پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

IMAM KETIGA: IMAM HUSAIN AS

IMAM KETIGA: IMAM HUSAIN AS

 

Imam Husain dilahirkan di Madinah pada tanggal 3 atau 5 Sya’ban tahun ke-4 Hijriah di Madinah. Ayahnya adalah Ali bin Abi Thalib dan ibunya adalah Fatimah, putri Rasulullah saw.

Kunyah-nya adalah Abu Abdillah dan laqob-nya adalah Rasyid, Thayyib, Sayyid, Shibith, Wafi, dan Mubarak. Saat kelahirannya, Jibril turun ke sisi Rasulullah untuk menyampaikan ucapan selamat dan membawa pesan dari Allah agar bayi itu dinamai Husain.  Rasulullah saw menyampaikan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya. Pada hari ke tujuh, Rasulullah menyembelih dua ekor kambing untuk aqiqah dan membagikan dagingnya bagi orang-orang miskin.

Imam Husain as, menurut sejumlah riwayat, hidup di dunia selama lima puluh enam tahun dan beberapa bulan. Selama enam tahun dan beberapa bulan, Imam hidup bersama dengan kakeknya, Rasulullah saw. Sepeninggal ayahnya, Imam hidup sepuluh tahun bersama saudaranya, Imam Hasan, dan setelah Imam Hasan meninggal, Imam hidup selama sepuluh tahun. Pada hari Asyura, tahun 61 Hijriah, Imam syahid di Karbala dan jasad sucinya dimakamkan di Karbala.[289]

 

Nash-Nash Imamah

 

Untuk membuktikan imamah Imam Husain as, dapatlah dimanfaatkan dalil-dalil umum yang sebelumnya telah diisyaratkan. Selain dari itu, Rasulullah saw dalam sejumlah hadis menjelaskan imamah ‘kepemimpinan’ Hasan dan Husain as. Berkenaan dengan Hasan dan Husain as, Rasulullah saw bersabda, “Ini dua anakku adalah imam, baik mereka bangkit atau diam.”[290]

Selain itu, menjelang wafatnya, Imam Hasan merekomendasikan Imam Husain, saudaranya, sebagai imam setelahnya nanti. Dalam sebuah hadis, Imam Ja’far Shadiq as berkata,  “Menjelang wafatnya, Hasan bin Ali memanggil saudaranya, Muhammad bin Hanafiah, dan berkata, “Adakah engkau mengetahui bahwa Husain bin Ali sepeninggalku nanti menjadi Imam? Allah menghendaki ini dan Rasulullah saw bahkan telah menjelaskan imamah-nya. Allah swt mengetahui  bahwa Ahlulbait adalah hamba-hamba-Nya yang terbaik. Allah swt memilih Muhammad sebagai nabi dan Muhammad memilih Ali sebagai imam dan ayahku, Ali, memilihku sebagai imam sedangkan aku memilih saudaraku, Husain, sebagai imam.”

Muhammad bin Hanafiah berkata, “Saudaraku!  Engkau adalah imam maka laksanakanlah kewajibanmu.”[291]

Dalam kitab Shirat Mustaqim, Ali bin Yunus Amili menulis, ”Amirul Mukminin menjelaskan imamah putranya Husain as sebagaimana beliau menjelaskan  imamah putranya Hasan as.  Kaum Syiah menceritakan bahwa menjelang wafat, Hasan as memilih saudaranya Husain sebagai imam serta menyerahkan mawatsiq  nubuwwah dan imamah kepadanya lalu memberitahu kaum Syiah tentang kekhilafahan Husain dan menunjuk Husain sebagai pemegang bendera hidayah setelahnya.   Perkara makruf ini sangat populer dan tiada keraguan sedikit pun di dalamnya.” [292]

Dalam kitab Istbatul Washiyah, Mas’udi menulis bahwa ketika Hasan as sakit, saudaranya Husain mendekatinya dan terjadilah pembicaraan di antara mereka berdua. Lantas Imam Hasan menunjuk saudaranya Husain sebagai washi-nya dan mengajarkan kepadanya ismul a’dzam lalu menyerahkan kepadanya warisan-warisan para nabi dan wasiat dari Amirul Mukminin.[293]

Muhammad bin Hanafiah berkata kepada Imam Sajjad, “Engkau mengetahui bahwa Rasulullah saw menyerahkan wasiat dan imamah setelahnya kepada Amirul Mukminin dan setelah itu, kepada Hasan dan Husain as.” [294]



Keutamaan Imam Husain as

Rasulullah saw bersabda, “Husain adalah dariku dan aku dari Husain. Barang siapa yang mencintai Husain maka Allah mencintainya. Husain adalah salah seorang cucuku.” [295]

Baginda Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin melihat orang yang paling dicintai di langit dan di bumi maka hendaknya melihat Husain as.” [296]

Hudzaifah menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, “Allah swt memberikan kemuliaan kepada Husain yang tidak diberikan-Nya kepada satu pun manusia kecuali Yusuf bin Ya’qub.” [297]

Hudzaifah bin Yaman berkata, “Aku melihat Rasulullah saw dalam keadaan mengambil tangan Husain seraya berkata, “Wahai manusia! Inilah Husain bin Ali. Kenalilah dia! Demi Allah! Dia ahli surga dan pecinta dan orang yang mencintai pecintanya adalah ahli surga.”

Rasulullah saw bersabda, “Hasan dan Husain sepeninggalku dan ayah mereka   adalah manusia yang terbaik di muka bumi dan ibu mereka adalah wanita yang terbaik di muka bumi.” [298]

Rasulullah saw bersabda, “Hasan dan Husain adalah dua raihan-ku di dunia.”[299]

Rasulullah saw bersabda, “Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda surga dan ayah mereka adalah lebih mulia daripada mereka.” [300]

Ibadah dan Penghambaan

Dikatakan kepada Imam Husain as, “Mengapa engkau begitu takut kepada Allah?” Beliau berkata, “Tiada yang selamat dari kesulitan hari kiamat melainkan orang yang saat di dunianya takut kepada Allah.”[301]

Abdullah bin Ubaid berkata, “Imam Husain pergi haji sebanyak dua puluh lima kali, padahal beliau membawa hewan tunggangan.” [302]

Kepada Imam Sajjad ditanya, “Mengapa anak ayahmu sangat sedikit?” Beliau menjawab, “Aku bahkan heran atas kelahiranku sendiri sebab beliau siang dan malam mendirikan shalat seribu rakaat.”[303]

Perawi berkata, “Aku melihat Hasan dan Husain berjalan menuju haji. Setiap orang yang berkendaraan, ketika melihat mereka berdua, turun dari kendaraannya dan menyertai mereka berjalan meski bagi sebagian peziarah berjalan bukanlah suatu hal yang mudah.”

Kepada Sa’ad bin Waqqash dikatakan, “Berjalan adalah sulit bagi kami. Namun, kami tidak memandang pantas apabila berkendaraaan sementara dua sayyid yang mulia ini berjalan.”

Sa’ad menyampaikan ucapan itu kepada Imam Hasan dan berkata, “Andai untuk menjaga keadaan orang-orang ini, maka engkau mengendarai hewanmu.” Imam Husain berkata, “Kami tidak akan menaiki kendaraan. Kami melazimkan diri kami untuk pergi haji dengan berjalan kaki. Namun, untuk menjaga keadaan para musafir, kami akan mengambil jarak.” Kemudian keduanya melakukan hal itu.

 

Ihsan dan Infaq

Imam Husain as pergi mengunjungi Usamah bin Zaid yang dalam keadaan sakit. Usamah berkata,  “Betapa sedihnya aku!”  Imam berkata kepadanya, “Saudaraku!  Apa yang engkau sedihkan?” Ia berkata, “Wahai putra Rasulullah! Aku mempunyai hutang sebanyak seribu dirham. Aku takut mati sementara hutangku belum terbayarkan.”  Imam  berkata, “Janganlah engkau bersedih! Sebelum ajalmu tiba, aku akan menunaikan hutangmu.” Setelah itu, Imam menunaikan hutangnya itu.”[304]

Syuaib bin Abdurrahman berkata, “Setelah Imam Husain terbunuh, dilihat ada bekas di pundak beliau lalu ditanyakan kepada Imam Sajad, “Apakah bekas itu?” Imam Sajjad berkata, “Bekas ini adalah karena ayahku memiliki kebiasaan memikul makanan dan membawanya ke rumah-rumah para janda, anak-anak yatim, dan kaum miskin.”[305]

Diriwayatkan dari Imam Husain as yang berkata, “Kebenaran ucapan Rasulullah saw telah terbuktikan bagiku, yakni ketika Nabi bersabda, “Sebaik-baiknya amalan setelah shalat adalah memasukkan kebahagiaan di hati orang mukmin,  hanya saja, dengan syarat tiada dosa di situ.”

            Suatu hari, seorang hamba makan bersama dengan seekor anjing. Satu suapan untuk dirinya dan satu suapan lainnya dilemparkannya ke hadapan anjing itu. Imam Husain menanyakan sebab perbuatannya itu. Hamba itu berkata, “Wahai putra Rasulullah! Aku sangat berduka dan aku ingin menyenangkan anjing ini dengan harapan Allah swt menyenangkanku. Tuanku adalah seorang Yahudi dan aku ingin berpisah darinya.

Imam Husain as pergi ke sisi tuan si hamba tadi dan membebaskannya dengan harga dua ratus dinar. Lelaki Yahudi itu berkata, “Budak ini kukorbankan untukmu, wahai yang mulia, sebab lantaran budak inilah engkau datang kemari. Ladang ini juga kuberikan kepadamu dan dua ratus dinar ini juga kuhadiahkan untukmu.” Imam Husain as berkata, “Kuterima pemberianmu ini dan semuanya kuberikan kepada budak ini dan kubebaskan dia di jalan Allah.”

Istri lelaki Yahudi itu, yang berada di situ dan menyaksikan peristiwa tersebut, berkata,  “Aku menjadi Muslim dan kuhadiahkan mas kawinku kepada suamiku.” Lelaki Yahudi itu berkata, “Aku juga menjadi Muslim dan kuhadiahkan rumahku ini kepada istriku.” [306]

Anas bercerita, “Pada suatu hari, aku berada di sisi Husain bin Ali. Seorang budak wanita datang dan menghadiahkan sekuntum bunga raihan kepada Imam Husain. Imam Husain kemudian membebaskan wanita budak itu dan berkata kepada budak itu, “Kubebaskan engkau di jalan Allah.”

Anas berkata, “Wahai Putra Rasulullah!  Budak ini hanya mengahadiahkan sekuntum bunga yang tidak mahal dan bernilai. Namun, engkau membalasnya dengan membebaskannya?” Imam berkata, “Allah swt mengajarkan kepada kami untuk berbuat seperti itu. Imam mengatakan:

  و اذا حییتم بتحیه فحیوا با حسن منها او ردوها  

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa),[307] dan yang lebih baik daripada sekuntum bunga ini adalah membebaskan budak wanita ini.”[308]

Salah seorang budak Imam Husain as melakukan suatu kesalahan yang layak untuk dihukum. Imam memerintahkan agar ia diberi pelajaran dan hukuman.  Budak itu berkata, “Wahai tuanku!  ‘orang-orang yang menahan amarahnya’.” Imam berkata, “Aku maafkan dia.”

Budak itu berkata, “Wahai tuanku!  و العا فین عن الناس  ‘dan memaafkan (kesalahan) orang’.” Imam berkata, “Aku maafkan engkau.”

Budak itu kembali berkata, “Wahai tuanku!  و الله یحب المحسنین   ‘Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan’.” Imam berkata, “Kubebaskan  kamu di jalan Allah dan akan kuberikan kepadamu dua kali lipat dari apa yang telah kuberikan sebelumnya.”[309]

Seorang Arab badui menjumpai Imam Husain as dan berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Aku menanggung satu diyah sempurna dan tidak kuasa untuk membayarnya. Aku berkata kepada diriku sendiri bahwa aku akan memintanya dari orang yang paling dermawan. Kini, aku tidak menemukan orang yang lebih dermawan daripada Ahlulbait Rasulullah saw.” Imam Husain as berkata, “Aku akan menanyakan tiga pertanyaan kepadamu. Apabila engkau menjawab salah satu darinya, aku akan memberikan sepertiga dari hartaku dan apabila engkau menjawab dua, aku akan memberikan dua pertiga dan jika engkau menjawab semuanya, aku akan memberikan semua hartaku kepadamu.”

Lelaki Arab badui itu berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Mengapakah seorang pribadi agung dengan lautan ilmu sepertimu bertanya kepadaku yang tidak mengetahui apa-apa ini?” Imam berkata, “Ya! Aku mendengar dari kakekku, Rasulullah saw, bersabda,   المعروف بقدر المعرفه “Kebaikan menurut kadar pengetahuan.”

Lelaki Arab itu berkata, “Bertanyalah! Apabila mengetahui, aku akan menjawab dan jika tidak, aku akan belajar darimu  .و لا قوه الا بالله

Imam Husain as berkata, “Apakah amalan yang paling afdal?” Badui itu berkata, “Iman kepada Allah.”

Imam kembali bertanya, “Apakah wasilah untuk menyelamatkan diri dari kebinasaan?” Badui itu berkata, “Bergantung dan bersandar kepada Allah.”

Imam bertanya, “Apakah perhiasan manusia itu?” Lelaki badui itu berkata, “Ilmu yang dengannya manusia bersabar.”

Imam kembali bertanya, “Kalau itu tidak ada, lalu apa?” Badui berkata, “Harta yang disertai dengan objektifitas dan rasa kasihan.”

Imam bertanya, “Apabila itu pun tidak ada, lalu apa yang lain.” Badui itu menjawab mantap, “Kefakiran yang disertai kesabaran.”

Imam berkata, “Apabila itu pun tidak ada, lalu apa?” Badui itu berkata, “Kalau sudah demikian, haruslah petir turun dari langit dan membakar orang itu.”

Imam Husain tersenyum dan memberinya seribu dirham. Imam juga mencopot cincinnya yang bernilai dua ratus dirham. Imam mengatakan, “Dengan uang ini, tunaikanlah hutangmu dan juallah cincin ini lalu belanjakan untuk kehidupanmu.” Lelaki badui itu mengambilnya dan berkata, “Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia meletakkan risalah-Nya.”[310]

 

Imam Husain sepeninggal Saudaranya

Imam Hasan as syahid pada tanggal 28 bulan Shafar, tahun 49 Hijriah.  Sejak tanggal itu, Imam Husain as secara resmi duduk di kursi khilafah dan imamah sesuai dengan nash dan wasiat kakeknya, Rasulullah saw, ayahnya, Ali bin Abi Thalib, dan saudaranya, Imam Hasan as. Masyarakat juga berkewajiban menyiapkan landasan untuk merealisasikan kekuasaan dan khilafah-nya. Namun, dalam praktiknya, mereka tidak melakukan hal itu sama sekali karena propaganda luas Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib dan Bani Hasyim dari satu sisi dan kekuatan tirani Muawiyah  di negeri-negeri Islam dari sisi lain. Di samping itu, pemberian Muawiyah yang begitu banyak serta pembelian tokoh-tokoh besar masyarakat telah membuat masyarakat takut kepadanya dan tidak ada yang kuasa untuk menentangnya. Selain dari itu, antara Muawiyah dan Imam Hasan telah ditandatangani surat perdamaian yang di dalamnya Muawiyah berjanji untuk tidak menunjuk putra mahkota setelahnya dan menyerahkan pemilihan khalifah kepada masyarakat. Persoalan ini merupakan suatu celah harapan bagi para pendukung pemerintahan Alawi. Karena mempertimbangkan hal-hal tersebut, Imam Husain as melihat kemaslahatan Islam dan Muslimin sehingga ia setia kepada surat perjanjian itu dan menghindari segala sikap yang keras untuk mengambil haknya yang sah. Pada saat itulah, Imam Husain hanya menanti momentum yang tersisa. Dengan demikian, Imam Husain tidak menerima usulan sekelompok orang Syiah  Irak untuk melucuti senjata Muawiyah dan bangkit menentang Muawiyah serta mengambil kembali pemerintahan.

            Selama sepuluh tahun berlalu, keadaannya seperti itu hingga Muawiyah meninggal dunia pada paruh bulan Rajab tahun 60 Hijriah. [311]

            Sepeninggal Muawiyah, kondisi baru yang timbul memberikan celah harapan bagi para pecinta Ahlulbait Nabi saw, khususnya Imam Husain as dan para pecinta pemerintahan Alawi. Mereka  merasakan sebuah landasan bagi sebuah kebangkitan untuk menentang pemerintahan Umayyah dan mendirikan pemerintahan Alawi yang relatif terwujud karena beberapa hal: pertama, masa surat perdamaian Imam Hasan telah berakhir dan tidak ada lagi perjanjian untuk itu;  kedua, Muawiyah, dalam surat perjanjian itu, berjanji untuk tidak menunjuk penggantinya. Namun, ia tidak menepati janji itu dan menujuk putranya Yazid sebagai penggantinya. Masyarakat yang mengetahui soal pelanggaran yang dilakukannya itu tidak meridhainya; ketiga, ia berjanji untuk melarang masyarakat melaknat Ali tetapi masih melakukan hal itu; keempat, ia berjanji untuk beramal sesuai dengan al-Quran dan sunnah tetapi tetap melanggar ketetapan itu; kelima, Yazid, yang dipilih Muawiyah sebagai penggantinya, adalah seorang pemuda yang masih hijau, tidak berpengalaman, dan dikenal dengan perbuatan fasik, fajir, serta menyukai minuman keras. Lelaki seperti ini tidak memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah Rasulullah saw. Sebagai konsekuensinya, Imam Husain as menolak untuk berbaiat dengan Yazid dan memandang bahwa dukungan kepada pemerintahan Yazid merupakan suatu  perbuatan yang tidak pantas.

 

Peristiwa Asyura

Peristiwa Asyura adalah salah satu kejadian yang paling tragis dalam sejarah Islam, bahkan sejarah dunia yang langka dalam jenisnya.  Dalam peristiwa tragis ini,  Imam Husain as –yakni putra Rasulullah saw yang dengan semua keutamaan dan anjuran  Rasulullah agar Muslimin mencintainya– dibantai di padang Karbala beserta anak-anak, saudara-saudara, anak-anak saudara, anak-anak paman, keluarga dekat,  Anshar, dan para sahabatnya atas perintah orang yang menganggap dirinya sebagai khalifah Rasulullah saw melalui tangan pasukan yang menganggap dirinya sebagai Muslim dan pengikut  Rasulullah saw. Apalagi Imam Husain terbunuh dengan begitu mengenaskan dan dibantai secara sangat tidak manusiawi. Perilaku yang sangat biadab dan tidak mengenal belas kasihan itu telah menghitamkan wajah sejarah kemanusiaan.

Untuk mengenal Imam Husain as, perlu mengkaji peristiwa pahit ini. Namun, berhubung untuk mengkajinya secara sempurna dan teliti, diperlukan penulisan   sebuah buku yang terperinci, maka untuk sementara ini, keadaan tidak memungkinkan untuk itu. maka, kami di sini akan berupaya menyinggung peristiwa tersebut secara ringkas.

 

Imam Husain Dipanggil ke Darul Imarah

Sepeninggal Muawiyah, Yazid duduk di kursi khilafah.  Ia menulis surat kepada Walid bin Atabah, wali Madinah, yang isinya adalah bahwa bagaimanapun caranya hendaknya Walid dapat mengambil baiat dari Husain.  Sewaktu surat ini sampai kepada Walid, Imam Husain dipanggil ke Darul Imarah. Setelah diumumkannya berita kematian Muawiyah, Imam Husain diminta agar membaiat Yazid. Imam meminta waktu untuk memikirkan hal itu.  Kemudian Imam menerima undangan itu dan datang ke Darul Imarah. Namun, Imam tidak memutuskan untuk membaiat Yazid dan melegalisasi khilafah-nya sebab Yazid di mata Imam tidaklah layak untuk itu.

Pada hari lainnya, Marwan bin Hakam menyaksikan Imam Husain as di jalan kecil dan berkata, “Aku menghendaki kebaikan untukmu. Membaiat Yazid menguntungkan dirimu, baik di dunia maupun akhirat. Aku menyarankan agar engkau membaiatnya dan menerima khilafah-nya. Imam Husain as berkata, ”Aku berlindung kepada Allah dari hari ketika umat Islam dilanda khalifah seperti Yazid. Aku mendengar dari kakekku, Rasulullah saw, yang bersabda, “Khilafah diharamkan bagi keluarga Sufyan.” [312]

Pada hari lainnya, kembali Walid memanggil Imam Husain as dan mengulangi gagasannya itu dengan pemaksaan dan dengan alasan bagi kebaikan Imam Husain as. Kembali Imam meminta waktu dan keluar dari Darul Imarah.

Imam Husain as yang memutuskan untuk tidak membaiat Yazid melihat bahwa maslahatnya adalah meninggalkan Madinah.  Saudaranya, Muhammad bin Hanafiah, mengetahui keputusan ini. Lantas ia mengatakan, “Apabila engkau berniat untuk tidak membaiat Yazid, pergilah ke Mekkah atau Yaman! Janganlah pergi ke kota lainnya sebab tidaklah maslahat!” Imam Husain as berkata, “Saudaraku!  Demi Allah!  Meskipun tidak memiliki tempat perlindungan dan rumah satu pun, aku tidak akan membaiat Yazid.” [313]

 

Surat Wasiat Imam dan Kepergiannya dari Madinah

Imam berkata kepada Muhammad bin Hanafiah, “Tinggallah engkau di Madinah dan sampaikanlah berita kepadaku!” Lalu Imam menulis sebuah surat dengan kandungan seperti berikut ini.

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ini adalah wasiat yang diperuntukkan oleh Husain bin Ali kepada saudaranya, Muhammad bin Hanafiah.

Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Tuhan yang Esa dan Ia tidak memiliki sekutu serta bahwasannya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya dan ia membawa kebenaran dari sisi Allah. Aku bersaksi Bahwasannya surga dan neraka itu benar dan tiada keraguan akan kedatangan hari kiamat serta orang-orang yang mati akan dibangkitkan untuk dihisab dan diberi pahala atau hukuman.

Ketahuilah bahwa aku keluar dari Madinah bukannya atas dasar thugyan dan kesombongan serta mencari kesenangan atau membuat kerusakan dan kezaliman, melainkan tujuanku adalah membuat perbaikan pada umat kakekku.  Aku bermaksud untuk melakukan amar makruf nahi munkar dan menghidupkan sirah kakekku Rasulullah saw dan ayahku Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang menerima hakku telah menerima hak Allah. Namun, apabila masyarakat mencegah untuk menerima kebenaran, aku akan bersabar hingga Allah mengadili antara aku dan mereka dan Allah adalah hakim yang terbaik.

Saudaraku! Inilah wasiatku untukmu. Taufikku berada di tangan Allah dan aku bertawakkal kepada-Nya dan menuju kepada-Nya.”[314]

Imam Husain as mengucapkan perpisahan dengan makam Rasulullah saw dan ibunya, Fatimah, serta saudaranya, Imam Hasan as. Pada pertengahan malam 3 Sya’ban atau 28 Rajab tahun 60 Hijriah, Imam berangkat menuju Mekkah.  Keluarga, anak-anak, saudara, keponakan, saudara perempuan, anak-anak saudara perempuan, anak-anak paman, dan mayoritas Ahlulbait juga ikut serta dalam perjalanan ini. [315]

Kafilah Imam Husain as bergerak dengan begitu cepat. Setelah beberapa hari, Imam tiba di Mekkah dan tinggal di sebuah rumah.  Abdullah bin Zubair sebelumnya juga pergi ke Mekkah dan berlindung di Haram. Ia mengharapkan umat Islam membaiatnya.  Oleh karena itulah, Abdullah merasa terganggu dengan kedatangan Imam Husain as karena mengetahui bahwa dengan adanya Imam Husain as, tidak ada yang akan membaiat dirinya.

Masyarakat Mekkah mengetahui kedatangan Imam Husain as sehingga pergi menuju rumah Imam. Imam Husain berada di Mekkah sepanjang  bulan Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulqa’dah, dan delapan hari dari Dzulhijjah sambil menantikan peristiwa yang mendatang.

 

Undangan Warga Kufah untuk Imam

Pada hari-hari itu, masyarakat Kufah mendapat berita tentang kematian Muawiyah dan khilafah putranya Yazid. Lantas mereka mendapat berita bahwa Imam Husain as tidak bersedia membaiat Yazid dan berhijrah dari Madinah. Oleh karena itulah, mereka berkumpul di sebuah rumah warga Syiah dan mendiskusikan undangan untuk Imam Husain agar Imam datang ke Irak untuk menerima dukungan yang ditujukan kepadanya. Pada akhirnya, semua yang hadir bersepakat untuk mengundang Imam Husain ke Kufah dan mendukung pendirian pemerintahan Husaini.

Sebagai hasil dari keputusan ini, mereka menulis surat, ” انه لیس علینا امام فا قبل  الینل لعل  الله ان یجمغنا بک علی الحق , manakala engkau tiba di Kufah, kami akan mengeluarkan Nu’man Basyir, antek Yazid, dari Kufah dan akan memilih engkau sebagai imam.”

Lantas mereka menandatangani surat itu dan mengirimkannya kepada Imam Husain di Mekkah melalui beberapa utusan Syiah. Setelah surat itu, banyak sekali surat susulan yang dikirim kepada Imam Husain, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 150 hingga 600 dan bahkan dua belas ribu surat.

 

Jawaban Surat Warga Kufah dan Keberangkatan Muslim bin Aqil

Manakala jumlah surat sudah semakin banyak dan Imam Husain mengetahui kandungannya, sebagai jawabannya, Imam melayangkan surat dengan kandungan seperti berikut ini.

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, surat ini dari Husain bin Ali untuk jama’ah mukminin dan Muslimin. Hani dan Sa’id telah membawa surat-surat kalian. Kedua orang itu merupakan delegasi kalian yang terakhir dan aku telah mengetahui isi surat-surat kalian. Ringkasnya, semua surat itu menyatakan bahwa kalian tidak memiliki imam dan menghendakiku agar datang kepada kalian yang mungkin Allah memberi kalian petunjuk kepada kebenaran melaluiku.

Kini, untuk tujuan ini, aku mengutus saudara, anak paman, dan orang kepercayaanku, Muslim bin Aqil, kepada kalian agar melihat dan mempelajari keadaan dari dekat. Apabila Aqil menulis kepadaku bahwa jumhur ‘mayoritas’ masyarakat, para bangsawan, dan kaum cerdik cendekia memutuskan untuk mengamalkan apa yang terkandung dalam surat  yang kubaca itu, aku akan segera menuju kalian. Demi agamaku! Tidaklah layak menduduki kursi imamah kecuali orang yang bertindak sesuai dengan al-Quran, mendirikan keadilan, menerima agama yang benar, dan bertekad untuk melaksanakan kewajiban ini.”[316]

Imam menulis surat dan mengutus Aqil untuk berangkat menuju Kufah dengan ditemani oleh  Qays bin Mushir Shaidawi, Ammarah bin Abdullah Saluli, dan Abdurahman bin Abdullah Azdi untuk menyampaikan surat kepada  warga Kufah dan menyaksikan keadaan dari dekat  lalu melaporkannya.

Muslim mengambil surat itu dan berangkat menuju Kufah. Pertama, Muslim memasuki rumah salah seorang warga Syiah yang bernama Mukhtar bin Abi Ubaidah. Masyarakat Syiah menyambutnya dengan hangat dan berebut untuk menjumpainya. Muslim membacakan surat Imam Husain bagi mereka dan mereka menangis karena senang bercampur rindu. Mereka membaiat Muslim bin Aqil sebagai wakil Imam Husain as dan jumlah yang membaiat diriwayatkan mencapai delapan belas ribu orang dan bahkan ada yang mengatakan empat puluh ribu orang.

 

Surat Muslim bin Aqil kepada Imam Husain as

Manakala menyaksikan sambutan masyarakat yang begitu hangat, Muslim bin Aqil menulis surat kepada Imam Husain as dan melaporkan sambutan antusias masyarakat Kufah serta meminta Imam agar sesegera mungkin bergerak menuju Kufah.[317]

            Di sisi lain, sebagian pendukung Yazid menulis surat untuk melaporkan peristiwa masuknya Muslim bin Aqil ke Kufah dan baiat masyarakat kepadanya dengan menulis, “Apabila engkau menghendaki Kufah, kirimkanlah walikota yang tangguh kemari. Jika tidak, Kufah akan lepas dari tanganmu.”

Ketika surat ini tiba di tangannya, Yazid membahas persoalan ini dengan para penasehatnya. Salah seorang dari mereka memberikan solusi agar Ubaidillah bin Ziyad  diangkat sebagai wali Kufah. Yazid menerima saran ini dan mengirimkan surat keputusan yang menunjuk Ubaidillah bin Ziyad, yang saat itu menjabat wali Basrah, sebagai wali Kufah. Untuk itu,  Yazid menulis, “Segera pergilah ke Kufah dan tangkap serta habisi Muslim!”


Masuknya Ubaidillah Ke Kufah

Ubaidillah tiba di Kufah pada malam hari. Pada pagi harinya, sejumlah bangsawan Kufah dipanggil oleh Ubaidillah ke Darul Imarah. Mereka dipersalahkan dan dicela oleh Ubaidillah yang berkata, “Aku mendengar Muslim bin Aqil datang ke Kufah dan membuat perpecahan di tengah umat!  Katakan kepadanya agar jangan meneruskan perbuatan itu sebab, kalau tidak, dia akan menerima hukuman yang berat! Kalian juga harus membantuku dalam hal ini sehingga kalian diridhai oleh Yazid dan mendapat dukungan darinya.”

Kemudian Ubadillah mengutus mata-matanya untuk mencari posisi Muslim dan memberikan sejumlah uang sebagai biaya pencarian itu. Muslim bin Aqil yang mengetahui kedatangan Ubaidilah bin Ziyad ke Kufah dan mengetahui ucapan-ucapan Ibn Ziyad di tengah para pendukungnya merasakan adanya bahaya. Ia pun mengubah posisinya dan secara sembunyi-sembunyi, ia beralih ke rumah Hani bin Urwah. Secara kebetulan, salah seorang mata-mata menemukan tempat persembunyian Muslim dan membocorkannya kepada Ibn Ziyad.

Ibn Ziyad memanggil Hani dan dengan celaan ia berkata kepada Hani, “Aku mendengar bahwa engkau menyembunyikan Muslim di rumahmu dan engkau menyediakan pasukan serta senjata untuknya?”

Hani memungkiri tudingan itu. Ibn Ziyad pun mendatangkan mata-mata yang menunjukkan bukti kepadanya. Hani memahami bahwa persoalannya telah terbongkar. Maka, lantas ia berkata, “Aku tidak mengundangnya ke rumahku tetapi dia sendiri yang datang ke rumahku sebagai tamuku dan aku terpaksa menerimanya.” Ibn Ziyad berkata, “Kini, engkau harus menyerahkannya kepadaku.” Hani berkata, “Aku tidak akan menyerahkan tamuku kepadamu tetapi bersedia untuk menyuruhnya meninggalkan rumahku dan pergi ke mana saja ia suka.”

Ibn Ziyad memukuli wajah dan tangan Hani dengan tongkat kayunya hingga Hani mengalami luka-luka dan darah pun mengalir. Lantas Hani dipenjarakan di sebuah kamar yang gelap.


Keluar dan Syahadahnya  Muslim bin Aqil

Ketika mengetahui berita ini, Muslim memerintahkan para sahabatnya yang kira-kira berjumlah empat ribu orang untuk bersiap-siap berjihad.[318]                         Mereka berkumpul di masjid dan sekitarnya serta bersiap untuk melakukan serangan ke Darul Imarah. Ibn Ziyad yang menyaksikan keadaan seperti ini berkata kepada para pengikutnya, “Menyusuplah kalian ke dalam pasukan Muslim dan dengan cara bagaimanapun pecah-belahlah, pencarkanlah, dan perselisihkanlah mereka!”

Sebagian pengikut Ubaidillah menyusup ke dalam pasukan Muslim dan membuat isu bahwa pasukan Syam sedang berangkat dan tidak lama lagi mereka akan tiba dan akan membantai pasukan Muslim. Para penyusup itu berkata, “Kasihanilah diri sendiri dan anak-anak kalian dan kembalilah ke rumah kalian sehingga mendapat anugerah dari khalifah Yazid!”

Dengan ancaman-ancaman seperti itu, suasana ketakutan yang mencekam merasuk ke dalam jiwa pasukan hingga para ibu datang untuk mengambil tangan anak-anak mereka dan mengeluarkan mereka dari medan. Tidak lama kemudian, pasukan Muslim telah meninggalkan Muslim. Dalam shalat Maghrib, ada tiga puluh orang yang bertahan dengannya. Ketika Muslim keluar dari masjid, hanya sepuluh orang yang menyertainya. Sewaktu Muslim keluar dari pintu masjid, bahkan tak satu pun  orang yang menyertainya.

Dalam keadaan seorang diri, Muslim kebingungan di jalan hingga ia diterima sebagai tamu di rumah seorang wanita tua bernama Thau’ah. Pada hari berikutnya, Ibn Ziyad mencium keberadaan Muslim di rumah nenek tua itu. Lantas ia mengirim beberapa orang untuk menangkap Muslim. Muslim sempat melawan mereka sendirian  tetapi akhirnya menyerahkan diri setelah ada jaminan bagi keamanannya.  Ia diseret ke sisi Ibn Ziyad dan pada tanggal 9 Dzulhijjah,[319]  syahid dengan keadaan yang mengenaskan. Bersamaan dengan itu, Hani dan Urwah menemui ajalnya dengan mengenaskan pula.

Diriwayatkan bahwa menjelang syahidnya, Muslim menangis. Ketika ditanya mengapa ia menangis, Muslim menjawab, “Demi Allah! Aku tidak menangisi ajalku karena syahadah adalah warisan kami. Akan tetapi, aku menangis karena akibat suratku, Imam Husain dan Ahlulbaitnya akan bergerak menuju Kufah. Aku menangis untuk mereka.” Kemudian Muslim berkata kepada Muhammad bin As’ats, “Apabila engkau bisa, maka tulislah surat kepada Imam Husain dan katakanlah dariku kepada beliau, “Kini Muslim ditawan kaum keji dan tidak akan lama lagi terbunuh. Batalkanlah niat perjalananmu dan keluargamu karena warga Kufah tidak akan setia dengan janji-janjinya.”[320]

Kepergian Imam Husain dan Ahlulbaitnya dari Mekkah bersamaan dengan hari keluarnya Muslim menentang Ibn Ziyad pada hari tarwih.[321]

Keputusan Imam Husain untuk Pergi ke Irak

1.      Surat-surat yang banyak dari warga Kufah dan undangan mereka kepada Imam Husain agar pergi ke Irak. Mereka mengatakan pula bahwa mereka tidak memiliki imam dan meminta Imam Husain supaya segera datang.

2.      Sambutan hangat masyarakat Kufah dalam membaiat Muslim dan surat Muslim kepada Imam Husain as bahwa sudah ada delapan belas ribu orang yang telah membaiatnya.

    Kematian Muawiyah yang kemudian digantikan oleh Yazid padahal Yazid adalah pemuda yang fasik, fajir, suka bersenang-senang, dan berpesta pora. Selain itu, ia kurang berpengalaman  dan tidak memiliki kekuatan yang diperlukan.

Semua ini mengindikasikan bahwa umat Islam, khususnya Syiah, tidak tahan lagi menyaksikan kezaliman dan diabaikannya harta milik rakyat serta ketidakpedulian para khalifah Umawi terhadap nilai-nilai Islam, bahkan mereka menginjak-injak nilai-nilai itu. Selain itu, mereka menyaksikan implikasi buruk dari terlepasnya pemerintahan Islam dengan mata mereka sendiri dan berusaha menebus kesalahan itu.

Dengan mempertimbangkan tanda-tanda seperti itu, tampaknya keadaan menunjukkan bahwa landasan bagi pergerakan dan pembentukan pemerintahan Islam sudah tersedia. Dalam kondisi seperti ini, Imam Husain merasakan tanggung jawab, yakni sebuah tanggung jawab yang berat dan sulit lagi berbahaya.  Dengan keadaan seperti itu, hujjah bagi Imam Husain sudah sempurna dan Imam merasa harus menyambut positif undangan masyru’ dan menentukan masyarakat Kufah serta bergerak menuju Irak.

Akibat dari perbuatan ini, maka hal ini tidak keluar dari dua kemungkinan: pertama, sekiranya masyarakat Kufah menepati janji-janjinya dan mendukung Imam Husain dalam mengupayakan pembentukan pemerintahan Islam yang sejati, dengan demikian, pemerintahan Islam yang sudah sekian tahun menyeleweng dari rel aslinya dapat dikembalikan ke jalurnya yang asli, atau setidaknya, di Irak berdiri pemerintahan seperti pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib. Hal itu nantinya memungkinkan untuk menyebar dan menular ke  negeri-negeri Islam yang lain, termasuk Syam. Dalam asumsi seperti itu, maka kemenangan besar telah diraih oleh Islam dan Muslimin; kemungkinan kedua, masyarakat Kufah melanggar janjinya dan meninggalkan Imam Husain sendirian dalam pergerakan sucinya yang amat penting dan akhirnya Imam syahid. Dalam keadaan seperti ini, Imam Husain telah menunaikan kewajiban Ilahinya dan dengan kebangkitan berdarahnya melawan Yazid, Imam telah mengumumkan ketidakabsahan pemerintahan Bani Umayyah dan telah menggoyang fondasi-fondasinya karena kebangkitan anak Rasulullah saw dan Ali serta Fatimah di hadapan sebuah pemerintahan adalah sebaik-baiknya dalil atas kebatilan dan ilegalitas pemerintahan itu.

Imam Husain berpikir bahwa, dalam keadaan seperti itu, ia telah memberikan pelajaran beragama kepada Muslimin dan melakukan amar makruf nahi munkar dalam membela Islam dan nilai nilai Islam serta melakukan jihad di jalan pembentukan pemerintahan Islam. Ini juga merupakan sebuah kemenangan.

Dari sejumlah ucapan dan khutbah-khutbah Imam Husain as saat hendak keluar dari Madinah dan ketika bergerak menuju Irak dari Mekkah dan di sepanjang perjalanan, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan kedua bukan hanya mustahil tetapi bahkan aroma kematian dan syahadah sudah begitu dirasakan oleh Imam. Imam beserta yang menemaninya bersiap-siap untuk menerima kenyataan. Namun, karena beliau merasa bertanggung jawab, tiada jalan lain kecuali menghadapi kematian itu dengan sabar.  Oleh karena itulah, ketika bergerak dari Mekkah menuju Irak, Imam membacakan khutbah dan setelah menjelaskan  perasaannya tentang perjalanan ini dan kemungkinan dampaknya yang berbahaya,  Imam berkata kepada para sahabatnya, “Barangsiapa yang siap menghadiahkan darahnya di jalan kami dan menyiapkan nyawanya untuk bertemu dengan Allah hendaknya menyertai kami dalam perjalanan suci ini.  Aku Insya Allah pagi-pagi benar akan bergerak menuju Irak.”[322]   Pada malam itu, Muhammad bin Hanafiah, yang pada masa itu berada di Makkah, menjumpai Imam Husain as dan berkata,  “Saudaraku! Apakah engkau mengenali warga Kufah. Engkau tahu bahwa ayah dan saudaramu telah dikhianati oleh mereka. Aku khawatir mereka akan berbuat yang sama terhadapmu dan meninggalkanmu sendirian. Apabila engkau setuju, tinggallah di Mekkah dan kemuliaanmu tetap terpelihara.”

Imam Husain as berkata, “Saudaraku! Aku khawatir antek-antek Yazid akan membunuhku di Mekkah dan kehormatan Baitullah terkoyak atau mereka akan menangkapku dan menyerahkanku ke Yazid.’’ Muhammad bin Hanafiah kembali berkata, “Apabila engkau masih khawatir, pergilah ke Yaman atau salah satu daerah pegunungan! Di sana, engkau lebih aman.” Imam Husain pun memikirkan saran itu.[323]

Orang-orang lain juga ada yang memberikan saran serupa. Namun, tidak satu pun yang dapat menggoyahkan tekad baja Imam Husain untuk menunaikan kewajiban Ilahiah dan Imam pun berangkat ke Irak.

 

Berangkat Menuju Irak

Subuh malam 8 Dzulhijjah, Imam Husain beserta keluarga, anak-anak, saudara, anak paman, saudari, anak saudari, anak-anak paman, para sahabat, dan pendukungnya berangkat menuju Irak.  Di saat itu,  berita syahidnya Muslim bin Aqil  belum mereka terima.[324]

Imam Husain di sepanjang perjalanan berpapasan dengan sejumlah tokoh dan manusia yang kebanyakannya merasa heran atas keberangkatan mendadak Imam ke Kufah dan bahkan tampak cemas dan menyarankan agar Imam Husain tidak melanjutkan perjalanan yang berbahaya itu. namun, Imam Husain tidak menghiraukan saran-saran tadi, seolah-olah rasa tanggung jawab Imam sedemikian besarnya sehingga saran-saran seperti itu tidak lagi berpengaruh.

Di Tsa’labiyah, mereka mendengar syahidnya Muslim dan Hani. Abdullah bin Sulayman dan Mundzir bin Masy’al berkata, “Kami melihat seorang lelaki yang datang dari Kufah.  Kami menanyakan keadaan di Kufah. Ia berkata, “Kami tidak keluar dari Kufah melainkan setelah Muslim bin Aqil dan Hani bin Urwah telah terbunuh. Aku melihat dengan mataku sendiri badan mereka ditarik di atas tanah di pasar.”  Dua lelaki Tsa’labiyah ini mendatangi Imam Husain as dan menceritakan peristiwa syahidnya Muslim dan Hani. Imam berkata, “  انا لله و انا الیه راجعون و رحمه الله ".علیهما

Dua lelaki itu berkata, “Demi Allah! Jagalah jiwamu dan keluargamu dan janganlah engkau meneruskan perjalanan ini karena, di Kufah, tidak ada penolong dan Syiah. Bahkan aku takut orang-orang Kufah akan berbalik memerangimu dan berdiri di barisan musuh.

Imam Husain memandang anak-anak Aqil dan berkata, “Kalian telah mendengar kalau Muslim telah terbunuh. Kini, bagaimana pendapat kalian?”

Mereka berkata, “Wahai putra Rasulullah! Demi Allah! Kami tidak akan kembali kecuali setelah membalas darah Muslim atau kami juga terbunuh di jalan ini!”

Imam Husain as berkata, “Setelah syahidnya Muslim dan Hani, kehidupan tidak lagi ada manisnya.”  Mereka berkata, “Tetapi engkau berbeda dengan Muslim. Apabila engkau memasuki Kufah, diharapkan masyarakat akan berkumpul dan termobilisasi untuk mendukungmu.”[325]

Di sisi lain, tatkala Ubaidillah bin Ziyad mengetahui bahwa Imam Husain as telah keluar dari Mekkah dan berangkat menuju Kufah, Husain bin Numair (panglima perangnya) dikirimnya ke Qadisiyah untuk mempersiapkan dan mengorganisasi pasukan.[326]

Program Ibn Ziyad adalah mencegah masuknya Imam Husain ke Kufah dan menghalangi kemungkinan keluarnya warga Kufah untuk bergabung dengan Imam Husain. Oleh karena itu, ia berusaha mengepung dan mengisolasi Imam Husain dan para sahabatnya di luar Kufah lalu memaksa mereka menyerah.  Dengan tujuan ini, Hur bin Yazid Riyahi dikirim dengan seribu personil pasukan berkuda ke luar Kufah dan menghambat gerak laju pasukan Imam Husain.

Keputusan Imam Husain adalah untuk sesegera mungkin menyampaikan diri dan pasukannya ke Kufah sebagai sentral kaum Syiah yang telah mengundangnya dan memberi janji bantuan.

Pertemuan dengan Hur

Imam Husain dan para sahabatnya sedang bergerak menuju Kufah yang kemudian tiba-tiba berhadapan dengan Hur bin Yazid Riyahi dan seribu pasukan berkuda yang datang dari Qadisiyah.

Tatkala Imam Husain dan para sahabatnya turun untuk menunaikan shalat zuhur, Hur memerintahkan pasukannya untuk ikut shalat zuhur di belakang Imam Husain as.  Setelah menunaikan shalat zuhur, Imam Husain as menyampaikan khutbah dan berkata, “Aku tidak datang ke sini tanpa undangan. Kalian yang menulis bahwa kalian tidak memiliki imam sehingga, “Datanglah engkau ke Kufah semoga Allah swt menyatukan umat ini di tanganmu sehingga mengenali yang haq (kebenaran).” Kini aku datang. Apabila kalian teguh terhadap janji-janji yang kalian berikan, aku akan tinggal dan melaksanakan kewajiban. Namun, apabila kalian menyesal terhadap ucapan dan apa yang kalian tulis lalu membenci kedatanganku, aku akan kembali ke tanah airku.”

Hur berkata, “Aku tidak tahu-menahu tentang surat-surat yang engkau maksudkan itu.”  Imam Husain as berkata kepada salah seorang sahabatnya agar menunjukkan tas-tas yang berisikan ribuan surat warga Kufah. Hur kembali berkata,  “Aku tidak termasuk orang yang menulis surat kepadamu tetapi datang sebagai utusan Ubaidillah  untuk menyertaimu terus hingga ke Kufah dan menyerahkanmu kepadanya.”

Imam berkata, “Demi Tuhan!  Aku tidak akan datang bersamamu ke Kufah.” Hur menjawab, “Demi Tuhan! Aku juga tidak akan membiarkanmu lepas dan tidak akan mengijinkanmu pulang. Namun, aku tidak diperintah untuk berperang denganmu.”

Imam Husain memerintahkan para sahabatnya agar menaiki kuda. Namun, beliau mengarah bukan menuju Kufah dan juga tidak ke Madinah sedangkan pasukan Hur juga mengikuti mereka sehingga sampailah mereka di bumi yang bernama Nainawa.  Ketika itu, dari pihak Ubaidillah bin Ziyad datang sepucuk surat yang bertuliskan, “Ketika suratku tiba ke tanganmu, maka hentikanlah Husain di gurun yang tiada air dan tumbuhan!”

Hur membacakan surat itu kepada Imam Husain dan berkata, “Engkau harus turun di sini.”


Imam Husain di Karbala

Imam Husain as dan para sahabatnya terpaksa berjalan di padang Karbala dan mendirikan kemah-kemah lalu pasukan Hur juga berbaris di hadapan pasukan Imam Husain.  Pada hari kedua bulan Muharram tahun 61 Hijriah, [327] mulai tampak jelas bahwa kemungkinan syahidnya Imam Husain as dan para pendukungnya demi membela kebenaran dan agama kakeknya semakin menguat.  Imam Husain as membacakan khutbah dan setelah memuji Allah swt, Imam berkata kepada sahabatnya, “Kalian telah menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kami, sebagaimana dunia ini sudah terbalik dan menunjukkan wajahnya yang buruk.  Kebaikan-kebaikan dunia sudah terjungkir dan tidak tersisa, kecuali kehidupan yang hina seperti padang rumput yang berbahaya. Tidakkah kalian melihat bahwa kebenaran sudah tidak diamalkan dan kebatilan sudah tidak dilarang? Dalam kondisi seperti ini, aku melihat kematian itu adalah kebahagiaan dan hidup bersama orang-orang yang zalim tidak lain adalah penderitaan dan siksaan.” [328]

Beberapa orang sahabat seperti Zuhair bin Qain, Hilal bin Rafi’, dan Burair bin Khudhair bangkit seraya berkata, “Wahai putra Rasulullah!  Kami siap syahid dalam membela kebenaran dan berperang di barisanmu. Kami akan berbangga dengan itu.”

Sampai di sini, Imam Husain as belum berputus asa dari bantuan masyarakat Syiah di Kufah dan memberikan kemungkinan apabila mereka mendengar kedatangan Imam Husain di bumi Karbala, maka mereka akan berbondong-bondong mendatangi Imam Husain as. Dalam rangka ini dan untuk menyempurnakan hujjah, Imam Husain as menulis surat yang isinya sebagai berikut.

“Dengan nama Allah yang Maha pengasih dan Maha Penyayang, kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw di masa hidupnya bersabda, “Barangsiapa menyaksikan raja zalim yang menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah swt dan mencederai janji Allah lalu berbuat hal yang melanggar sunnah Rasulullah saw dan terbiasa dengan perbuatan keji terhadap masyarakat tetapi diam dan tidak memberontak melalui ucapan dan perbuatannya, maka Allah swt akan membangkitkannya kelak dengan raja tiran itu.

Kalian tahu bahwa kaum ini (Bani Umayyah) mengikuti setan dan berpaling dari ketaatan kepada Allah, serta menghamparkan kerusakan di muka bumi, dan meniadakan hukum Allah, dan mengutamakan diri mereka dan para pendukungnya dalam membelanjakan baitul-mal. Mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang haram. Kalian tahu bahwa aku lebih layak untuk mengurusi pemerintahan dibanding orang lain.

Surat-surat kalian telah tiba di tanganku dan para utusanku telah menyampaikan kepadaku tentang janji setia dan baiat kalian.  Kalian menulis, “Kami tidak akan membiarkan Anda sendirian.” Kini, bila menepati janji itu, kalian akan mencapai cita-cita kalian itu. Aku, keluargaku, dan anak-anakku berada di sisi kalian dan aku adalah teladan serta contoh. Namun, apabila kalian melupakan janji dan merobek baiat yang hal ini tidaklah jauh dari kalian sebagaimana kalian telah  melakukan hal yang sama terhadap  ayah dan saudaraku. Anak pamanku pun terperdaya oleh  tipuan kalian. Ketahuilah bahwa kalian telah menyia-nyiakan bagian  kalian  و من نکث فا نما ینکث علی نفسه  dan Allah tidak membutuhkan kalian.”[329]


Surat Hur Untuk Ibn Ziyad

Di sisi lain, Hur bin Ziyad Riyahi menulis surat kepada Ibn Ziyad yang berisikan, “Manakala Husain bin Ali tidak mau menyerah, maka sesuai dengan  perintah yang mulia, kami akan menghentikannya di sebuah wilayah yang tak ada air dan tumbuhan dan kami menantikan perintah selanjutnya.”

Ibn Ziyad, setelah menerima laporan dari Hur, mengambil keputusan untuk menabuh genderang perang.  Meskipun para sahabat dan pendukung Imam Husain berjumlah sedikit, yakni 72 orang atau paling banyak seratus orang, –maka seribu personil pasukan yang berada di bawah komando Hur sebenarnya sudah lebih dari cukup– Ibn Ziyad tetap mengambil keputusan untuk mempersiapkan pasukan yang lebih tangguh karena mengetahui dengan baik keberanian dan pengorbanan Husain bin Ali dan para sahabat serta pendukungnya. Ia pun tahu bahwa satu orang dari pasukan Imam Husain sebanding dengan beberapa orang dan setiap orang dari mereka pasti akan membunuh beberapa orang terlebih dahulu sebelum terbunuh.  Selain dari itu, ia memperkirakan bahwa sekelompok orang Syiah akan datang dengan cara apa pun untuk memberikan bantuan kepada Imam Husain as.

Yang lebih penting dari itu adalah Ibn Ziyad berpikir bahwa apabila melihat pasukan musuh yang banyak di hadapan mereka, maka Husain bin Ali dan para pendukungnya akan takut dan menyerah.

Oleh sebab inilah atau sebab lainnya, Ibn Ziyad melihat penambahan pasukan dengan senjata yang lengkap merupakan hal yang sebaiknya dilakukan.

Untuk tujuan ini, ia memanggil masyarakat ke masjid dan membacakan khutbah sebagai berikut.

“Wahai manusia!  Kalian mengenali keluarga Sufyan (ali Sufyan) dan mendapati keluarga Sufyan sebagaimana yang kalian kehendaki.  Kini kalian mengetahui bahwa Yazid sebagai khalifah dan amirul mukminin berperilaku baik dan berparas tampan. Ia berbuat baik kepada rakyat melalui pemberian-pemberian yang sesuai pada tempatnya dan membuat jalan-jalan menjadi aman, sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya, Muawiyah, di zaman khilafah-nya.  Putranya Yazid sepeninggal ayahnya juga sangat memperhatikan penderitaan rakyat dan membantu kaum fakir-miskin dengan kekayaan pribadinya. Yazid memuliakan kaum fakir-miskin dan menggandakan rejeki kalian. Yazid telah memerintahkan kepadaku untuk  menambah gaji kalian dan memerangi musuhnya, Husain. Dengarkanlah perintah ini dan patuhilah!”

Kemudian ia turun dari minbar dan membagikan banyak uang kepada rakyat  lalu menginstruksikan agar mereka berangkat ke medan perang dan  berperang melawan Imam Husain di bawah komando Umar bin Sa’ad. Dengan demikian, dua puluh atau tiga puluh ribu pasukan telah siap untuk berperang.[330]

Umar bin Sa’ad yang sebelumnya telah dilantik sebagai wali Rey dipanggil pulang ke Irak dan diperintahkan untuk memerangi Husain bin Ali yang telah bertindak subversif terhadap khalifah Yazid sebagai amirul mukminin yang sah dan telah melakukan kerusakan di muka bumi. Umar bin Sa’ad ditugaskan untuk memadamkan api fitnah dan baru setelah itu, ia diijinkan untuk kembali ke tempat tugasnya di Rey. Umar bin Sa’ad memohon agar tugas ini diserahkan kepada orang  lain.  Ibn Ziyad berkata, “Dengan  syarat engkau mengembalikan jabatan sebagai wali Rey.”

Umar meminta waktu semalam untuk berpikir tentang hal itu. Pada pagi harinya, karena takut kehilangan jabatan sebagai wali Rey, Umar menerima tugas untuk memerangi Imam Husain as dan pergi ke karbala.[331]

Jumlah pasukan Umar bin Sa’ad yang tiba di Karbala dan berbaris di hadapan pasukan Imam Husain yang berjumlah sedikit, secara terus-menerus, bertambah. Tidak seorang pun yang berani untuk datang membantu Imam Husain as.  Ketika menyaksikan keadaan ini, Imam mengutus  seseorang untuk menemui Umar bin Sa’ad serta mengusulkan pertemuan dan dialog. Umar menerima saran Imam Husain as. Maka, pada malam itu, berlangsunglah pertemuan dan pembicaraan khusus antara dua pasukan.

Imam Husain as berkata, “Wahai anak Sa’ad!  Apakah engkau tidak takut kepada Allah dan ma’ad sehingga berniat untuk berperang denganku? Padahal engkau mengetahui bahwa aku adalah putra Rasulullah saw.  Tinggalkanlah pasukan Yazid dan bantulah aku! Perbuatan itu akan memperoleh keridhaan Allah dan lebih baik untuk akhiratmu.”

Umar berkata, “Aku takut mereka akan merusak rumahku.”

Imam berkata, “Aku akan membuatkan rumah yang lebih baik untukmu.”

Umar kembali beralasan, “Aku khawatir mereka akan mengambil ladang dan hartaku.”

Imam berkata, “Aku akan memberikan harta yang lebih baik daripada itu, dari hartaku di Hijaz kepadamu.”

Umar berkata, “Aku mencemaskan keselamatan keluargaku.”

Di sini, Imam terdiam dan tidak mengatakan apa-apa lagi.[332]

Dalam riwayat lain, Umar bin Sa’ad, setelah pertemuan ini, mengirim surat kepada  Ubaidillah bin Ziyad dengan isi berikut ini.

“Allah menghendaki agar api peperangan padam sehingga terjadi ishlah dalam urusan umat sebab Husain mengusulkan agar ia diijinkan kembali ke tanah airnya atau ke salah satu perbatasan dan hidup sebagaimana seorang Muslim pada umumnya.”

Ketika surat itu tiba di tangannya, Ibn Ziyad berkata, “Surat ini ditulis atas dasar menghendaki kebaikan.” Syimir bin Dzil Jausyan yang saat itu kebetulan berada di situ berkata, “Wahai Amir!  Bagaimana engkau menerima ucapan itu? Kini, ketika sudah berada di negerimu, Husain berada di tanganmu. Namun, demi Allah! Apabila tangannya tidak dipaksa berbaiat kepadamu dan bahkan ia kembali ke tanah airnya, ia akan menjadi lebih kuat sedangkan engkau akan menjadi lebih lemah. Jangan lepaskan kesempatan karena engkau akan menyesal. Dia dan sahabatnya harus menyerahkan diri. Saat itulah, engkau dapat menghukumnya atau memberinya ampunan.”

Ibn Ziyad menerima nasehat Syimir dan berkata, “Ucapanmu itu adalah ucapan yang benar. Ambillah surat ini dan sampaikan kepada Umar bin Sa’ad.  Sampaikan keputusanku kepada Husain dan para sahabatnya. Apabila menerima, mereka akan digiring dalam keadaan hidup dan jika membangkang, maka perangilah mereka!  Apabila Umar bin Sa’ad melaksanakan instruksiku, maka patuhlah kepadanya dan jika ia tidak bersedia memerangi Husain, maka engkau akan menggantikan Umar bin Sa’ad.  Penggallah leher Umar dan kirimkan kepalanya untukku!”

Surat Ibn Ziyad Kepada Umar bin Sa’ad

Ibn Ziyad menulis sebuah surat kepada Umar bin Sa’ad yang isinya adalah berikut ini.

“Aku tidak mengutusmu untuk membela Husain dan mengharapkan keselamatan dan kehidupannya. Aku tidak mengutusmu untuk meminta uzur dari pihaknya atau engkau menjadi penolongnya.  Kini berhati-hatilah! Apabila Husain dan para sahabatnya menerima keputusanku lalu menyerah, maka bawa mereka hidup-hidup ke sisiku. Namun, jika mereka menolak, maka seranglah dan bunuhlah semuanya!  Setelah mereka terbunuh,  cincanglah badan mereka karena mereka layak untuk disiksa seperti itu.  Setelah terbunuh, badannya hendaknya diseret oleh kuda karena dia pembangkang, liar, serta zalim.  Hanya saja aku tahu bahwa sepeninggalnya, seretan kuda tiada akan berpengaruh tetapi ucapan yang kusebutkan tadi harus kauamalkan.

Bila melaksanakan perintahku, maka engkau akan mendapatkan balasan yang baik. Namun, bila menolak, maka engkau kupecat sebagai komandan pasukan  dan kuberikan jabatan itu kepada Syimir Dzil Jausyan.”

Syimir mengambil surat itu dari Ubaidillah dan segera menuju Umar bin Sa’ad. Setelah pembacaan surat, Umar berkata kepada Syimir, “Celaka kamu!  Semoga Tuhan melaknatmu! Aku berpikir engkaulah yang menyebabkan Ibn Ziyad menolak gagasanku. Aku optimis dengan ishlah pada waktu itu. Namun, engkau merusaknya.  Demi Tuhan!  Husain tidak akan pernah menyerah sebab ruh ayahnya, Ali, bertiup di tubuhnya.” Syimir berkata, “Berilah jawaban!  Kini apa yang ingin kaukerjakan? Apakah engkau mematuhi instruksi Amir dan memerangi musuhnya atau engkau akan menyerahkan pasukan kepadaku?”  Umar menjawab, “Tidak!  Tidak pernah akan kuserahkan komandan pasukan kepadamu! Engkau bertugas sebagai komandan pasukan pejalan kaki.”[333]

 

Hari Kesembilan (tasu’a)

Sampai hari kesembilan bulan Muharram, kapan terjadinya perang dan kapan perang akan dimulai belum ada kejelasan. Pada hari itu, surat Ubaidillah bin Ziyad tiba di tangan Umar bin Sa’ad, komandan atau panglima tinggi semua pasukan yang isinya  adalah, “Segera selesaikan urusan Husain bin Ali.  Apabila ia menyerah, bawalah dia dalam keadaan hidup ke sisiku untuk kuambil keputusan atasnya. Namun, bila ia tidak menyerah, bunuhlah dia dan para sahabatnya dan setelah engkau membunuhnya, cincanglah tubuhnya!”

Setelah menerima surat itu, Umar bin Sa’ad memutuskan untuk memulai perang dengan Imam Husain as karena tahu kalau Husain tidak akan menyerah. Selepas zuhur, hari kamis tanggal sembilan Muharram, ia memerintahkan pasukannya, یا خیل الله ! ارکبی و با لجنه ابشری    “Wahai pasukan Allah majulah dan dengan surga bergembiralah.”

Pasukan Umar menaiki kudanya masing-masing dan bergerak menuju kemah-kemah Imam Husain as. Imam, pada saat itu, sedang tidur dalam keadaan kepalanya berada di atas lututnya. Zainab, saudarinya, yang mendengar suara derap kaki kuda pasukan lawan, mendatangi Imam Husain seraya berkata, “Wahai saudaraku! Tidakkah engkau mendengar suara gerakan pasukan? Mereka semakin mendekat!”

Imam Husain mengangkat kepalanya dari lututnya dan berkata, “Saudaraiku! Baru saja aku bermimpi bahwa kakekku Rasulullah saw bersabda, “Tidak lama lagi engkau akan bertemu denganku.” [334]

Kemudian Imam berkata kepada saudaranya, Abbas, “Saudaraku!  Naikilah kudamu dan tanyakan kepada pasukan Ibn Ziyad apa yang mereka mau?”

Abbas bergerak cepat dan menyampaikan dirinya ke hadapan pasukan lawan lalu bertanya apa maksud dari gerakan mereka itu. Mereka berkata, “Ubaidillah memerintahkan kami untuk menyelesaikan urusan dengan kalian.  Apabila kalian bersedia untuk menyerahkan diri, kami akan mengirimkan kalian dalam keadaan hidup-hidup kepadanya untuk diambil keputusan tentang nasib kalian dan jika kalian tidak bersedia menyerahkan diri, kami akan berperang dengan kalian.”

Abbas kembali ke sisi Imam Husain dan menyampaikan maksud pasukan Ibn Ziyad itu kepada Imam Husain as.  Imam berkata, “ Pergilah ke sisi mereka dan jika bisa mintalah waktu karena di malam ini, kami akan mendirikan shalat, berdoa, dan meminta ampunan dari Allah swt.  Allah mengetahui bahwa aku menyukai shalat, membaca al-Quran, doa, serta istighfar.”

Abul Fadl Abbas mendatangi pasukan lawan dan menyampaikan gagasan Imam Husain as kepada mereka. Usulan itu diterima dan perang ditunda hingga keesokan harinya. [335]


Instruksi agar Bersiap–siap

Di saat itu, kapan perang akan terjadi belum juga jelas. Memandang bahwa jumlah pasukan Imam Husain sedikit, maka pasukan musuh mulai mengepungnya  sehingga tiada lagi kemungkinan adanya pasukan gabungan yang berpihak kepada Imam Husain as. Dengan demikian, siapa yang akan menang dalam peperangan ini sudah dapat diramalkan dengan baik. Kematian yang mulia dan syahid di jalan Allah akan terjadi karena Imam Husain as dalam keadaan apa pun tidak akan bersedia menyerah di hadapan Ibn Ziyad. Dengan demikian, Imam Husain memutuskan  untuk beperang sampai titik darah penghabisan secara ksatria dan berani di hadapan pasukan musuh. Imam tidak akan menerima kehinaan dengan menyerahkan dirinya.  Untuk mencapai tujuan besar ini, haruslah sebab-sebab dan pendahuluannya disediakan agar dapat mempersiapkan para sahabat, kawan, dan bahkan keluarganya. Dalam kaitan ini, beberapa pendahuluan telah Imam lakukan.

1.      Menguji para sahabat dan kawan.

Walaupun mengenal baik para sahabat dan keluarganya sertta meyakini keimanan, konsistensi, dan kesetiaan mereka, berhubung munculnya kondisi yang baru dan kematian sudah dapat dipastikan, Imam Husain tetap melihat perlunya untuk memberitahu mereka sehingga seumpamanya ada di antara mereka yang tidak siap menerima kematian syahid, maka hendaknya meninggalkan Imam Husain. Hal ini tidak disalahkan dari segi moral dan mereka dapat memelihara keselamatan nyawanya. Dalam kaitan ini, menjelang tenggelamnya matahari, para sahabat dan pendukungnya berkumpul di kemah dan mengetengahkan persoalan ini di tengah masyarakat.

Imam Sajjad menceritakan kejadian itu sebagai berikut. “Ayahku setelah memuji Allah berkata, “Aku tidak memiliki sahabat yang lebih setia dan lebih baik daripada kalian dan tidak ada Ahlulbait yang lebih baik daripada keluargaku. Allah swt memberikan balasan yang baik kepada kalian. Aku tidak mengira masyarakat akan berbuat seperti ini terhadapku dan tidak menepati janjinya serta meninggalkan kami. Nasib kita akan berakhir dengan perang dan syahid. Kini, aku cabut baiat kalian dari pundak kalian dan kubebaskan kalian sehingga kalian bebas pergi dari pihakku ke mana saja. Janganlah kalian sungkan! Gunakanlah kegelapan malan dan selamatkanlah nyawa kalian dari bahaya!

Di saat itu, pamanku Abbas berdiri dan berkata, “Kami tidak akan pernah melakukan itu dan tidak akan pergi untuk hidup setelahmu? Semoga Allah tidak mendatangkan hari itu untuk kami.” Setelah Abbas, saudara-saudara yang lainnya, anak-anak saudara, serta anak-anak Abdullah bin Ja’far berdiri dan mengulangi ucapan yang seperti tadi.

Saat itu, ayahku berbicara kepada anak-anak Aqil dan berkata, “Syahadah Muslim sudah cukup bagi kalian. Maka, kuijinkan kalian untuk pergi ke mana saja.”

Mereka berkata, “Mahasuci Allah! Bagaimana mungkin kami akan membiarkan Anda sendiri lalu pergi? Kemana kami akan pergi dan apa yang nanti kami dapat katakan? Apakah kami akan mengatakan bahwa kami telah meninggalkan sayyid dan tuan kami serta kami datang tanpa menembakkan tombak ke musuh dan membelanya dengan pedang? Tidak wahai putra Rasulullah! Kami tidak akan pernah melakukan ini tetapi akan tetap bersama Anda dan kami akan mengorbankan nyawa, harta, dan keluarga kami untuk engkau sehingga apa yang menimpamu juga menimpa kami. Betapa buruknya kehidupan setelahmu nanti.” [336]

Setelah itu, tiba giliran ucapan para sahabat Imam, seperti Muslim bin Ausajah yang berdiri dan berkata,  “Wahai putra Rasulullah! Kami tidak akan meninggalkanmu sendirian dan kemana kami akan pergi? Tidak, demi Allah!  Aku tidak akan pergi sebelum menusukkan tombak dan memukul musuh dengan pedangku dan apabila senjataku sudah tidak berfungsi,  aku akan menyerang mereka dengan batu. Wahai putra Rasulullah! Demi Allah!  Aku tidak akan meninggalkanmu dan selalu mendukungmu sehingga Allah mengetahui bahwa di masa ketiadaan Rasulullah saw, kami tetap memelihara kemuliaan dan kehormatan Ahlulbaitnya.  Demi Allah! Kalau aku tahu bahwa dalam membelamu aku nanti terbunuh kemudian badanku dibakar dan debunya kemudian dibawa oleh angin lalu aku kembali hidup dan perbuatan ini diulangi sebanyak  tujuh puluh kali, aku tidak akan melepaskan bantuan untukmu sehingga aku terbunuh di hadapan wajahmu.  Wahai putra Rasulullah! Bagaimana aku dapat meninggalkanmu padahal tahu bahwa aku tidak akan terbunuh lebih daripada satu kali. Setelah itu, aku akan mencapai kemuliaan yang tiada akan berakhir.”

Setelah Muslim bin Ausajah, sekelompok lain dari sahabat berdiri dan tiap-tiap, sesuai gilirannya, menunaikan ucapan seperti  ucapan Muslim dan setelah itu,  Imam Husain mendoakan mereka.”[337]

Dengan cara ini, Imam Husain as di masa yang sangat peka menguji para sahabatnya. Ternyata konsistensi, kesetiaaan, serta resistensi mereka tidak dapat diragukan lagi.

2.   Mendirikan tempat berlindung.

Salah satu risiko dan bahaya yang paling besar dari sebuah pasukan yang sedang berperang adalah ketiadaan tempat berlindung. Oleh karena itulah,  setiap pasukan menjadikan tempat pertempurannya di sisi gunung atau lereng yang tinggi atau ladang kurma atau hutan atau sungai yang lebar agar mereka terpelihara dari serangan musuh yang datang dari belakang dan berperang berhadap-hadapan.  Sayangnya, medan tempur Imam Husain tidaklah demikian karena pasukan Ibn Ziyad mengepung Imam Husain as dan para sahabatnya di sebuah tempat yang jauh dari gunung atau tebing atau ladang kurma sehingga dari segala penjuru mereka dapat diserang.  Berperang di medan seperti itu adalah terlampau sulit.  Untuk menyelesaikan problema ini, Imam Husain as memerintahkan  para sahabatnya  untuk mendirikan kemah yang saling berdekatan dan menyambungkan tali-tali kemah dari dalam. Dengan cara inilah,  terdapat penghalang bagi serangan musuh dari belakang. Selanjutnya,  Imam Husain memerintahkan  untuk menggali parit di belakang kemah dan memenuhinya dengan jerami sehingga tatkala perang dimulai, jerami itu akan dibakar dan menjadi penghalang bagi masuknya musuh dari  belakang.[338]

Di samping itu, usaha menggali khandaq ‘parit’ juga akan menyebabkan terhalangnya musuh  untuk menyerang kemah Imam Husain dan para sahabatnya.

3. Mengorganisasi dan mengatur pasukan

Perang Ibn Ziyad dengan Imam Husain as dari segi tenaga dan fasilitas  adalah suatu perang yang benar-benar tidak seimbang  karena jumlah pasukan Imam Husain as pada umumnya adalah 72 orang atau paling banyak 145 orang. Namun, pasukan Ibn Ziyad ditulis mencapai 22 ribu orang.[339]

Namun ketidakseimbangan ini tidaklah membuat kecut semangat dan ruh Imam Husain as serta para sahabat dan keluarganya. Mereka tiada pernah menyatakan keraguan atau kelemahan, bahkan begitu serius dan bertekad untuk membela diri serta mengatur strategi dan pasukannya.

Zuhair bin Qain menjadi komandan pasukan sebelah kanan sedangkan Habib bin Madzahir menjaga pasukan sebelah kiri.  Saudara Imam, Abbas, diberi tugas sebagai pembawa bender hitam.[340]

Setelah selesainya perkerjaan ini, Imam Husain, para sahabat, serta saudaranya memasuki kemah dan menyibukkan diri dengan mendirikan shalat, membaca al-Quran, memanjatkan doa serta munajat kepada Allah swt.

Imam Husain as dan para sahabatnya tidak tidur di malam Asyura. Suara munajat dan rintihan mereka bagaikan suara tawon yang terdengar di telinga. Mereka larut dalam keadaan rukuk dan sujud serta qiyam dan qu’ud.[341]


Hari Asyura

Pada tanggal 10 Muharram, yang dinamakan Asyura,  tahun 61 Hijriah di bumi Karbala, terjadilah peristiwa yang sangat mengenaskan dan pahit, yang goresannya tidak akan dapat dilupakan hingga selama-lamanya. Di hari itu,  terjadilah peperangan  yang dahsyat  antara pasukan Imam Husain as dan pasukan Umar bin Sa’ad dan disusul oleh peristiwa yang begitu pahit. Imam Husain as, semua  pemuda, serta sahabatnya, kecuali Ali bin Husain yang tengah sakit keras, syahid.  Para ahli sejarah dan arbab maqatil menulis kejadian hari itu dengan sangat terperinci. Mereka menggambarkan peristiwa hari itu dengan teliti.  Bagi setiap syahid di hari itu, dibuatkan satu bab khusus secara terpisah. Tentang bagaimana ia pergi ke medan laga, keberanian serta ketangkasannya, berapa orang yang dibunuhnya, bentuk syahidnya, dan siapakah pembunuhnya telah dijelaskan secara jelas dan terperinci. Kami, di halaman yang ringkas ini, tidak akan menjelaskan peristiwa yang pahit dan menyedihkan tersebut secara terperinci.  Siapa yang berminat dapat merujuknya ke ratusan buku yang ditulis mengenai hal ini. Namun, untuk mengenal esensi perang berdarah di Karbala, kami akan mengadakan perbandingan pendek antara Husain bin Ali dan para sahabatnya, di satu sisi, dengan Yazid, Muawiyah, dan pasukannya di sisi lain.

Perbandingan antara Pimpinan dua Pasukan

Husain bin Ali dan Yazid bin Muawiyah, dari segi keluarga, pola pikir, serta tujuan, adalah tidak sama. Keduanya merupakan dua pribadi yang berbeda dengan dua jenis pemikiran yang sangat berbeda dalam mengejar dua tujuan.  Husain bin Ali adalah seorang manusia mulia, besar, dan beragama. Dari hatinya yang paling dasar, ia meyakini Islam dan nilai-nilainya. Manusia suci dan maksum ini dipenuhi dengan perasaan kemanusiaan yang paling suci sehingga konsisten untuk memeliharanya di semua keadaan.  Rasulullah saw berkali-kali memuji Imam Husain, yang di antaranya adalah sebuah hadis dari Rasulullah berikut ini, “Hasan dan Husain adalah sayyid dan penghulu para pemuda surga.”[342]

Pehatikanlah dua contoh perilaku berikut ini.

Tatkala Imam Husain as dan pasukannya berpapasan dengan pasukan Hur bin Yazid Riyahi dan merasakan bahwa mereka kehausan, Imam Husain memerintahkan  para sahabatnya untuk memberi mereka air, bahkan kepada kuda-kudanya hingga segar. Salah seorang pasukan yang tidak dapat minum dibantu Imam Husain as untuk minum.[343]

Sebaliknya, Ibn Ziyad memerintahkan panglima pasukannya, Umar bin Sa’ad, agar memboikot air terhadap Husain, para sahabat, serta keluarganya dan tidak mengijinkan mereka untuk minum walaupun setetes.[344]

Sebelumnya telah disebutkan bahwa Imam Husain tidak pernah menghendaki perang dan senantiasa berupaya untuk tidak menjadi pencetus perang, bahkan di awal perang, di kala berhadapan dengan Syimir Dzil Jausyan –salah seorang musuh yang paling keji dan menjijikkan– salah seorang sahabat Imam Husain meminta ijin untuk mengarahkan panahnya kepada lelaki bejat itu. Namun, Imam tidak mengijinkannya dan berkata, “Aku tidak ingin menjadi pencetus perang.”[345]

Akan tetapi, Umar bin Sa’ad memerintahkan pasukannya untuk memulai perang dan berkata, “Apa yang kalian tunggu? Mengapa kalian tidak segera memulai perang?”[346] Lantas, Umar bin Sa’ad memerintahkan kepada lima ratus pemanahnya untuk menghujani Husain dan para sahabatnya dengan panah.[347]

Yazid bin Muawiyah adalah seorang yang tidak peduli dan tidak konsisten dengan hukum dan nilai-nilai Islam. Ziyad bin Ubaih yang disuruh Muawiyah untuk memproklamasikan pengangkatan Yazid menulis, “Bagaimana kita dapat mengemukakan khilafah Yazid dan mengambil baiat dari umat sedangkan dia suka bermain dengan kera dan mengenakan pakaian yang berwarna-warni? Ia selalu dalam keadaan mabuk dan tidur dengan lagu dan wanita pelacur.”[348]

Yazid adalah seorang, yang untuk memperkukuh kekuasaan ilegalnya dan mengambil baiat dari Husain bin Ali, menulis kepada walinya di Madinah, “Ambillah baiat dari Husain dan bila membangkang, bunuhlah dia!” [349]

Untuk menjaga keselamatan nyawanya, Imam Husain terpaksa meninggalkan Madinah dan hijrah ke Mekkah. Namun, Yazid memerintahkan beberapa orang untuk meneror dan membunuh Imam Husain as di tanah haram hingga Imam Husain as terpaksa meninggalkan Mekkah dan bergerak menuju Kufah. [350]

Akhirnya, atas perintah Yazid, Husain bin Ali dan para sahabatnya dibunuh di Karbala. Lantas keluarganya ditawan dan digiring ke Syam.  Adalah Yazid yang memerintahkan kepada Muslim bin Aqabah untuk bergerak menuju Madinah bersama dengan lima ribu pasukan dan menghalalkan wanita serta gadis-gadis Madinah selama tiga hari bagi pasukannya. Mereka merampok harta dan melakukan kekejian yang kemudian menjadi lembaran hitam sejarah. Pada akhirnya, mereka mengambil baiat dari masyarakat Madinah untuk menjadi hamba Yazid. [351]

Ayah Husain adalah Ali bin Abi Thalib yang merupakan tokoh Islam kedua, yang sebelumnya telah kami singgung tentang sebagian dari keutamaan dan kesempurnaannya. Ia adalah lelaki pertama yang menerima Islam, padahal di masa itu, ia belum mencapai usia akil balig.  Imam Ali senantiasa mengabdi kepada Islam dan Rasulullah saw.  Ia adalah penulis kalam Allah dan penghafal al-Quran.  Di malam mabit atau yang biasa disebut lailatul-mabit, Ali tidur di pembaringan Rasulullah saw untuk memelihara nyawa Rasulullah dari serangan musuh. Suami Fatimah az-Zahra dan menantu Rasulullah saw ini sangatlah pemberani dan ikut serta dalam semua perang. Banyak sekali pasukan musuh yang terbunuh di tangannya. Ali mempelajari keseluruhan ilmu nubuwwah dari Rasulullah saw dan menyimpan ilmu-ilmu tersebut. Ali dari lubuk hati yang terdalam beriman kepada Tuhan semesta alam dan ia sendiri merupakan manifestasi dari semua kesempurnaan dan nilai Islam.

Sementara itu, ayah Yazid adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibn Abil Hadid menyifati Muawiyah sebagai berikut.

Ia mengenakan pakaian sutera dan makan dengan wadah emas dan perak. Ketika menjawab Abu Darda’ yang bersandar pada hadis Rasulullah mengenai haramnya pakaian sutera dan wadah dari emas dan perak, Muawiyah berkata, “Menurutku itu tidak masalah.” Dari perbuatan dan ucapan seperti itu adalah jelas bahwa sebenarnya Muawiyah menolak pokok nubuwwah.  Dia menjalankan had sesuai dengan keinginannya sendiri sehingga melaksanakan hudud atau menghukum orang-orang yang tidak seharusnya dihukum dan diberlakukan hudud terhadap mereka. Ia malah seringkali tidak melaksanakan hukuman terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan. Ziyad bin Ubaih dengan orientasi politik bergabung dengan Abu Sufyan, padahal Rasulullah saw telah bersabda, “Al-waladu lil firash.” Muawiyah membelanjakan harta baitul-mal seenak perutnya dan menggunakannya untuk keperluan pribadi.  Muawiyah membunuh Hujr bin Udai dan para sahabatnya.  Muawiyah mencaci Abu Dzar Ghaffari, sabahat setia Rasulullah saw, lalu menaikkan Abu Dzar ke sadel unta dan mengirimnya ke Madinah. Ali bin Abi Thalib, Hasan, serta Husain dicacinya di mimbar-mimbar. Putranya Yazid ditunjuknya sebagai wilayah ahdi ‘putra mahkota’ selalu dalam keadaan mabuk serta bermain dengan genderang dan gendang. Yazid pun selalu tidur di antara budak-budak wanita yang bernyanyi.[352]

Kakek Husain bin Ali adalah Muhammad bin Abdillah yang ilmu, keimanan, dan kemuliaan akhlaknya tidak memerlukan penjelasan lagi.  Kakek Yazid adalah Abu Sufyan bin Harb. Abu Sufyan adalah pemuka kaum musyrik yang senantiasa bermusuhan dengan Rasulullah saw dan melakukan gangguan serta penyiksaan terhadap para pengikut Nabi saw.[353]

Dalam perang Badar, Muawiyah memberikan stimulus dan provokasi kepada kaum musyrik untuk memerangi Muslim. Dalam perang inilah, salah seorang dari putranya yang bernama Handzalah tewas terbunuh dan putranya yang lain, yang bernama Umar bin Abi Sufyan, tertawan.[354]

Dalam perang Uhud, musyrikin didorong oleh Muawiyah untuk memerangi Muslimin. Dalam perang inilah, Hamzah bin Abdul Muthalib (Paman Nabi) syahid dan hatinya dihadiahkan kepada Hindun (istri Abu Sufyan). Karena begitu benci dan marahnya, Hindun meletakkan hati Hamzah itu di mulutnya dan mengunyahnya. Ia menghampiri jenazah Hamzah dan kemudian memotong-motong tubuh Hamzah. Dari tubuh Hamzah itu, ia membuat kalung dan bintik-bintik.[355]

Abu Sufyan di akhir perang, yang telah menyebabkan kesyahidan banyak Muslim ini, menampakkan kebahagiaannya dan berkata, “Mahatinggi Hubal! Kami memiliki kemulian yang tidak kalian miliki.”[356]

Abu Sufyan hingga masa Fathul Makkah tetap berada di dalam kekafiran dan memusuhi Rasulullah saw serta umat Islam. Namun, setelah Mekkah dijatuhkan oleh Muslimin, Abu Sufyan –karena takut akan keselamatan nyawanya, secara zahir, menerima Islam.[357]

Dari sejak itulah, meskipun mengaku masuk Islam dan mendapatkan ampunan, bahkan keistimewaan dari Rasulullah saw, –dari beberapa peristiwa sejarah– menjadi jelaslah bahwa Abu Sufyan dari lubuk hatinya tidaklah menerima Islam dan batinnya adalah seorang munafik.

Ibn Abil Hadid menulis,   “Usman, setelah mengambil baiat dari masyarakat, pulang ke rumahnya.  Sejumlah Bani Umayyah berkumpul di rumahnya. Pintu rumah Usman ditutup untuk selain sanak kerabatnya. Abu Sufyan, yang kala itu buta, adalah di antara mereka yang hadir.  Ia menghadap ke hadirin seraya berkata, “Apakah selain dari Bani Umayyah ada orang lain yang hadir di sini?” Mereka berkata, “Tidak.” Abu Sufyan berkata lagi, “Wahai Bani Umayyah! Kini kekuasaan sudah jatuh ke tangan kalian. Maka, kenalilah nilainya dan putarkanlah kekuasaan itu di antara kalian sendiri sebagaimana sebuah bola! Berhati-hatilah jangan sampai diambil orang lain!  Demi sesuatu yang Abu Sufyan bersumpah dengannya, sesungguhnya tiada siksaan, tiada hari perhitungan, tiada surga, tiada neraka, tiada hari kebangkitan, dan juga tiada hari kiamat.”[358]

 

Tujuan para Pemuka Dua Pasukan

Husain bin Ali dan Yazid di dalam perang ini tidaklah memiliki tujuan yang sama.  Mereka memiliki tujuan yang sangat berbeda. Tujuan Imam Husain sudah dijelaskan dalam wasiatnya kepada Muhmmad bin Hanafiah. Tujuan itu ada tiga hal.

1.                  Memperbaiki umat kakeknya, Rasulullah saw.

2.                  Amar makruf nahi munkar

3.                  Menghidupkan sirah Rasulullah saw dan Ali bin Abi Thalib yang telah terlupakan. [359]

Husain bin Ali bermaksud untuk merealisasikan tiga tujuan ini dengan dua kemungkinan: pertama, pembentukan sebuah pemerintahan yang benar-benar berdasarkan Islam apabila telah disiapkannya landasan yang sesuai; kedua, apabila untuk membentuk pemerintahan Islam tidak ada landasan dan keadaannya mengarah kepada pertempuran dan perang, Imam Husain dan para sahabatnya akan bertahan hingga syahadah menjelang di hadapan musuh. Dengan demikian, secara praktik, Imam mengajarkan kepada Muslimin bagaimana cara beragama dan berjihad di jalan Allah untuk membela Islam dan nilai-nilainya.

Selain dari itu, dengan kebangkitannya di hadapan pemerintahan Yazid, Imam hendak membuktikan ilegalitas atau ketidakabsahan pemerintahan tersebut bagi umat Islam karena menampakkan  kejahatan, kezaliman, kekufuran, dan kemunafikan batiniahnya. Imam pula menyiapkan landasan bagi kebangkitan-kebangkitan anti-pemerintahan Bani Umayyah.

Secara kebetulan, kebangkitan Abu Abdillah (Imam Husain), meskipun tidak sukses pada kemungkinan pertama, tetapi, pada kemungkinan kedua, sungguh-sungguh sukses.

Yazid bin Muawiyah dalam perang berdarah ini mengejar dua tujuan sebagai berikut.

Pertama, mengukuhkan landasan-landasan pemerintahannya yang ilegal dengan mengambil baiat atau menundukkan Husain bin Ali, putra Rasulullah saw, dan mengabsahkan pemerintahannya serta melanjutkan kezaliman, kekejian, dan pola hidup hedonisnya.

Ya’qubi menulis, “Yazid bin Muawiyah, sepeninggal ayahnya, menulis kepada penguasa Madinah, Walid bin Atabah, “Begitu engkau menerima suratku, panggillah Husain bin Ali dan Abdullah bin Zubair lalu ambillah baiat dari mereka. Apabila, mereka membangkang dari baiat, leher mereka harus kaupenggal dan kirim kepalanya untukku.” [360]

Kedua, dendam dan ambisi untuk membalas Bani Hasyim, khususnya anak-anak Ali bin Abi Thalib karena, dalam perang Badar, paman Yazid dan beberapa lainnya –dari kepala Quraisy dan sanak keluarga Yazid, seperti Aqabah, Syaibah, Walid, dan Abu Jahal, telah terbunuh.[361]

Meskipun Yazid dan Muawiyah mengaku sebagai Muslim, kebencian dan dendam mereka pada masa jahiliah masih tersimpan dan tertanam di kalbu mereka. Dari situlah, dapat dikatakan, bahwa dalam peristiwa berdarah di Karbala, pembalasan dendam terhadap putra-putra Rasulullah saw merupakan salah satu tujuan Yazid. Dalam kitab sejarah, juga ada bukti-bukti yang menunjukkan kemungkinan ini.

Dituliskan bahwa ketika Ahlulbait Imam Husain as tiba di Syam, para petugas membawa kepala suci Imam ke hadapan Yazid. Dia memerintahkan untuk menghamparkan sufrah makan dan meletakkan kepala itu di atasnya. Dalam keadaan seperti itu, Yazid meminum tuak dan arak bersama para sahabatnya. Kepala Imam Husain diletakkan di dalam sebuah wadah dan mereka bermain catur di atas wadah itu sambil mengolok-olok Imam Husain, ayahnya, serta kakeknya. Adakalanya, ketika menang atas lawannya dalam permainan itu, Yazid langsung meneguk segelas arak dan sisa araknya dituangnya ke sisi wadah itu! Yazid membacakan syair yang isinya, “Betapa indahnya sekiranya para pembesarku di perang Badar kini hadir di sini dan menyaksikan terbunuhnya Husain serta tertawannya keluarganya. Mereka tentu akan bahagia dan pasti akan berkata, “Wahai Yazid! Kami berterimakasih kepadamu. Engkau telah mengambil balas darah keluarga kita yang terbunuh dalam perang Badar dan betapa baiknya engkau melakukan itu.” [362]


Perbandingan antara Pasukan Dua Pihak

Antara para sahabat dan pendukung Imam Husain as dan pasukan Yazid bin Muawiyah, dari segi kepribadian sosial, pola pikir, jenis perilaku, dan tujuan, adalah jauh berbeda. Tiap-tiap pasukan itu menyerupai pemimpin atau imamnya.  Para sahabat Imam Husain bin Ali adalah manusia-manusia yang taat beragama. Mereka beriman dan mencintai keadilan dengan penuh pengorbanan. Mereka pemberani, setia, berkepribadian mulia, objektif, mempunyai harga diri, lembut dalam perangai, dan menghendaki kebaikan untuk orang lain.  Mereka tidak menyertai Imam Husain ke Karbala karena rakus terhadap jabatan, kekayaan, serta kedudukan, melainkan tujuan mereka amatlah suci dan mereka menyertai Imam Husain untuk merealisasikan tujuan suci Imam Husain as.  Mereka berperang demi membela cita-cita suci Imam dengan penuh keberanian, keikhlasan, dan kecenderungan untuk itu. Mereka mempertahankan harim wilayah  dan akhirnya, dengan penuh keinginan,  mereka menjumpai syahadah  dan bertemu dengan Allah.

Bagi tiap-tiap sahabat dan pendukung Imam Husain, dalam kitab sejarah, telah dituliskan noktah-noktah yang sangat menarik dan indah, bahwa martabah keimanan, keikhlasan, dan kesempurnaan akhlak mereka begitu menonjol, sangat edukatif, dan berfaedah. Namun sayangnya, waktu untuk menyebutkan hal itu tidak ada.

Di sini, kami hanya akan menyebutkan beberapa contoh dari itu. Contoh pertama, setelah zuhur, tanggal 9 Asyura, Syimir bin Dzil Jausyan datang ke sisi kemah Imam Husain dan berkata, “Manakah anak-anak lelaki dan saudari perempuan kami?”  Yang dimaksudnya adalah Abbas, Ja’far, Abdullah, Usman, dan anak-anak Ali bin Abi Thalib dari Ummul Banin. Ummul Banin masih mempunyai hubungan keluarga dengan Syimir.

Abbas sebenarnya hendak tidak menghiraukan Syimir tetapi Imam Husain as berkata, “Lihatlah apa yang hendak dia katakan!” Abbas menghampiri Syimir dan berkata, “Apa maksudmu?” Syimir berkata, “Aku membawa jaminan keamanan dari Ubaidillah bin Ziyad untukmu. Engkau aman dan dapat menyelamatkan diri dari kebinasaan ini.”

Abbas dalam jawabannya mengatakan, “Semoga Allah melaknatmu dan surat jaminan keamananmu! Apakah aku aman tetapi putra Rasulullah saw tidak aman?” [363]

Contoh kedua, saat zuhur Asyura dan dalam kecamuk perang, salah seorang sahabat bernama, Abu Tsamamah Shaidawi berkata kepada Imam Husain as, “Jiwaku kukorbankan untukmu! Pihak musuh telah mendekat. Namun, selagi hidup, aku tidak akan membiarkan mereka melukaimu. Aku suka melaksanakan shalat ini dan kemudian menjumpai Tuhan-ku.”

Imam Husain as memandang ke langit dan berkata, “Semoga Allah menjadikanmu di antara orang yang mendirikan shalat. Telah tiba waktu shalat zuhur. Mintalah dari pasukan Ibn Ziyad untuk memberi waktu kepada kita untuk melaksanakan shalat!”

Salah seorang pasukan musuh berkata, “Wahai Husain! Shalatmu tidak diterima!”  Habib bin Madzahir menjawab, “Wahai lelaki kotor! Apakah shalat putra Rasulullah tidak diterima sementara shalatmu diterima?”

Saat itu, Zuhair bin Qain dan Sa’id bin Abdullah menjadikan diri mereka sebagai perisai agar Imam Husain as dapat melaksanakan shalat. Panah datang dari segala penjuru. Sai’id bin Abdullah menyambut panah itu agar tidak mengenai tubuh Imam Husain as. Pada akhirnya, karena banyaknya luka, ia jatuh pingsan dan berkata, “Ya Allah! Sampaikan salamku kepada Rasulullah saw dan beritahukan kepadanya tentang betapa badanku luka dan sakit untuk membela putranya. Ya Allah!  Engkau mengetahui bahwa aku sudah maksimal membela keturunan Rasul-Mu.

Ia mengucapkan itu dan kemudian menemui ajalnya. Tatkala para sahabat mendekati jenazahnya, selain dari luka pedang, tampak tiga belas panah mengenai  tubuhnya.[364]

Para sahabat Yazid juga menyerupainya dan mereka mengejar tujuan-tujuan hina duniawi dan hewani. Mereka merupakan manusia-manusia yang mencintai dunia, mencintai popularitas dan kedudukan, tidak memiliki kepribadian, dan lemah iman sehingga tidak segan-segan melakukan perilaku keji dan kejahatan untuk mencapai tujuan-tujuan hewaninya itu. Mereka mendukung pengukuhan pemerintahan Yazid agar mencapai tujuan duniawinya dan mencapai kedudukan atau jabatan.

Ubaidillah bin Ziyad adalah orang yang gila kedudukan. Sebagai tanda terima kasih karena ditunjuk sebagai wali Kufah oleh Yazid, ia memimpin perang berdarah di Karbala dan melakukan semua kekejian yang tak terperikan itu terhadap keluarga suci Nabi saw.[365]

Ketika memasuki Kufah, Ibn Ziyad mencerai-beraikan masyarakat dari kedekatan dengan Muslim bin Aqil. Ia juga menangkap Muslim dengan menggunakan senjata ancaman dan sogokan.[366] Untuk mendorong dan menekan warga Kufah agar berperang melawan Imam Husain as, Ibn Ziyad memakai cara tersebut.

Umar bin Sa’ad menjadi komandan tertinggi pasukan karena berupaya agar kepemimpinan atau kekuasaannya di Rey tidak terlepas dari tangannya. Untuk itulah, ia bersedia berperang melawan Imam Husain dan melakukan semua kejahatan tersebut. [367]

Kelemahan iman dan kebodohan juga merupakan salah satu faktor dari semua kejahatan mereka.  Lemahnya iman dan kebodohan serta tiadanya kepribadian  yang kukuh dan kerakusan kepada dunia telah membuat pasukan Ibn Ziyad  melakukan berbagai jenis kejahatan, bahkan melakukan kejahatan-kejahatan perang.

Mereka membangun dinding di antara sungai Furat sehingga teriakan kehausan para sahabat, wanita, dan anak-anak Imam Husain as  menggema di situ.

Mereka bahkan tidak segan membunuh anak-anak yang belum balig dan yang masih menyusui. Setelah membunuh Imam Husain, para sahabat, dan keluarganya secara sangat bengis, mereka memenggal kepala-kepala korban mereka dan membagikannya kepada para kepala pasukan agar dapat mengambil hadiah dari Yazid.

Mereka bahkan merampok pakaian orang-orang yang terbunuh meski pakaian itu murah. Mereka merampok kemah-kemah Imam Husain, bahkan tidak malu untuk merobek telinga anak-anak gadis guna mengambil anting-anting yang melekat pada telinga mereka.  Mereka juga membakar kemah-kemah. Mereka menanam dan menguburkan jasad-jasad pasukan mereka sendiri sementara tubuh para sahabat Imam Husain as dibiarkan begitu saja tergeletak di atas tanah tanpa kafan hingga mereka keluar dari negeri itu, padahal mengafani dan menguburkan sesama Muslim adalah wajib.

Mereka menyandera serta menawan keluarga dan anak-anak syuhada lalu menggiring manusia-manusia mulia itu laksana para tawanan perang dari Karbala menuju Kufah. Di jalan-jalan dan di majelis Ibn Ziyad, mereka menghina para tawanan itu. sepanjang perjalanan dari Kufah menuju Syam, para tawanan itu dipertunjukkan kepada penduduk kota-kota dan desa-desa yang dilewati. Manakala memasuki kota Syam, mereka menghiasi kota dengan lampu-lampu sebagai tanda kemenangan dan mereka membawa keliling Ahlulbait Nabi saw di jalan-jalan Syam. Kemudian mereka memasuki majelis umum Yazid dan di situlah para tawanan itu diperlakukan sangat hina dan direndahkan.

Yang menakjubkan adalah kejahatan-kejahatan perang itu keluar dari orang-orang yang menganggap dirinya sebagai Muslim dan pengikut Rasulullah saw, kakek para syuhada dan Ahlulbait.

Tujuan-Tujuan Imam Husain as dan Metode Penindak Lanjutan

Untuk mengenali dengan baik tujuan Imam Husain as dalam kebangkitan Karbala, sebaiknya kita merujuk kepada ucapan Imam sendiri. Ditulis bahwa tatkala keluar dari Madinah, dalam surat wasiatnya kepada Muhammad bin Hanafiah, Imam menulis,

انی لم اخرج ا شرا و لا بطرا و لا مفسدا و لا ظا لما و انما خرجت لطلب الا صلا ح فی امتی جدی ارید ان ا مر با لمعروف و انهی عن المنکر و اسیر بسیره جدی  و ابی علی ابن ابی طا لب. [368]

“Sesungguhnya aku tidak keluar untuk melakukan kejahatan, kesombongan, kerusakan, dan kezaliman tetapi sesungguhnya aku keluar untuk melakukan perbaikan terhadap umat kakekku dan melakukan amar makruf nahi munkar sementara aku berjalan pada sirah kakekku dan ayahku, Ali bin Abi Thalib.”

Dalam pembicaraan ini, Imam Husain as menyebutkan tiga hal sebagai tujuan: memperbaiki urusan Muslimin, amar makruf nahi munkar, dan menghidupkan sirah atau sunnah kakeknya, Rasulullah saw, dan ayahandanya, Ali bin Abi Thalib as.[369]

Dengan sedikit ketelitian, maka dapat dikatakan, bahwa tujuan yang terpenting Imam Husain adalah ishlah atau memperbaiki umat yang telah melupakan sirah Rasulullah saw. Dalam berbagai dimensi, baik ibadah, sosial, akhlak, politik, maupun ekonomi mereka telah menyeleweng. Imam Husain berniat menunaikan amal yang penting ini melalui amar makruf dan nahi munkar di semua aspek.  Dari itulah, pergerakan Imam Husain as dapat dikenal sebagai suatu gerakan protes dan reformasi yang dilakukan dalam bingkai amar makruf nahi munkar di berbagai aspek dan sesuai dengan tuntutan zaman serta tempat.

Langkah pertama yang diambil oleh Imam Husain as adalah berhijrah dari Madinah. Setelah kematian Muawiyah, Yazid, anaknya, menulis surat kepada Walid, wali Madinah, bahwa Husain bin Ali harus bersedia membaiatnya. Jika Husain membangkang, hendaknya ia dibunuh. Namun, Imam Husain memandang bahwa pemerintahan Yazid tidaklah sah dan melanggar syariat. Maka, Imam tidak bersedia memberikan baiat. Sebagai protes dan pernyataan tidak percayanya, Imam bergerak dari Madinah menuju Mekkah.  Perbuatan ini adalah sejenis nahi munkar.

Langkah kedua adalah berdiam di Makkah. Imam Husain berniat untuk menetap di Makkah. Sebagai protes, secara praktik, ketika keadaan memungkinkan, Imam berpidato di hadapan Muslimin dari berbagai negeri yang membanjiri Mekkah untuk menunaikan haji. Di hadapan mereka itulah, Imam Husain menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap pemerintahan Yazid. Ini merupakan suatu jenis amar makruf nahi munkar.

Namun di Mekkah, terjadi dua peristiwa baru yang dapat mempengaruhi  kehendak beliau. Pertama, di masa pemberhentian Imam Husain di Makkah, orang-orang Syiah Kufah mengetahui ketidaksedian Imam Husain untuk membaiat Yazid dan keberangkatannya ke Makkah. Maka, dalam surat yang jumlahnya banyak,  mereka mengundang Imam Husain as ke Kufah. Kedua, Imam Husain as mengetahui bahwa Yazid memerintahkan beberapa orang untuk meneror dan membunuhnya secara sembunyi-sembunyi.

Langkah ketiga adalah bergerak menuju Kufah.  Adanya dua peristiwa tersebut telah mengubah kondisi yang berlaku. Dari satu sisi, Imam tidak dapat tetap tinggal di Mekkah  karena  apabila Imam terbunuh, kesucian tanah haram sudah tercemari dan darahnya tumpah dengan sia sia. Dari sisi lain, orang orang Syiah Kufah telah mengundangnya. Maka, tidak ada alasan untuk tidak menerima undangan mereka.

Oleh karena itulah, Imam Husain merasa bertanggung jawab sehingga harus bergerak menuju Kufah dan melanjutkan gerakan-gerakan protesnya.  Dalam kondisi demikian,  untuk menjaga kehati-hatian,  Imam melakukan beberapa hal: pertama,  Imam mengutus Muslim bin Aqil dengan membawa surat yang ditulisnya ke Kufah  dan untuk menyaksikan keadaan Kufah dari dekat. Kemudian Muslim diminta untuk melaporkannya.  Tak lama kemudian, Imam Husain menerima surat dari Muslim yang menyatakan bahwa banyak masyarakat Kufah yang membaiatnya dan menantikan kedatangan Imam.

Imam Husain as merasakan bahwa dia harus berangkat menuju Irak karena, di satu sisi, dapat melanjutkan gerakan protesnya dan, di sisi lain, surat-surat warga Kufah dan laporan Muslim menunjukkan, bahwa landasan bagi pemerintahan Islam, yang tanpa penggunaan perang dan pertumpahan darah dengan dukungan ribuan masyarakat Syiah, akan terwujud. Sebagai akibatnya, Imam dapat menghidupkan sirah dan sunnah kakeknya melalui pembentukan pemerintahan Islam dan memperbaiki kondisi Muslimin. Ini adalah martabah atau ‘peringkat’ amar makruf nahi munkar yang tertinggi.

Namun, apabila warga Kufah tidak menunaikan janji-janjinya atau jika di jalan suci ini datang kesulitan lainnya –yang disesuaikan dengan tuntutan zaman dan tempat, Imam akan melaksanakan kewajiban barunya yang pada akhirnya tetap melanjutkan posisinya sebagai penentang.

Imam Husain as mengganti haji dengan umrah mufradah dan berangkat menuju Kufah. Langkah keempat, setelah mengetahui berita syahidnya Muslim, di Tsa’labiyah, Imam Husain dihadapkan pada kondisi dan situasi baru. Dalam tahap ini, Imam harus memutuskan sesuai dengan kondisi yang baru itu. Pertama yang Imam lakukan adalah mengetengahkan peristiwa syahidnya Muslim, tanpa menutup-nutupi, kepada para sahabatnya dan meminta pendapat mereka.

Anak-anak Aqil berkata, “Kami akan menuntut balas darah Muslim atau terbunuh di jalan yang sama.

Imam Husain as berkata, “Setelah syahidnya Muslim dan Hani, kehidupan tiada bernilai lagi.”

Sejumlah sahabat berkata, “Wahai putra Rasulullah saw! Demi Allah! Engkau tidak seperti Muslim. Ketika engkau memasuki Kufah, orang-orang Syiah yang mengundangmu sudah pasti akan menyambutmu dan mendukungmu.”

Dalam kondisi dan situasi yang baru ini, Imam Husain dihadapkan pada dua jalan: melanjutkan gerakannya menuju Kufah atau menggagalkan niatnya untuk pergi ke Kufah dan berangkat ke negeri lain. Selanjutnya di sana, Imam akan menunaikan tugasnya sesuai dengan kondisi yang akan terwujud.

Imam mendahulukan jalan yang pertama karena beberapa hal: pertama, Imam berputus asa dari dukungan masyarakat Kufah sementara para sahabat dan keluarganya juga masih mendukung kemungkinan ini; kedua, Imam berpikir bahwa apabila warga Kufah tidak melaksanakan tugasnya,  di sana akan bisa lebih baik menunaikan tugas sesuai dengan kondisi dan situasi baru serta melanjutkan gerakan protesnya. Oleh karena itulah, Imam memutuskan untuk berangkat menuju Kufah.

Di sini, Imam Husain melihat perlunya melaksanakan pekerjaan lain, yakni melihat apakah ada di antara para sahabat dan pendukungnya, seseorang atau sejumlah orang yang tidak suka untuk ikut serta dalam perjalanan yang berbahaya ini. Oleh karenanya, Imam berkata kepada para sahabatnya, “Sebagaimana kalian dengar sendiri bahwa Muslim telah syahid dan kondisi Kufah berubah menjadi berbahaya.  Alhasil, aku berniat untuk pergi ke Kufah. Kini, aku akan melepaskan baiatku dari kalian. Maka, barangsiapa yang menginginkan dapat berpisah atau meninggalkanku lalu pergi ke mana saja ia suka.”

Beberapa orang sahabat Imam memutuskan untuk pergi sementara kafilah Imam terus berangkat ke Kufah.

Langkah kelima, Imam bertemu dengan pasukan Hur. Program Imam Husain as adalah secepat mungkin dapat tiba di Kufah. Namun sebelum tiba di Kufah, mereka bertemu dengan pasukan Hur yang menutup jalan Imam Husain as.  Imam berkata kepada Hur, “Warga Kufah mengundangku kemari. Apabila mereka menyesalinya, aku bersedia untuk kembali ke Hijaz atau ke negeri lain.”

Hur menjawab, “Aku tidak mengetahui perihal undangan itu. Aku diperintahkan untuk menangkapmu dan membawamu ke Ibn Ziyad di Kufah agar ia memutuskan nasibmu.”

Keadaannya berubah. Maka, apabila Imam Husain menyerah di hadapan Ibn Ziyad, akibatnya tiada lain adalah kehinaan dan kerendahan atau pengakuan akan kepengecutan diri sendiri. Oleh karena itu, Imam Husain as tidak bisa menerima perkara seperti ini. Maka, Imam mengubah jalur perjalanannya. Daripada menuju Kufah, Imam lebih memilih pergi ke tempat lain untuk menyelamatkan diri dari jalan buntu ini dan melanjutkan gerakan protesnya di tempat lain.

Langkah keenam, Imam tiba di bumi Karbala. Kafilah Imam Husain as sedang bergerak dan pasukan Hur menyertai mereka dengan tanpa kekerasan hingga tiba di bumi Karbala.  Di saat itulah, datang surat dari Ibn Ziyad kepada Hur yang isinya agar Husain dan kafilahnya dihentikan  di situ serta mencegah mereka melanjutkan perjalanan.

Dengan sampainya instruksi itu, kondisi seratus persen berubah dan Imam menemukan suatu keadaan baru. Imam tidak lagi dapat pergi ke Kufah dan juga ke tempat lain. Kembali Imam berada di dua persimpangan jalan: pertama menyerah kepada Ibn Ziyad dan menerima kehinaan agar bisa hidup selama beberapa tahun atau bertahan melawan musuh dan memilih mati mulia ketimbang hidup menanggung kehinaan.

Imam Husain as dalam kondisi yang peka dan berbahaya seperti itu tidak bersedia menyerah dan berpaling dari keteguhan sikapnya.  Imam memilih berperang dengan mulia sampai menemui syahadah sehingga dengan perbuatannya itu, Imam akan menunjukkan kepada umat Islam sebuah pelajaran kemerdekaan dan menggoyahkan tonggak-tonggak pemerintahan Bani Umayyah yang batil. Inilah peringkat amar makruf nahi munkar yang tertinggi.

 

[289] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 200 –201; Kasyful Ghummah, jilid 2, hal. 216-252; A’lamul Wara, jilid 1, hal. 420; Mathalibus Su’ul, jilid 2, hal. 49, 51, 69, dan 70.
[290] Istbatul Huda jilid 5, hal. 134-171.
[291] Ibid, jilid 5, hal. 169; Biharul Anwar,  jilid 44, hal. 174.
[292] Ibid, jilid 44, hal. 173.
[293] Istbatul Huda, jilid 5, hal. 174.
[294] Istbatul Huda jilid 5, hal. 170.
[295] Ibid,  jilid 5, hal. 170.
[296] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 297.  قال رسول الله من ا حب ان ینظر الی احب اهل الارض و السما ء فلینظر الی الحسین
[297] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 316 –حذیفه عن النبی قال الحسین اغطی من الفضل ما لم یعط  احد من و لد ا دم ما خلا یو سف بن یعقوب.
[298][298] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 262  حذیفه بن الیمان قال ر ایت النبی اخدا بید الحسین بن علی و هو یقول یا ایها الناس ! هذا الحسین  بن علی  فاعرفوه  فو الذی نفسی بیده ! انه لفی الجنه و محبی محبیه  فی الجنه .
[299]  Ibid,  jilid 43, hal. 316   ا بن عمر عن النبی  قا ل ا لحسن و الحسین هما ریحا نی من الدنیا
[300]  Biharul Anwar, jilid 43, hal. 264   قا ل رسول الله  الحسن و الحسین  سیا  شبا ب اهل الجنه  و ابو هما خیر منها
[301] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 192  و من زهده انه قیل له  ما اعظم خوفک من ربک ؟ قا ل لا یا من یوم القیامه الا من خاف الله فی الدنیا.
[302] Ibid,  jilid 44, hal. 193.  قا ل عبد الله بن عبید  لقد حج الحسین  بن علی  خمسه و عشرین حجه  ماشیا و ان النجا ئب لتقاد معه
[303] Ibid, jilid 44, hal. 196,  قیل لعلی ابن  الحسین  ما اقل و لد ابیک ؟ فقا ل العجب کیف و لدت؟  کان یصلی فی الیوم و الیلیه الف رکعه
[304] Biharul Anwar,  jilid 43, hal. 276.
[305] Ibid, jilid  44, hal. 190.
[306] Biharul Anwar,  jilid 44, hal. 194.
[307] QS. an-Nisa: 86.
[308] Ibid, jilid 44, hal. 195.
[309] Ibid, jilid 44, hal. 195.
[310]  Biharul Anwar, jilid 44, hal. 194.
[311] Usudul Ghabah, jilid 4, hal. 387; al-Irsyad, jilid 2, hal. 32.
[312] Bihar anwar jil 44 326   انا لله و انا الیه راجعون! اذ قد بلیت الامه یراع مثل یزید و لقد سمعت جدی ر سول ا لله  یقول الخلافه محرمه غلی ال ابی سفیان
[313]  Bihar anwar jil 44 hal 329.  یا اخی! و الله لو لم یکن ملجا و لا ما وی لما با یغت یزید بن معاویه.
[314]  Biharul Anwar, jilid 44, hal. 329.  بسم الله الرحمن الرحیم هذا ما اوصی به الحسین  بن علی  ابن ابی طالب  الی اخیه  محمد بن حنفیه  ان الحسین  یشهد  ان لا اله الا لله و حده لا شریک له و ان محمد عبده و رسوله جا ء با  لحق من عند الحق. وان الجنه و النار حق و ان الساعه اتییه لا ریب فیها و ان الله یبغث من فی القبور و انی لم اخرج اشرا و لا بطرا و لا مفسدا و لا ظالما و انما خرجت لطلب  الا صلاح فی امه جدی  ارید ان امر با لمعروف و انهی  عن المنکر و اسیر  بسیره  جدی و ابی علی ابن ابی  طا لب  فمن قبلنی بقبول الحق فا الله اولی با لحق و من رد علی ا صبر حتی یقضی الله  بینی و بین القوم با لحق و هو خیر  الحاکمین  و هذا و صیتی  یا اخی! الیک و ما تو فیقی  الا با لله علیه تو کلت و الیه انیب.
[315] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 329.
[316] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 334.
[317] Ibid,  jilid 44, hal. 337.
[318] Bihar anwar  jil 44 hal 248.
[319] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 350-363.
[320] Ibid,  jilid 44, hal. 363.
[321] Ibid, jilid 44, hal. 363.
[322] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 367. من کان فینا با ذلا مهجته مو طنا علی لقا ء لله نفسه فلیرحل معنا فا نی راحل مصبحا ان شا ء الله .
[323] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 364.
[324] Ibid, jilid 44, hal. 366.
[325] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 373.
[326] Ibid jil 44 hal 369.
[327] Bihar anwar jil 44 hal 376-381.
[328] Bihar anwar jil 44 hal 381.  فقا م الحسین  خطیبا فی  اصحابه فحمد الله و اثنی علیه ثم قال انه قد نزل من الامر ما قد ترون و ان الدنیا تغیرت و تنکرت  و اد بر معروفها و لم یبق منها الا صبابه  کصبابه الا ناء و خسیس عیش کا لمرعی الو بیل ! الا ترون الی الحق لا یعمل به و الی البا طل لا یتناهی  عنه؟  لیر غب  المو من فی لقاء ربه حقا حقا! فا نی لا اری الموت الا سعاده و لا الحیاه مع الظا لمین الا برما.

[329] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 381.  بسم الله الرحمن الرحیم من الحسین  بن علی الی سلیمان بن صرد  و المسیب بن نجبه و رفا عه بن شداد  و عبد الله  بن وا ئل  و جما عه المو منین اما بعد  فقد علمتم ان رسول الله  قد قا ل فی حیا ته من رآی سلطانا جا ئرا مستحلا لحرم الله نا کثا لعهد الله مخا لفا لسنته رسو ل الله  یعمل فی عباد الله با لا ثم و العدوان  ثم لم یغیر  بقول و لا فعل  کان حقا  علی الله  ان ید خله مد خله  و قد علمتم ان هو لا ء القوم قد لزمو ا طا عه الشیطان و تو لو ا عن  طا عه الرحمن  و اظهروا الفساد و عطلو الحدود  و استا ثروا با لفیء و احلو ا حرا م الل و حرمو ا حلا له و انی ا حق بهذا الا مر لقرابتی من رسو ل الله . و قد  اتتنی کتبکم و قد مت علی  رسلکم بیعتکم و انکم لا تسلمونی  و لا تخدلو نی  فان و فیتم  لی بیعتکم  فقد ا صبتم حظکم و رشدکم  و نفسی  مع انفسکم  و اهلی  و ولدی مع اها لیکم و او لا دکم  فلکم  بی اسوه و ان لم تفعلو  و نقضتم  عهو دکم  و خلعتم بیعتکم  فلعهدی ما هی منکم بنکر لقد فعلتمو ها  با بی و اخی  و ا بن عمی  و المغرور من اغتر بکم فحظکم  اخطآ تم و نصیبکم ضیعتم و من نکث فا نما ینکث علی نفسه و سیغنی الله عنکم  و السلام .

[330] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 385-386.
[331] Ibid, jilid 44, hal. 384.
[332] Bihar anwar jil 44 hal 388.
[333] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 389-390.
[334] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 491.
[335] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 392.
[336] Biharul Anwar,  jilid 44, hal. 392.
[337] Bihar anwar jil 44 hal 393.
[338] Biharul Anwar,  jilid 45, hal. 3-4.
[339] Biharul Anwar, jilid 45, hal 4.
[340] Biharul Anwar, jilid 45, hal. 394.
[341] Ibid, jilid 45, hal. 394.
[342] Biharul Anwar, jilid 43, hal. 263.
[343] Ibid, jilid 44, hal. 376.
[344] Ibid, jilid 44, hal. 389.
[345] Ibid,  jilid 45, hal. 5.
[346]  Ibid, jilid 45, hal. 10.
[347] Ibid, jilid 45, hal. 20.
[348] Tarikh Ya’qubi, jilid 2, hal. 220.
[349] Tarikh Ya’qubi,  jilid 2, hal. 241.
[350] Ibid,  jilid 2, hal. 249.
[351] Ibid,  jilid 2, hal. 250.
[352] Syarah Nahjul Balaghah,  Ibn Abil Hadid, jilid 5, hal. 129-131.
[353]  Ansabul Asyraf, jilid 1, hal. 116.
[354]  Ansabul asyraf jil 1 hal 297-301.
[355] Ibid jil 1 hal 312- 322.
[356]Ibid  jil 1 hal 297-301.
[357] Ibid jil 1 hal 355-361.
[358] Syarah Nahjul balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 9, hal. 53.
[359] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 329.
[360] Tarikh Ya’qubi, jilid 2, hal. 241.
[361] Biharul Anwar, jilid 45, hal. 167.
[362] Ibid, jilid 45, hal. 176.
[363] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 391.
[364] Ibid, jilid 44, hal. 391.
[365] Biharul Anwar, jilid 44, hal. 337.
[366] Ibid, jilid 44, hal. 340-341.
[367] Ibid, jilid 44, hal. 340-341.
[368]  Biharul Anwar, jilid 44, hal. 329.
[369] Ibid, jilid 44, hal. 329.