di bawah pimpinan Muslim bin Aqabah), Ali bin Husain menjamin penghidupan empat ratus keluarga hingga pasukan Muslim bin Aqabah meninggalkan Madinah.


Tawadhu dan Rendah Hati

Ali bin Husain, dalam keadaan menaiki binatang kendaraannya, melewati orang-orang judzam (penyakit lepra) yang sedang makan.  Mereka mengundang Imam untuk makan. Imam menjawab, “Aku sedang berpuasa. Jika tidak, aku akan menerima undangan kalian.” Ketika tiba di rumah, Imam memerintahkan (pembantunya) untuk memasak makanan yang lezat.  Kemudian Imam mengundang mereka untuk makan bersama.

Ampunan dan Ihsan

Salah seorang sahabat Imam Ali Zainal Abidin meriwayatkan, bahwa salah seorang keluarga Imam mencaci-makinya di depan para pengikut Imam. Akan tetapi, Imam sama sekali tidak bereaksi atau membalas dengan cacian. Tidak beberapa lama kemudian, Imam berkata kepada para sahabatnya, ”Kalian telah mendengar caci-maki lelaki itu terhadapku. Sekarang aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Bila kalian ingin, marilah ikut aku ke rumahnya.”

Mereka berjalan menuju rumah lelaki itu. Di tengah perjalanan, Imam membaca ayat, Dan orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan manusia, dan sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.

Ketika tiba di rumah itu, lelaki itu keluar dari rumahnya dalam keadaan siap berkelahi dan menyerang sebab berpikir bahwa Ali bin Husain datang untuk membalas penghinaannya.

Dalam keadaan seperti itulah, Imam Sajjad berkata kepadanya, “Wahai saudaraku! Apabila yang engkau katakan itu memang benar, aku bertaubat kepada Allah dan sekiranya yang engkau nisbatkan itu adalah kebohongan, semoga Allah mengampuni dosa-dosamu.” Lelaki itu menyesali ucapannya. Ia mencium kening Imam seraya berkata, “Aku menuduhkan kepadamu sesuatu yang tidak ada pada dirimu. Sesungguhnya aku yang lebih pantas untuk (tuduhan) itu.”

Budak wanita Ali bin Husain menuangkan air untuk wudhu. Tiba-tiba mangkuk air jatuh dari tangan budak wanita itu ke kepala Imam dan melukai wajahnya. Imam mengangkat kepalanya dan melihat budak wanita itu. Budak itu berkata, “Allah swt di dalam al-Quran berfirman, Dan mereka yang menahan amarah.” Imam berkata, “Aku menahan amarahku.” Budak itu berkata lagi, Dan mereka yang memaafkan manusia.” Imam berkata,  “Allah swt mengampuni dosa-dosamu.” Budak itu berkata, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”  Imam berkata, “Engkau kubebaskan. Pergilah ke mana saja engkau mau!”

Imam Ali Zainal Abidin memiliki tamu. Maka, pembantu Imam membuatkan sate untuk para tamu itu. Tiba-tiba tusuk sate dari besi jatuh mengenai salah seorang anak yang berada di bawah tangga. Budak itu bingung dan bimbang. Imam berkata kepadanya, “Engkau tidak melakukannya dengan sengaja dan engkau kubebaskan.”

Seorang lelaki dari luar rumah Imam Sajjad memaki-maki Imam dan menghinanya. Para sahabat Imam yang mendengar cacian itu hendak menyerang lelaki itu. Namun, Imam melarangnya. Ketika itu, Imam berkata kepadanya, “Apa yang tertutup pada dirimu lebih daripada itu. Apakah engkau memiliki keperluan sehingga aku dapat membantumu?” Kemudian, Imam memberikan pakaian kepadanya dan memerintahkan agar memberikan seribu dirham kepadanya.

Lelaki itu malu atas perilaku ihsan Imam dan menyesali perilakunya. Setelah itu, setiap kali dia berjumpa dengan Imam maka ia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah anak Nabi saw.”

Ali bin Husain, pada malam hari, pergi ke rumah anak pamannya dan dengan wajah yang tak dikenal, Imam membantunya. Lelaki itu berkata, “Semoga Allah merahmatimu karena engkau telah berbuat baik kepadaku sedangkan Ali bin Husain tidak pernah membantuku. Semoga Allah tidak memberikan balasan yang baik dari pihakku kepadanya.”  Imam mendengar ucapan lelaki itu. maka, ia menahan diri dan tidak mengenalkan dirinya. Ketika Ali bin Husain wafat sehingga bantuan terputus, lelaki itu baru memahami bahwa yang berbuat kebajikan adalah Imam Sajjad.  Setelah itu, ia selalu mengunjungi makam Imam Sajjad seraya menangis di atasnya dan memohon maaf.

Ali bin Husain berpapasan dengan sebuah kelompok yang sedang menggunjingnya. Imam berhenti dan berkata, “Apabila kalian berkata benar, semoga Allah mengampuniku dan apabila kalian berbohong, semoga Allah memaafkan kalian.”


Periode Kehidupan Imam Keempat

Periode kehidupan Imam Ali Zainal Abidin dapat dibagi menjadi dua bagian: dari kelahiran hingga imamah dan dari imamah hingga wafat.


Dari Kelahiran hingga Imamah

Selama dua tahun, Imam hidup bersama kakeknya, Imam Ali bin Abi Thalib, dan pada masa syahadah Imam Ali, Imam berusia dua tahun.  Imam juga mengalami sepuluh tahun imamah pamannya, Imam Hasan.  Di masa kanak-kanak dan remaja, ia menyaksikan semua peristiwa pahit.

Ia menyaksikan bagaimana Muawiyah bin Sufyan merampas pemerintahan konstitusional pamannya, Imam Hasan. Dalam khutbah-khutbah dan qunut shalat, bahkan kakeknya, Imam Ali as, dilaknat dan dikutuk.

Sewaktu berusia dua belas tahun, Imam Zainal Abidin menyaksikan bagaimana pamannya, Imam Hasan, yang meninggal karena diracun tidak diijinkan untuk dimakamkan di sisi makam kakeknya, Rasulullah saw.

Setelah itu, selama sepuluh tahun, Imam hidup bersama ayahnya, Imam Husain as.  Imam melalui periode remaja di sisi ayahnya dan menyaksikan  berlanjutnya perampasan pemerintahan, kezaliman, pembunuhan, dan kekejian Muawiyah.  Dalam perjalanan Imam Husain dari Madinah ke Makkkah dan dari Mekkah ke Irak, Imam menyertai sang ayah.  Di masa itu, kira kira Imam berusia 22 tahun. Dalam peristiwa tragis Asyura, Imam hadir dan menyaksikan syahidnya sang ayah beserta saudara-saudaranya, paman-pamannya, anak-anak pamannya, dan para sahabat ayahnya dengan kedua matanya. Namun, karena sakit parah, Imam tidak dapat hadir di medan tempur sehingga nyawanya terpelihara. Allah swt berkehendak  agar bumi-Nya tidak kosong dari wujud imam dan hujjah.

 

Periode Imamah

Ali bin Husain, setelah syahidnya sang ayah, menduduki kursi imamah, yakni tepatnya pada 11 muharram tahun 61 Hijriah. Imam mengemban tanggung jawab yang berat.

Sebelum segala sesuatunya, dua tanggung jawab besar dan penting segera berada di pundaknya: pertama, memelihara dan menjaga sisa Ahlulbait Rasulullah saw dan keluarga syuhada lalu membela mereka di depan marabahaya yang mungkin terjadi ketika mereka menjadi tawanan dan berada dalam cengkeraman pasukan Yazid yang zalim dan bengis. Imam Sajjad bekerjasama dengan bibinya, Zainab dan Ummu Kultsum, menunaikan kewajiban ini dengan sempurna; kedua, mengenalkan ayahnya, Imam Husain, menjelaskan tujuan-tujuannya dalam pergerakan Karbala, mengungkap kekejian antek-antek Yazid, dan mendedahkan kekejian-kekejian serta kekasaran hati mereka, sehingga bahkan mereka mampu melakukan hal yang bertentangan dengan ketetapan perang.

Ini adalah perkara penting yang benar-benar dilakukan Imam dalam melanjutkan tujuan-tujuan Imam Husain as karena Yazid dan antek-anteknya berencana mengenalkan kepada masyarakat bahwa peristiwa berdarah di Karbala sebagai munculnya sekelompok perusak dan pembangkang yang menentang  pemerintahan sah serta merusak keamanan dan stabilitas nasional sehingga darah mereka halal. Dengan demikian, mereka ingin meracuni opini umum.  Mereka berharap dengan melaksanakan rencana ini dapat memadamkan peristiwa berdarah Karbala yang terjadi di suatu tempat terpencil dan jauh dari mata masyarakat secepat mungkin sehingga dapat mencegah tersebarnya berita yang sesungguhnya.

Bila Yazid dan para pendukungnya suskes melaksanakan program seperti itu, bukan hanya darah Imam Husain, para sahabat, dan keluarganya yang terinjak-injak tetapi –melalui pendistorsian tadi– tujuan-tujuan sakral Imam Husain terancam gagal.

Menimbang apa yang telah dikatakan, Imam Sajjad mengetahui kewajibannya  itu sepanjang perjalanan dari Karnala menuju Kufah dan dari Kufah ke Damaskus. Imam memanfaatkan peluang yang ada untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya dan menyingkapkan keburukan pasukan Yazid. Imam berupaya membuka tabir keburukan mereka dan kekerasan hati mereka lalu mengenalkan siapa sebenarnya Imam Husain serta menjelaskan tujuan-tujuan suci ayahnya.

Dengan bekerjasama bersama Zainab dan Ummu Kultsum, di sepanjang perjalanan ini, Imam memanfaatkan peluang dan menunaikan kewajibannya itu dengan baik.  Imam berpidato di hadapan penduduk Kufah dan Damaskus. Di majelis Ibn Ziyad dan Yazid, Imam, Zainab, dan Ummu Kultsum pun berpidato dan berargumen.

Karena khutbah, perdebatan, dan dialog Imam Sajjad bersama Zainab dan Ummu Kultsum, tumbuhlah kesadaran di antara penduduk Kufah. Para wanita dan lelaki menangisi keteraniayaan Ahlulbait dan mereka menepuk tangan ke dada dan kepala sebagai ekspresi kesedihan dan ratapan. Mereka menyatakan penyesalan atas kekurangan mereka dalam membantu dan membela Imam Husain.

Di Damakus, kejadiannya juga sama dan terus belanjut sehingga Yazid terpaksa meminta maaf kepada Ahlulbait dan menyatakan rasa penyesalan yang mendalam atas terbunuhnya Imam Husain. Akan tetapi, Yazid melemparkan tanggung jawab itu ke atas pundak Ibn Ziyad. sementara itu, akhirnya Ahlulbait dipulangkan ke Madinah dengan penghormatan dan kemuliaan.

Meskipun tujuan Ibn Ziyad dan Yazid dari upaya menyandera dan menawan Ahlulbait Rasulullah saw dan keluarga syuhada lalu menggiring mereka dari Karbala menuju Kufah, dan dari kufah menuju Damaskus atau Syam, adalah untuk menunjukkan kekuatan dan melemahkan jiwa Ahlulbait dan para pendukung mereka serta mencegah kebangkitan dan pergerakan anti-pemerintahan Bani Umayyah yang mungkin timbul, disebabkan propaganda Imam Sajjad dan Zainab, konspirasi mereka gagal dan bahkan ditawannya Ahlulbait malah balik menguntungkan Ahlulbait itu sendiri.

Imam Zainal Abidin di Madinah

Imam Zainal Abidin beserta sisa Ahlulbait dan keluarga syuhada kembali ke Madinah dan menangani langsung secara resmi urusan-urusan yang berkaitan dengan imamah. Imam mengambil amanah imamah dari Ummu Salamah dan memulai program-programnya.

Programnya yang pertama adalah menjaga, memelihara, serta mengayomi sisa Ahlulbait dan keluarga syuhada yang terlantar.

Program yang kedua adalah melanjutkan pengungkapan dan penyebaran propaganda serta berita mengenai peristiwa menyedihkan Asyura dan tertawannya Ahlulbait kepada penduduk Madinah dan tetap menghidupkan peristiwa tragis itu agar tidak dilupakan.  Dituliskan tentang keadaan Imam bahwa dia senantiasa menangis dalam setiap acara dan peringantan bagi syuhada, khsusnya ayahnya, Imam Husain, dan menceritakan kepedihan Asyura kepada masyarakat.

Imam Shadiq berkata, “Ali bin Husain menangis selama dua puluh tahun,” dan di riwayat yang lain empat puluh tahun.  Setiap kali makanan dibawa ke sisinya, ia menangis.  Pada suatu hari, pembantu Imam berkata, “Jiwaku kukorbakan bagimu, wahai putra Rasulullah! Aku takut engkau membahayakan nyawamu lantaran terlalu banyak menangis.”

Dalam jawabannya, Imam berkata,  “Aku memasrahkan kesedihan dan kepedihanku kepada Allah. Apa yang kuketahui tidaklah engkau ketahui. Setiap saat aku mengingat syahidnya salah seorang dari anak-anak Fatimah. Maka, tidak terasa air mataku meleleh.”

Ketika ingin minum, Imam menangis sehingga air matanya meleleh di tempat air. Imam ditanya mengapa selalu demikian. Imam berkata, “Bagaimana mungkin aku tidak menangis sementara ayahku dibunuh dalam kedaan dahaga dan air yang diperbolehkan untuk binatang di gurun pun terlarang bagi ayahku.”

Tangisan dan kepedihan Imam Sajjad bukan hanya sebagai pertanda kesedihan dan duka, melainkan juga sejenis propaganda dan ungkapan atas kezaliman dan kekejaman Bani Umayyah.

Tanggung jawab ketiga Imam Sajjad adalah mendirikan pemerintah Islam dan mengelola masyarakat sesuai dengan hukum Islam. Mendirikan pemerintahan dan mengelola mayarakat merupakan salah satu kewajiban terbesar seorang imam. Imam memiliki kesiapan untuk menunaikannya tetapi karena makar-makar jahat para perampas pemerintahan, kaum Muslimin tidak dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan secukupnya dari Imam.

Dari satu sisi, dengan propaganda yang luas, mereka menyerang Ali bin Abi Thalib dengan tuduhan-tuduhan bohong dan mencacinya. Mereka juga memburuk-burukkan nama Ahlulbait di depan masyarakat. Dari sisi yang lain, mereka begitu sensitif terhadap para Syiah dan pengikut Ahlulbait sehingga mengawasi semua perilaku dan ucapan mereka. Jangan sampai para Syiah dapat keluar dan masuk ke rumah Ahlulbait atau mendengar hadis dan menukilkannya kepada orang lain atau memberikan pujian terhadap Ahlulbait.  Apabila ada yang melanggar, mereka akan dihadapkan kepada berbagai sanksi dan hukuman.  Dalam kondisi yang menyeramkan dan terkungkung seperti ini, maka siapakah yang akan berani merujuk kepada Imam Sajjad untuk memperoleh ilmu darinya? Bagaimana mungkin pula, Imam mampu menyebarkan ilmunya kepada masyarakat dalam batasan yang dikehendakinya? Namun dengan semua keterbatasan itu, Imam tetap memanfaatkan peluang dan dengan kapasitas yang memungkinkan, Imam menyirami para pecintanya dengan ilmu. Dalam kaitan ini, banyak sekali hadis di berbagai bidang masih tersisa dari Imam dan tercatat dalam kitab hadis. Yang terpenting, di antaranya, adalah risalah huquq. Imam Sajjad, dalam makalah yang pendek dan penuh kandungan itu, menghitung semua yang berhak dan mengisyaratkan tiap-tiap hak. Dalam kaitan ini, Imam tidak hanya menyinggung hak manusia, bahkan anggota tubuh manusia seperti mata, telinga, lidah, tangan, perut, dan perbuatan manusia seperti shalat, puasa, sedekah, dan ihsan disebutnya sebagai yang berhak dan semua hak mereka disebutkan satu persatu.  Risalah atau makalah ini merupakan sebuah risalah yang kaya dan penuh kandungan sehingga langka dan sangat bernilai bagi siapa saja yang berminat untuk mengamalkannya.


Dunia dan Munajat

Untuk mengetahui lebih baik pribadi Imam Sajjad, perlulah dipelajari dan diteliti doa-doa dari beliau. Doa tidak boleh dipandang sebagai perkara sederhana dan hanya sebatas keinginan-keinginan seorang hamba kepada Tuhannya.  Sebagaimana disimpulkan dari hadis dan riwayat, bahwa doa merupakan sejenis ibadah. Doa juga merupakan ibadah yang terbaik dan menyebabkan kesempurnaan jiwa serta taqarrub kepada Allah.  Ruh manusia ketika berdoa terbang dari alam materi dan menjalin hubungan dengan  Allah swt.  Pendoa mengakui kelemahan dan kemiskinannya sehingga harus berlindung kepada Yang Mahakaya dan Mahamutlak serta meminta pertolongan dari-Nya dan ibadah tidak memiliki makna lain kecuali ini.  Oleh karena itulah, hadis dan kitab sejarah juga mendukung makna tersebut.  Rasulullah saw dan para imam suci adalah ahli doa dan munajat serta banyak berdoa.  Dalam semua keadaan, mereka berkonsentrasi kepada Allah dan senantiasa meminta bantuan dari-Nya.  Dalam hal ini, Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib, dan Ali bin Husain terkenal sebagai yang paling banyak berdoa.

Kitab-kitab hadis dan doa dipenuhi oleh doa tiga manusia suci ini. Doa-doa yang diriwayatkan dari Rasulullah saw telah dikumpulkan dalam satu jilid buku besar dan dicetak dengan nama Shahifah an-Nabawiah. Doa-doa yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib tercatat dan tersebar luas dengan nama Shahifah al-Alaiyah. Doa-doa Ali bin Husain juga populer dengan sebutan Shahifah as-Sajjadiyah. Shahifah ini begitu bernilai sehingga dinamakan Zabur keluarga Muhammad.

Dengan mempelajari secara teliti doa-doa tersebut, maka kita dapat mempelajari tauhid dan mengenal Allah, berikut sifat-sifat tsubutiyah dan salbiyah-Nya, ma’ad dan alam akhirat, cara ibadah dan menyembah Allah, cara berdoa dan bermunajat, serta merintih kepada Allah dengan cara sair, suluk dan taqarrub kepada Allah. Makarim akhlak dan sifat-sifat rendah, kebutuhan-kebutuhan manusia yang sejati, baik di dunia maupun akhirat, hubungan manusia yang benar dan pergaulan yang baik, serta hak dan kewajiban manusia terhadap sesama, merupakan pelajaran yang terbaik.

Doa-doa Imam sangatlah kaya dan menakjubkan.  Seorang manusia biasa sama sekali tidak akan bisa mengarang doa seperti itu, yang begitu tinggi dan indah bermunajat kepada Tuhan semesta alam.

Dengan doa-doa Imam tersebut, diharapkan Muslimin, khususnya Syiah Ahlulbait dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin.