پایگاه اطلاع رسانی آیت الله ابراهیم امینی قدس سره

BAB V: TAKLIF DAN HUKUM-HUKUM ISLAM

BAB V
TAKLIF DAN HUKUM-HUKUM ISLAM

 

Manusia membutuhkan undang-undang dalam kehidupan sosial, pekerjaan, kepemilikan, transaksi, pernikahan dan hubungan keluarga, keamanan sosial, hak kemasyarakatan tiap individu, mencegah benturan antar anggota masyarakat dan menghukum para pelaku kriminal.

Ia juga membutuhkan bimbingan Sang Pencipta dalam kehidupan ruhani, cara berhubungan dengan-Nya, ritual penyembahan terhadap-Nya, mengetahui faktor-faktor kebahagiaan dan kesengsaraan, mengenal akhlak terpuji dan tercela serta metode penyucian jiwanya.

Mengingat bahwa Allah mengetahui rahasia dan keajaiban tubuh dan ruh manusia serta kebutuhan-kebutuhannya, Dia menciptakan hukum dan undang-undang yang diperlukan, lalu mengutus para nabi as untuk menyampaikannya kepada manusia. Allah juga merancang program yang menjamin kebahagiaan ruhani dan ukhrawi manusia. Semua program yang berasal dari Allah dan diperuntukkan bagi manusia berupa hukum (undang-undang) atau perintah dan larangan.

Hukum-hukum Islam sangat bervariasi dan dikaji secara mendalam dalam buku hadis, fikih, tafsir dan akhlak. Di sini kita cukup menyebutkan klasifikasi yang dilakukan dalam hukum-hukum:


Hukum-hukum Taklifi dan Wadh`i

Hukum-hukum Islam dibagi menjadi dua bagian: takîifi dan wadh`i.


Hukum Taklîfi

Wajib, haram, mustahab, makruh dan mubah adalah lima bagian hukum-hukum taklifi. Berikut ini kami akan menjelaskan maksud masing-masing bagian hukum taklifi ini:

Wajib: Seorang mukallaf harus melaksanakannya dan bila meninggalaknnya, ia dianggap berdosa dan patut dihukum.

Haram: Seorang mukallaf harus meninggalkannya dan bila melakukannya, ia berdosa dan mendapat hukuman.

Mustahab: Disarankan untuk melakukannya dan akan mendapat pahala, namun meninggalkannya tidak menyebabkan dosa.

Makruh: Melakukannya dibenci Allah, namun tidak akan menyebabkan dosa dan hukuman.

Mubah: Melakukan atau meninggalkannya sama dalam pandangan Allah.

Hukum-hukum di atas disebut taklifi karena dibebankan di atas pundak manusia dalam bentuk perintah dan larangan.


Hukum Wadh`i

Hukum-hukum seperti perkawinan, kepemilikan, kebebasan, perwakilan, perwalian, validitas (hujjiyah), keabsahan dan kebatalan (buthlan) disebut hukum-hukum wadh`i. Hukum-hukum ini tidak berupa perintah atau tugas, namun hal-hal yang diletakkan oleh Allah dan memiliki efek-efek khas. [196]


Hukum-hukum Ta`abbudi dan Tawashshuli
Hukum Ta`abbudi

Setiap amalan yang syarat sahnya adalah ikhlas dan niat mendekatkan diri kepada Allah, disebut dengan ta`abbudi, baik wajib atau mustahab. Amalan-amalan wajib ta`abbudi seperti: shalat wajib, puasa wajib, mandi janabah, wudhu dan tayamum untuk shalat wajib, thawaf wajib, haji wajib, zakat dan khums.

Amalan-amalan mustahab ta`abbudi semisal: shalat mustahab, wudhu dan mandi mustahab, menziarahi makam Nabi saw dan para Imam  as dan lain-lain.

Ikhlas dan niat qurbah diharuskan dalam semua amalan di atas. Bila dilakukan dengan niat riya` atau pamer, maka amalan itu batal dan harus diulangi.


Hukum Tawashshuli

Setiap amalan yang dilakukan demi amalan lain dan niat qurbah tidak disyaratkan untuknya, disebut dengan tawashshuli yang dibagi menjadi dua:wajib dan mustahab.

Wajib tawashshuli seperti: jihad di jalan Allah, membela Islam dan negara-negara Islam, membela orang tertindas, amar makruf, nahi mungkar, menepati janji, mengkafani dan menguburkan jenazah, melunasi hutang, menafkahi keluarga, menjawab salam dan menyelamatkan jiwa orang Muslim.

Hal-hal di atas bila dilakukan dengan niat qurbah akan mendapat pahala dan bila tidak, tiada pahala baginya.

Mustahab tawashshuli: Pada dasarnya Islam menghimbau hal-hal semacam ini, walau tidak dilakukan dengan niat qurbah. Namun, bila dilakukan dengan niat qurbah, pelakunya akan memperoleh pahala. Sebagian dari hal-hal ini adalah:

Tolong menolong dalam kebaikan, berbakti kepada orang tua, menolong orang-orang papa, menghormati guru, menyayangi kanak-kanak, memuliakan orang berusia lanjut, silaturahmi, melayani masyarakat, berusaha mengatasi problem masyarakat, memenuhi hajat Muslim, menghormati tamu, berperangai baik dengan orang lain, menggembirakan orang mukmin, menjenguk orang sakit, mengunjungi sesama Muslim, belajar dan mengajar, menghibur anak yatim, bersikap baik kepada keluarga dan mengantar jenazah orang Muslim.


Wajib `Aini dan Kifai

Wajib juga dibagi menjadi dua bagian lain: `aini dan kifai.

Wajib `aini: Amalan yang diwajibkan atas per-individu, sehingga bila salah seorang sudah melakukannya, yang lain masih berkewajiban melakukannya. Wajib `aini seperti shalat, puasa, haji, zakat dan khums.

Wajib kifai: Amalan yang diminta dari beberapa orang untuk dilakukan. Bila salah seorang sudah melakukannya, kewajibannya gugur dari orang-orang lain. Namun, bila tidak  ada yang melakukannya sama sekali, semua berdosa dan dihukum. Wajib kifai semisal mengkafani dan mengubur jenazah, berjihad di jalan Allah, membela Islam, amr makruf dan nahi mungkar, berprofesi dengan yang dibutuhkan masyarakat seperti dokter, hakim, petani, pedagang dan lain-lain.

Sebab itu, bila satu atau beberapa orang sudah memenuhi apa yang dibutuhkan, maka kewajiban orang-orang lain akan gugur. Bila mereka semua meninggalkannya atau pelakunya tidak memenuhi standar yang dibutuhkan, semua dianggap berdosa dan mendapat hukuman.


Wajib Ta`yini dan Takhyiri

Wujub, menurut sebuah kriteria lain, dibagi menjadi:

Wajib ta`yini: Amalan tertentu yang diwajibkan atas seorang mukallaf atau lebih dan ia tidak boleh melakukan amalan lain, seperti shalat, puasa, haji dan semacamnya.

Wajib takhyiri: Seorang mukallaf diminta melakukan satu dari dua amalan atau lebih. Contohnya, kafarah membatalkan puasa di bulan Ramadhan yang pelakunya harus memilih salah satu di antara tiga hal ini, yaitu membebaskan budak, memberi makan enam puluh orang miskin atau berpuasa enam puluh hari.


Hal-hal yang Diharamkan (muharramat)

Dalam Islam, sebagian pekerjaan dianggap haram dan pelakunya diancam dengan siksa dan azab Allah, misalnya: membunuh manusia tak berdosa, zina, homoseksual, kezaliman, merampas, mencuri, menggunakan harta orang lain tanpa ijin, minum khamr, menerima dan memberi riba, makan daging hewan yang diharamkan, makan bangkai (hewan yang tidak disembelih dengan cara Islami), melihat wanita non-muhrim, menuduh, menggunjing, mencari aib orang lain, menerima dan memberi suap, makan makanan najis, melarikan diri dari jihad wajib, meninggalkan kewajiban dan lain sebagainya.

Pekerjaan-pekerjaan di atas dianggap haram dalam Islam dan seorang Muslim harus menjauhinya.


Hukum-hukum Lain

Hukum-hukum Islam tidak terbatas dalam ibadah dan muharramat, namun sangat luas dan mencakup semua aspek individu dan sosial. Berikut kami menyebutkan sebagian tema-tema general hukum-hukum Islam:


Benda-benda Najis dan Hal-hal yang Mensucikan

Islam mengatakan, ada sebelas benda najis dan setiap Muslim diminta untuk menjauhinya. Benda-benda najis itu adalah: air seni, kotoran hewan yang haram dimakan (termasuk kotoran manusia), mani, bangkai, darah, anjing dan babi darat, hal yang memabukkan, air gandum (yang diproses dengan cara tertentu), orang kafir dan keringat hewan pemakan najis.

Hal-hal yang menyucikan ada sebelas dan yang paling utama adalah air. Di sini tidak ada tempat untuk memerinci semuanya. Sebab itu, para pembaca disarankan merujuk kepada buku fikih dan risalah amaliyah.


Transaksi (muamalat)

Hukum-hukum tentang transaksi dalam Islam juga sangat luas. Sebagiannya adalah: mata pencaharian (makasib), jual-beli, macam khiyar, riba, haq asy-syuf`ah, sewa-menyewa, ju`alah, pinjam-meminjam, titipan, jaminan, hawalah, hutang-piutang, mudharabah, muzara`ah, perwakilan, wakaf, hibah, warisan, wasiat, kepemilikan, temuan dan lain sebagainya.


Hukum-hukum Keluarga

Sehubungan dengan masalah-masalah kekeluargaan, Islam juga meletakkan hukum-hukum mendetil yang sebagian darinya akan kami singgung di sini:

Nikah, mahar, hak timbal balik suami-istri, susuan, hukum anak, nafkah, pembangkangan istri kepada suami, iddah talak dan wafat dan lain sebagainya.


Hukum-hukum Pemerintahan

Islam juga memiliki hukum-hukum yang luas seputar masalah pemerintahan dan kenegaraan. Berikut  adalah sebagian dari hukum-hukum tersebut:

Konsep kepemimpinan dan pemerintahan Islam serta dalil-dalil legalitasnya, metode pemerintahan Islami, syarat-syarat pemimpin (penguasa), otoritas penguasa, tugas penguasa, metode pemilihan pemimpin, tugas para pegawai pemerintahan Islam, anggaran pemerintahan, pajak, zakat, khums, jihad, pengadilan, qishash, had, diyah dan lain-lain.

 


Sumber-Sumber Hukum

Sumber (manba`) hukum adalah sebutan bagi sesuatu yang hukum dan ilmu-ilmu Islam diambil darinya. Sumber-sumber hukum ini ada empat: al-Quran, Sunnah Nabi saw, hadis dan sirah para Imam as dan akal.


Al-Quran; Sumber Hukum Pertama

Al-Quran adalah sumber ilmu dan pengetahuan Islam yang terpenting dan paling utama, karena setiap Muslim yakin bahwa ia diturunkan Allah kepada Nabi saw dan tidak ada suatu penyimpangan di dalamnya. Keistimewaan ini semacam ini tidak dimiliki kitab-kitab samawi lainnya.

Keunggulan kata, konsep dan makna al-Quran juga merupakan perkara yang gamblang. Meski validitas (hujjiyah) makna lahir (zhawâhir) al-Quran masih diperdebatkan, namun (sebenarnya) tidak perlu diperdebatkan atau dibahas, karena:

Pertama, al-Quran adalah sebuah program kehidupan dan kitab amal yang diturunkan dengan ungkapan-ungkapan sederhana, fasih dan bisa dipahami banyak kalangan.

Kedua, Muslimin pada masa-masa awal Islam, telah memahami tugas mereka dengan mendengar ayat-ayat al-Quran dan melaksanakannya tanpa ragu sedikitpun. Nabi saw dalam dakwahnya juga membacakan al-Quran kepada orang-orang dan berdalil dengannya.

Ketiga, al-Quran sendiri menyeru manusia untuk merenungi ayat-ayatnya dan meminta mereka memanfaatkannya dalam kehidupan mereka. Bila makna lahir al-Quran tidak valid (hujjah), seruan untuk merenungi ayat-ayat al-Quran akan sia-sia.

Sebab itu, validitas makna lahir al-Quran tidak layak diragukan sama sekali hingga harus beradu argumentasi untuk membuktikannya. Kita bisa berdalil dengan sebagian ayat-ayat al-Quran untuk membuktikan validitas makna lahir al-Quran:

Allah berfirman, Al-Quran ini membimbing (manusia) menuju jalan yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang melakukan amal saleh bahwa mereka akan mendapatkan pahala besar. [197]

(Al-Quran) adalah kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan dengan gamblang, sebagai bacaan dalam bahasa Arab yang dipahami orang-orang. [198]

Wahai Ahlulkitab! Utusan Kami telah datang kepada kalian untuk menjelaskan banyak hal dari kitab Allah yang kalian sembunyikan dan memaafkan orang banyak. Juga telah datang cahaya dan kitab yang jelas kepada kalian dari sisi Allah. Dengan perantaraannya (al-Quran), Allah akan membimbing orang yang mengikuti ridha-Nya menuju jalan keselamatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan ijin-Nya serta mengantarkan mereka ke jalan yang lurus. [199]

Allah juga berfirman, Itu adalah ayat-ayat kitab yang jelas dan nyata. [200]

Kitab penuh berkah yang Kami turunkan kepadamu supaya mereka merenungi ayat-ayatnya dan orang-orang berakal mengambil pelajaran darinya. [201

Kami turunkan kitab penuh berkah ini kepadamu, maka ikutilah kitab ini dan bertakwalah kalian, barangkali kalian akan mendapat rahmat. [202]

Katakanlah,”Allah adalah saksi antara aku dan kalian, ia diwahyukan kepadaku supaya aku dan orang yang al-Quran ini sampai kepadanya memberi peringatan kepada kalian. [203]

Al-Quran menyebut dirinya dengan label-label semisal cahaya, kitab yang jelas, keterangan, petunjuk bagi orang-orang bertakwa, membimbing ke jalan yang paling lurus, memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman, membimbing mereka ke jalan lurus, al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya aku dan orang yang ia sampai kepadanya memberi peringatan kepada kalian, kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan dengan gamblang, bacaan berbahasa Arab, kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya manusia merenungi ayat-ayatnya dan orang-orang berakal mengambil pelajaran darinya. Sebab itu, kita tidak patut meragukan validitas teks lahir kitab semacam ini.

Sebagian riwayat juga menegaskan validitas dhawahir al-Quran:

Zaid bin Arqam berkata, “Suatu hari, Rasul saw berpidato di dekat sebuah telaga bernama Khum (terletak antara Mekkah dan Madinah). Beliau memanjatkan puja dan puji kepada Allah, kemudian menasihati hadirin. Lalu beliau bersabda, ‘Sesungguhnya aku adalah seorang manusia yang akan segera dicabut nyawanya oleh malaikat maut. Aku pun telah siap menyambut saat itu. Aku meninggalkan dua perkara besar di antara kalian: Kitab Allah yang merupakan cahaya dan hidayah. Maka itu, berpeganglah kalian kepada al-Quran (beliau lalu menghimbau hadirin untuk berpegang dengan kitab Allah, lalu melanjutkan sabdanya) dan juga kutinggalkan Ahlulbaitku di antara kalian. Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti Ahlulbaitku (beliau mengatakannya sampai tiga kali).’” [204]

Dari riwayat di atas disimpulkan bahwa Rasul saw menitipkan al-Quran sebagai rujukan terpercaya untuk dimanfaatkan Muslimin.

Oleh karena itu, al-Quran adalah referensi ilmu dan hukum Islam yang terpenting dan paling terpercaya serta mampu memenuhi semua kebutuhan agama dan budaya umat Islam. Ajaran dan hukum al-Quran bersumber dari kebenaran serta sesuai dengan fitrah manusia. Sebab itu, al-Quran tidak akan lekang oleh waktu dan tetap berbobot walau ilmu dan peradaban manusia semakin berkembang. Setiap kali ilmu manusia berkembang dan para pemikir merenungi ayat-ayat al-Quran, mereka akan mendapatkan hal-hal baru yang lebih sempurna dari dalam al-Quran. Tidak ada kitab agama yang lebih banyak dikaji dibanding al-Quran dan masih tetap memberikan pengetahuan-pengetahuan baru. Telah banyak buku tafsir al-Quran yang ditulis, namun lahan untuk menciptakan tafsir yang baru dan lebih sempurna masih terbuka luas. Para fukaha telah banyak menulis dan membahas ayat-ayat al-Quran seputar hukum, namun pintu ijtihad dan penyimpulan masalah-masalah baru masih terbuka lebar.

Mengingat kita tidak mungkin bisa menyebutkan semua tema dalam al-Quran dengan terperinci, maka kami cukup akan menyebutkan sebagian tema dan topik general al-Quran dan mempersilahkan mereka yang berminat untuk merujuk ke buku-buku tafsir.

Tema-tema yang dipaparkan dalam al-Quran bisa dibagi menjadi beberapa bagian:

1. Prinsip-prinsip akidah, mengenal Allah, asma dan sifat-Nya, hari akhir dan kehidupan akhirat, alam barzakh dan kiamat, catatan amalan manusia, hisab amal manusia di hari kiamat, nerakan dan siksa-siksanya, kenabian dan keharusan pengutusan para nabi, sifat-sifat para nabi, mukjizat para nabi, dakwah para nabi dan kendala yang mereka hadapi, kesungguhan dan komitmen mereka dalam berdakwah, imamah dan kepemimpinan umat Islam serta syarat-syarat imam.

2. Kisah-kisah para nabi as dan penjelasan perjuangan sebagian dari mereka dalam berdakwah.

3. Menghimbau dan mendorong manusia untuk beriman kepada Allah, hari akhir dan kenabian.

4. Menjanjikan pahala ukhrawi dan kenikmatan surga kepada orang-orang beriman dan memperingatkan orang-orang kafir akan azab neraka.

5. Menyeru kepada tauhid dan memerangi segala bentuk kemusyrikan.

6. Seruan untuk merenung tentang penciptaan bumi, langit, bintang, matahari, gunung, lautan, pepohonan dan keajaiban manusia dan hewan.

7. Mengingatkan manusia akan nikmat-nikmat Allah dan mengajak mereka untuk bersyukur.

8. Mendeskripsikan orang-orang beriman dan perbuatan baik mereka serta orang-orang kafir dan perbuatan buruk mereka.

9. Kisah tentang umat-umat terdahulu.

10. Argumentasi para nabi as dengan umat mereka seputar masalah tauhid, Hari Akhir dan kenabian.

11. Mengenalkan akhlak-akhlak terpuji dan menyeru manusia untuk memilikinya.

12. Menyebutkan akhlak-akhlak tercela dan menyeru manusia untuk menjauhinya.

13. Mukjizat para nabi as.

14. Memotivasi manusia untuk melakukan ritual-ritual ibadah seperti shalat, puasa, haji, zakat dan khums.

15. Sebagian hukum-hukum politik.

16. Sebagian hukum-hukum transaksi (muamalah).

17. Hukum-hukum waris dan wasiat.

18. Sebagian hukum-hukum pengadilan, kesaksian, qishash, had dan diyah.

19. Menyeru manusia kepada ketakwaan.

20. Menyeru manusia untuk mengontrol hawa nafsu.

21. Mengecam kezaliman dan pelakunya serta mengancam mereka dengan azab neraka.

22. Menjelaskan sebagian hukum ibadah.

23. Jalan-jalan kebahagiaan manusia dan menyeru mereka untuk menempuhnya.

24. Faktor-faktor kesengsaraan manusia dan memperingatkan mereka untuk menjauhinya.

25. Seruan kepada persatuan umat Islam dan mencegah perpecahan.

Oleh karena itu, al-Quran adalah salah satu referensi hukum dan pengetahuan Islam yang paling lengkap dan terpercaya serta mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakat Islam sepanjang masa. Nabi saw sendiri telah mengamanahkan kitab ini kepada Muslimin dan menghimbau mereka untuk berpegang dengannya dan memanfaatkan segala petunjuknya.

Meski al-Quran adalah kitab yang sangat komplit, bukan berarti kita tidak membutuhkan referensi-referensi Islam lain seperti sunnah Nabi saw, dan hadis para Imam  as, karena tidak semua masalah telah dijelaskan dalam al-Quran secara terperinci dan kita harus mencari penjelasannya secara lebih detil dalam sunnah Nabi saw dan hadis-hadis maksumin as.


Sunnah Rasul saw; Sumber Hukum Kedua

Setelah al-Quran, Sunnah Rasul saw adalah rujukan hukum dan pengetahuan Islam yang terpenting. Sunnah adalah sebutan bagi tiga hal: Pertama, sabda Rasul saw tentang agama dan taklif. Kedua, perbuatan beliau yang dilakukan sebagai bagian dari agama. Ketiga, persetujuan (taqrîr) beliau terhadap perbuatan salah satu sahabat yang menunjukkan keabsahan perbuatan itu. Dalam istilah, sunnah juga disebut dengan hadis atau riwayat.

Hadis-hadis Rasul saw memainkan peran penting dalam menjelaskan hukum dan pengetahuan agama, karena ia (dan hadis-hadis para Imam as) menerangkan detail hal-hal yang hanya disebut secara global dalam al-Quran. Sebagian ayat al-Quran bersifat `am (umum), muthlaq atau mansukh dan mukhashish, qaid dan nasikhnya disebut dalam hadis-hadis. Atau, sebuah ritual ibadah praktis yang cara, bagian, syarat dan masalah-masalah cabangnya tidak disebut dalam al-Quran dan hadis-hadis maksumin as berperan untuk menjelaskan semua hal di atas. Misal lain, hukum dan undang-undang general (kulli) yang penjelasan masalah-masalah parsialnya (juz`i) ada dalam riwayat.

Rasul saw merekomendasikan Islam sebagai agama sempurna dan komprehensif yang memiliki hukum dalam setiap aspek kehidupan duniawi dan ukhrawi manusia. Benar bahwa ayat-ayat al-Quran menutupi sebagian kebutuhan Muslimin yang luas ini, namun itu masih belum cukup. Maka itu, Rasul saw diperintahkan untuk melengkapinya. Dalam hal ini, beliau juga mendapat sokongan dari Allah berupa wahyu. Muslimin juga berkewajiban untuk menaati Rasul saw.

Al-Quran mengatakan, Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul dan jangan sia-siakan amal kalian. [205]

Sesungguhnya Rasulullah saw adalah teladan yang baik bagi kalian dan orang yang mengharap Allah dan Hari Akhir serta banyak mengingat-Nya. [206]

Oleh karena itu, Muslimin diperintahkan untuk mengambil hukum dan pengetahuan agama mereka dari Rasul saw serta tunduk di hadapan perintah dan larangannya. Sebab itu, Muslimin selalu memperhatikan setiap sabda dan tindakan Rasul saw dan menerima apa yang disabdakannya sebagai hukum dari Allah. Mereka juga mempelajari tata cara ritual ibadah dari beliau.

Sehubungan dengan ini, sebagian sahabat beliau mencurahkan perhatian yang lebih banyak dibanding selain mereka dalam mempelajari dan menguasai hukum-hukum Islam. Mereka bertemu dengan Rasul saw di saat-saat tertentu, mendengarkan sabda beliau dan menanyakan apa yang tidak mereka ketahui. Bila mereka tidak hadir dalam suatu pertemuan, mereka bertanya kepada sahabat-sahabat lain seputar hal-hal yang dipaparkan dalam pertemuan tersebut.

Muslimin yang tinggal di luar Madinah datang menemui Rasul saw setiap kali mendapatkan kesempatan dan menimba ilmu dari beliau. Misalnya, Malik bin Huwairits berkata, “Aku datang ke Madinah bersama beberapa pemuda sebayaku dan menetap selama dua puluh hari untuk belajar dari Rasul saw sampai beliau menyangka bahwa kami merindukan keluarga kami. Beliau menanyakan keadaan mereka dan kami menjawabnya. Rasul saw adalah manusia penyayang. Ia bersabda kepada kami,’Kembalilah kalian ke rumah dan ajarkan hukum-hukum Allah kepada keluarga kalian. Perintahkan mereka melakukan shalat sama sepertiku. Bila waktu shalat tiba, hendaknya salah seorang dari kalian melakukan azan dan bermakmumlah kepada orang yang yang paling tua di antara kalian.’” [207]

Rasul saw selalu bersungguh-sungguh dalam membimbing umat dan menyebarkan ajaran Islam, baik di mesjid, jalan, pasar atau tempat-tempat lain. Selain mengajarkan ayat-ayat al-Quran, beliau juga menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengannya. Kadang, beliau mengajarkan tata cara ritual ibadah dengan mempraktikkannya di hadapan mereka. Bila Rasul saw melihat suatu amalan yang keliru, beliau segera mengingatkan dan menerangkan cara yang benar. Bila suatu amalan dilakukan dengan benar, maka beliau mendukungnya (taqrir).

Jabir meriwayatkan, “Suatu hari saat Idul Adha, aku melihat Rasul saw menunggang untanya dan bersabda,’Pelajarilah manasik haji dariku (secepatnya), karena mungkin setelah ini aku tidak melakukan haji lagi.’” [208]

Dengan cara ini, Rasul saw mengajarkan hukum-hukum agama kepada para sahabat dan mereka mempelajari serta mengingatnya baik-baik. Ada tujuan dari tindakan Rasul saw ini:

Pertama, mengenalkan para sahabat dengan ilmu-ilmu Islam dan mengajarkan hukum-hukum agama kepada mereka.

Kedua, menyimpan dan menjaga hukum-hukum agama untuk disampaikan kepada generasi mendatang.

Oleh sebab itu, pengetahuan-pengetahuan agama disimpan dalam bentuk hadis dan riwayat untuk dijadikan bekal Muslimin sepanjang masa. Ali bin Thalib as lebih bersungguh-sungguh dalam mencatat dan mengumpulkan hadis ketimbang sahabat-sahabat lain.

 

Ada dua poin yang perlu disebutkan di sini:

1. Meski ada banyak hadis dalam referensi-referensi kita, bukan berarti bahwa semua hadis ini bisa dijadikan pedoman, karena hadis dibagi menjadi dua: khabar wahid dan khabar mutawatir.

Khabar mutawatir: Bila ada banyak perawi yang menukil suatu hadis sehingga tidak ada indikasi mereka bersekongkol atau berdusta, maka hadis ini disebut mutawatir. Khabar mutawatir memberi keyakinan kepada kita dan dianggap sebagai hujjah, karena akal dan `urf menerima hadis semacam ini.

Khabar wahid: Hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai batas tawatur. Khabar wahid sendiri dibagi menjadi beberapa bagian, seperti:

Hadis sahih: Hadis yang semua perawinya adil dan bermazhab Itsna `Asyariyah.

Khabar hasan: Hadis yang semua perawinya terpercaya dan bermazhab Itsna `Asyariyah.

Khabar muwatstsaq: Hadis yang sebagian perawinya terpercaya dan bukan bermazhab Imamiyah.

Khabar dha`if: Hadis yang sebagian perawinya lemah dan tidak terpercaya.

Hadis maj`ul: Riwayat yang salah satu perawinya adalah pemalsu dan pembuat hadis.

Hadis majhul: Riwayat yang identitas salah satu perawinya tidak diketahui dengan jelas.

Hadis mursal: Hadis yang salah satu perawinya menukil hadis dari seseorang tanpa perantara, padahal ia tidak sejaman dengannya.

Hadis sahih dan hasan diterima dan diamalkan oleh para fukaha.

Hadis muwatstsaq diterima oleh kebanyakan ulama.

Sedangkan hadis dha`if tidak bisa diterima, kecuali bila disertai suatu qarinah (bukti) kesahihan atau ada faktor yang menutupi kelemahannya.

Hadis maj`ul juga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.

2. Semua yang berkaitan dengan validitas (hujjiyah) khabar wahid, hanya dikhususkan untuk riwayat-riwayat tentang taklif. Sedangkan khabar wahid yang berhubungan dengan masalah-masalah akidah, akhlak, sejarah, alam, kesehatan, karakteristik sebagian tumbuhan atau buah, makanan, minuman dan semacamnya tidak bisa dijadikan hujjah.

Bila khabar wahid berkaitan dengan hal-hal yang memerlukan iman dan keyakinan seperti keberadaan Allah, tauhid, sifat-sifat Allah, Hari Akhir, kenabian dan keharusan pengutusan nabi, maka itu tidak cukup dan harus ada suatu kajian independen sehingga mampu memberi keyakinan kepada kita.


Hadis-hadis Ahlulbait: Sumber Hukum Ketiga

Sumber hukum dan ilmu Islam yang ketiga adalah Sunnah dan sirah Ahlulbait as. Rasul saw tahu bahwa sepeninggalnya, Muslimin memerlukan tempat rujukan kredibilit dan terpercaya untuk mengambil hukum-hukum dari masalah yang mereka hadapi dan memecahkan setiap persoalan agama. Atas dasar ini, beliau memilih Ahlulbaitnya as dan merekomendasikan mereka kepada Muslimin sebagai pengiring Al-Quran dan tempat rujukan bagi mereka.. Berkali-kali Rasul saw menegaskan hal ini seperti yang termaktub dalam referensi-referensi hadis Syiah dan Ahlussunnah.

Salah satu hadis yang paling mashur dan terpercaya terkait hal ini adalah hadis Tsaqalain yang diriwayatkan dengan beberapa versi dan sanad. Sebagian dari versi-versi hadis Tsaqalain adalah sebagai berikut:

Zaid bin Arqam berkata, “Sekembalinya Rasul saw dari haji wada`, beliau turun di Ghadir Khum dan memerintahkan para sahabat untuk membersihkan bagian bawah pepohonan dari semak belukar. Lalu, beliau bersabda, ‘Sepertinya aku akan segera dipanggil Tuhanku dan aku telah siap menerima panggilan-Nya. Aku meninggalkan dua perkara berharga di antara kalian yang salah satunya lebih besar dari yang lain, yaitu: Kitab Allah dan itrahku. Lihatlah diri kalian bagaimana kalian memperlakukan keduanya sepeninggalku. Ketahuilah bahwa keduanya tidak akan berpisah sampai bertemu denganku di telaga Kautsar.’ Kemudian beliau melanjutkan, ‘Allah adalah junjunganku dan aku adalah pemimpin semua orang-orang beriman.’ Beliau lalu mengambil tangan Ali ra dan bersabda, ‘Barang siapa yang menjadikanku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya pula. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.’” [209]

Dalam riwayat lain, Zaid berkata, “Aku bersama Rasul saw dalam perjalanan haji wada`. Ketika kami sampai di Ghadir Khum, beliau menyuruh para sahabat membersihkan bawah pepohonan. Setelah itu, beliau bersabda, ‘Sepertinya Allah telah memanggilku dan aku telah menjawab panggilan-Nya. Allah adalah junjunganku dan aku adalah pemimpin orang-orang mukmin. Aku meninggalkan dua pusaka berharga di antara kalian. Kalian tidak akan tersesat bila berpegang dengan keduanya, yaitu kitab Allah dan Ahlulbaitku. Mereka tidak akan berpisah hingga mereka bertemu denganku di telaga Kautsar.’ Lalu beliau menggamit tangan Ali dan bersabda, ‘Barang siapa yang menjadikanku sebagai pemegang kendali urusannya, maka Ali adalah pemegang kendali perkaranya pula. Ya Allah, cintailah para pecintanya dan musuhilah para pembencinya.’ Abu Thufail berkata, ‘Aku berkata kepada Zaid,’Apakah kau mendengar sabda ini langsung dari Rasulullah?’ Ia menjawab, ‘Semua orang yang berada di bawah pohon menyaksikan peristiwa itu dan mendengar langsung sabda beliau dengan telinga mereka.’” [210]

Zaid bin Tsabit berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Aku meninggalkan dua khalifah di tengah kalian: kitab Allah yang merupakan tali yang memanjang antara langit dan bumi serta Ahlulbaitku. Keduanya tidak akan berpisah sampai bertemu denganku di telaga Kautsar.’” [211]

Hudzaifah bin Usaid berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Wahai manusia! Aku akan pergi sebelum kalian dan kalian akan menemuiku di telaga kelak. Saat itu, aku akan bertanya kepada kalian tentang dua pusaka yang aku tinggalkan di tengah kalian. Maka itu, waspadalah bagaimana sikap kalian terhadap keduanya sepeninggalku. Pusaka terbesar adalah al-Quran yang salah satu ujungnya ada di tangan Allah dan ujung lainnya ada di tangan kalian. Berpeganglah dengannya, jangan tersesat (dengan adanya al-Quran di antara kalian) dan jangan menggantinya dengan yang lain.’” [212]

Abu Said berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Aku meninggalkan sesuatu di tengah kalian dan kalian tidak akan tersesat bila berpegangan dengannya, yaitu dua pusaka berharga. Salah satu dari keduanya lebih agung dari yang lain, yaitu kitab Allah yang merupakan tali yang memanjang antara langit dan bumi serta Ahlulbaitku. Ketahuilah bahwa keduanya tidak akan berpisah sampai mereka bertemu denganku di telaga (Kautsar).’” [213]

Oleh karena itu, hadis tsaqalain termasuk hadis mutawatir yang dinukil oleh beberapa sahabat Rasul saw dengan beberapa versi dan sanad. Sebagian dari mereka adalah Zaid bin Arqam, Abu Dzar al-Ghaffari, Abu Said al-Khudri, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Hudzaifah bin Yaman, Ibnu Abbas, Salman al-Farisi, Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah, Hudzaifah bin Usaid al-Ghaffari,  Jubair bin Muth`im, Hasan bin Ali, Fatimah az-Zahra, Ummu Hani binti Abi Thalib, Ummu Salamah, Abu Rafi dan lain-lain.

Suatu hari di masa pemerintahannya, Imam Ali as berpidato di hadapan para sahabatnya, “Siapapun di antara kalian yang hadir dalam peristiwa Ghadir Khum dan mendengar hadis Tsaqalain dari Rasulullah saw, hendaknya berdiri dan katakan apa yang ia lihat dan dengar.” Tujuh belas orang segera berdiri dan berkata, “Kami hadir saat itu dan mendengar hadis itu dari Rasulullah saw.” Sebagian mereka adalah Khuzaimah bin Tsabit, Sahal bin Saad, Uday bin Hatim, `Uqbah bin Amir, Abu Ayyub al-Anshari, Abu Said al-Khudri, Abu Syuraih al-Khaza`i, Abu Qudamah al-Anshari, Abu Ya`la al-Anshari dan Abu Haitsam at-Taihan. [214]

Ahmad bin Hajar Haitsami berkata, “Hadis Tsaqalain diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh sahabat Rasulullah saw.” [215]

Ada tiga hal yang bisa disimpulkan dari hadis Tsaqalain:

    Rasul saw menjadikan Ahlulbait as sebagai pengiring al-Quran dan bersabda, “Bila kalian berpegang dengan keduanya, kalian tidak akan tersesat dan aku akan bertanya kepada kalian tentang hal ini di hari kiamat kelak.” Karena itu, sebagaimana halnya al-Quran adalah sumber rujukan terpercaya, demikian pula halnya dengan Ahlulbait Nabi as. Semua Muslim wajib merujuk kepada mereka untuk mengatasi setiap masalah yang mereka hadapi.
    Sebagaimana halnya al-Quran menjadi sumber rujukan Muslimin sampai hari kiamat, Ahlulbait as juga akan tetap ada hingga hari kiamat dengan tujuan serupa (sumber rujukan Muslimin).
    Al-Quran dan Ahlulbait as adalah dua hujjah syar`i yang tidak akan berpisah. Sebab itu, seorang Muslim tidak dapat mengesampingkan Ahlulbait as dan berkata, “Cukuplah al-Quran bagi kami.” Ia juga tidak patut hanya berpegang dengan Ahlulbait as dan meninggalkan al-Quran.

Kita juga memiliki hadis-hadis senada yang menyatakan bahwa ketaatan kepada Ahlulbait as akan menyelamatkan kita dari bencana dan kesesatan, seperti hadis safînah (bahtera) berikut:

Ibnu Abbas menukil dari Rasulullah saw, “Ahlulbaitku seperti bahtera Nuh as. Orang yang menaikinya akan selamat dan yang meninggalkannya akan tenggelam.” [216]

Sekarang, pertanyaan yang terlontar adalah: Siapa yang dimaksud dengan Ahlulbait as? Apakah yang dimaksud adalah semua kerabat Rasul saw? Ataukah orang-orang yang berada di rumah beliau dan dalam tanggungannya, seperti istri-istri, anak-anak dan para pembantu?

Dari kandungan hadis, kita bisa menyimpulkan bahwa dua kemungkinan di atas tidak bisa diterima, karena: Pertama, Nabi saw menjadikan Ahlulbait as sebagai pengiring al-Quran dan menyatakan bahwa yang mengikuti keduanya akan selamat serta berwasiat kepada Muslimin untuk mengambil hukum-hukum agama dari keduanya. Sebab itu, tidak ada yang mengetahui hukum-hukum agama kecuali para maksumin. Kedua, mereka harus terjaga dari dosa dan kesalahan supaya ketaatan kepada mereka mengantarkan kita kepada keselamatan dan kebahagiaan. Jelas bahwa tidak semua kerabat dan mereka yang dinisbahkan kepada Nabi saw memiliki kriteria semacam ini.

Atas dasar itu, Ahlulbait  adalah orang-orang tertentu, yaitu orang-orang yang disebut dalam ayat, Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan segala dosa dari kalian Ahlulbait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya. [217]

Kita memiliki beberapa hadis sekaitan dengan masalah ini dan beberapa di antaranya kami sebut di sini:

Ummu Salamah berkata, “Ayat penyucian (tathîr) turun di rumahku. Rasul saw kemudian menyuruh seseorang untuk memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Saat mereka datang, beliau bersabda,’Inilah Ahlulbaitku.’” [218]

Umar bin Abi Salmah, anak didik Nabi saw, berkata, “Ayat, Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan segala dosa dari kalian Ahlulbait dan menyucikan kalian sesuci-sucinya, turun di rumah Ummu Salamah. Nabi saw memanggil Fatimah, Hasan dan Husain berikut Ali di belakang mereka. Kemudian beliau menyelimuti kepala mereka dengan jubahnya dan bersabda, ‘Mereka adalah Ahlulbaitku yang telah disucikan Allah dari segala dosa.’ Saat itu, Ummu Salamah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku bagian dari mereka?’ Beliau bersabda, ‘Tetaplah di tempatmu, engkau berada dalam kebaikan.’ [219]

Aisyah berkata, “Suatu pagi, Nabi saw keluar rumah sambil memakai baju dari wol hitam. Lalu, Hasan datang dan masuk ke bawah jubah beliau dan disusul Husain. Setelah itu, Fatimah dan Ali datang dan juga masuk ke bawah jubah Rasul. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan segala dosa dari kalian Ahlulbait dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.’” [220]

Berarti, yang dimaksud dengan Ahlulbait dalam ayat tathîr adalah Nabi saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.

Namun, ada pula hadis-hadis lain yang menyebut bahwa Rasul saw mengenalkan orang-orang lain sebagai bagian dari Ahlulbait as:

Ibnu Abbas berkata, “Aku mendengar Rasul saw bersabda, ‘Aku, Ali, Hasan, Husain dan sembilan orang keturunan Husain suci maksum dan suci dari dosa.’”[221]

Dari hadis-hadis serupa kita menyimpulkan bahwa maksud Ahlulbait dalam hadis Tsaqalain adalah Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husain as dan sembilan orang keturunan Husain as yang disebut Rasul saw, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain as sebagai bagian dari Ahlulbait yang maksum. [222]

Oleh karena itu, hadis-hadis Ahlulbait dan para Imam maksum adalah sumber hukum dan ilmu Islam yang ketiga.


Para Pengemban Ilmu Rasul saw

Rasul saw telah mengerahkan segala upaya dalam menyebarkan ilmu dan hukum Islam. Para sahabat beliau juga berusaha keras dalam mempelajari dan menyerap hukum-hukum Islam, namun Rasul saw masih belum menganggapnya cukup. Beliau mengetahui bahwa kondisi sulit di masa-masa awal Islam tidak memberi peluang Muslimin untuk mempelajari ilmu dan hukum Islam secara sempurna. Beliau memahami bahwa para sahabatnya tidak terlepas dari dosa dan kesalahan. Sangat mungkin bahwa dengan berlalunya waktu, mereka akan melupakan sebagian hukum-hukum Islam atau berselisih pendapat tentangnya.

Atas dasar itu, demi melestarikan hukum-hukum Islam, Rasul saw bertekad mencari tempat aman yang terjaga dari dosa dan kesalahan untuk menitipkan hukum-hukum Islam di sana sehingga bisa menjadi rujukan Muslimin. Maka itu, Allah mewahyukan kepada Rasul saw untuk memilih Ali bin Abi Thalib as, karena ia siap menerima tanggung jawab berat semacam ini dari segala sisi.

Sehubungan dengan ini, Ali as berkata, “Rasulullah saw merangkulku dan bersabda, ‘Allah memerintahkanku untuk mendekatkan dirimu kepadaku dan menyuruhmu untuk mendengarkan apa yang kukatakan dan menghapalnya. Allah akan menjadikanmu selalu mendengar dan menyimpan apa yang kukatakan.’ Kemudian, turunlah ayat, Dan diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.[223]”[224]

Ibnu Abbas menukil dari Rasul saw, “Ketika turun ayat, Dan diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar, Rasul saw bersabda, ‘Aku memohon dari Allah supaya menjadikan telinga Ali seperti itu.’ Ali juga sering berkata, ‘Aku selalu menghapal apa yang disabdakan Rasul saw dan tidak melupakannya sepanjang masa.’” [225]

Rasul saw juga bersabda, “Saat aku berdiri di hadapan Allah, Dia berbicara denganku. Semua yang kupelajari kuajarkan kepada Ali. Berarti, Ali adalah pintu ilmuku.” [226]

Amirul Mukminin as berkata, “Kalian mengetahui kedudukanku di sisi Rasul saw dari sisi hubungan kerabat dan kedekatanku dengan beliau. Ia meletakkanku di pangkuannya semasa aku kecil, merapatkan tubuhku ke dadanya, menidurkanku di ranjangnya, menyentuhkan badannya ke badanku hingga aku mencium wangi tubuhnya. Ia mengunyah makananku dan menyuapiku, ia tidak pernah mendengar kebohongan dariku dan tidak melihat kesalahan dariku. Semenjak Rasul saw disapih, Allah mengutus malaikat terbesar-Nya untuk mengawasi beliau siang malam dan membimbingnya kepada akhlak mulia. Aku mengikuti kemanapun beliau pergi bak anak unta membuntuti induknya. Setiap hari, salah satu akhlak mulia terpancar dari dirinya dan beliau menyuruhku untuk mengikutinya.

Setiap tahun, beliau melewatkan sebagian waktunya di gua Hira. Aku melihatnya, tapi orang lain tidak dapat melihatnya. Pada permulaan pengkangatan menjadi nabi (bi`tsah), hanya ada satu keluarga Muslim yang terdiri dari Rasulullah saw, Khadijah dan aku. Aku melihat cahaya wahyu dan risalah serta mencium semerbak kenabian. Waktu beliau memperoleh wahyu, aku mendengar rintihan setan. Aku bertanya, ‘Suara apakah itu wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Ini adalah suara setan yang telah berputus asa dari ibadahnya. Wahai Ali, engkau mendengar dan melihat apa yang kudengar dan kulihat, hanya saja kau bukan seorang nabi, tapi wazirku. Sungguh engkau berada dalam kebaikan.’” [227]

Seseorang pernah bertanya kepada Ali as, “Kenapa engkau meriwayatkan hadis lebih banyak dari sahabat lain?” Ia menjawab, “Setiap kali aku bertanya kepada Rasul saw, beliau menjawab pertanyaanku. Bila aku diam, beliaulah yang berbicara (dan mengajarkan ilmu kepadaku).” [228]

Amirul Mukminin as berkata, “Setiap hari, aku menemui Rasul saw dan menyendiri bersamanya. Aku pergi bersamanya kemanapun beliau pergi. Para sahabat tahu bahwa beliau tidak bersikap semacam ini dengan selainku. Kadang, Rasul saw yang datang ke rumahku dan ini sangat sering terjadi. Ketika aku mengunjungi beliau di rumahnya, beliau berduaan denganku dan menyuruh istri-istrinya keluar rumah. Pada saat itu, tidak ada orang yang bersama beliau selain diriku. Namun, sewaktu Rasul saw datang ke rumahku, beliau tidak pernah menyuruh Fatimah dan anak-anakku keluar rumah. Setiap kali aku bertanya, beliau menjawab pertanyaanku dan bila aku tidak bertanya, beliaulah yang memulai pembicaraan.

Tiada suatu ayat yang turun kecuali Rasul saw membacakannya kepadaku dan mendiktekannya kepadaku, lalu aku menulisnya. Beliau mengajarkan takwil, tafsir, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, umum dan khusus ayat-ayat al-Quran kepadaku. Beliau memohon Allah supaya memberiku kemampuan untuk menguasai dan mengingat apa yang diajarkannya kepadaku. Semenjak itu,  setiap ayat yang beliau bacakan kepadaku atau setiap ilmu yang beliau diktekan dan aku tulis, tidak pernah kulupakan sama sekali.

Maka, tiada suatu hukum halal atau haram, perintah atau larangan yang sebelumnya sudah diturunkan atau akan diturunkan, dan tidak ada suatu kitab yang pernah diturunkan sebelum ini kecuali diajarkan Rasul saw kepadaku dan kuingat semuanya, bahkan tiap hurufnya.

Pada waktu itu, Rasul saw meletakkan tangannya di atas dadaku dan berdoa supaya Allah memenuhi hatiku dengan ilmu, pemahaman dan cahaya. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, semenjak Anda berdoa untukku, aku tidak pernah melupakan sesuatu apapun dan semua sudah kutulis. Apakah Anda masih khawatir aku melupakan sesuatu?’ Beliau menjawab, ‘Aku sama sekali tidak mengkhawatirkan hal ini.’”[229]

Ali as berkata, “Demi Allah! Tiada suatu ayat yang turun kecuali aku tahu untuk apa, di mana dan kepada siapa ia diturunkan. Allah mengaruniakan hati yang paham (banyak hal) dan lisan yang fasih kepadaku.”[230]

Dari hadis-hadis di atas, ada beberapa poin penting yang bisa disimpulkan:

    Ali as selalu bersama Rasul saw semenjak kecil, bahkan saat beliau menyendiri di gua Hira. Ia selalu melihat dan mengikuti setiap akhlak mulia Rasul saw. Beliaupun memberi perhatian khusus dalam mendidik Ali as.
    Ali as memiliki potensi khas yang tidak dimiliki selainnya. Ia menyaksikan cahaya wahyu, mendengar suara Jibril dan rintihan setan kala Rasul saw mendapat wahyu.
    Setelah bi`tsah pun, Rasul saw diperintahkan untuk mendekatkan Ali as kepada dirinya.
    Rasul saw memohon dari Allah untuk memberikan pemahaman luar biasa dan pendengaran kuat kepada Ali as supaya ia tidak melupakan apapun. Allah mengabulkan permohonan Rasul saw dan menganugerahkan daya nalar dan ingatan yang kuat kepada Ali as sehingga ia tidak melupakan apa yang ia dengar sampai akhir hidupnya.
    Tiap hari dan malam, Imam Ali as memiliki pertemuan eksklusif dengan Rasul saw yang tidak dihadiri orang lain. Pertemuan itu diadakan di rumah Rasul saw atau rumah Imam Ali as. Rasul saw mengajarkan ilmunya secara langsung atau dengan pertanyaan yang dilontarkan Imam Ali as.
    Dalam pertemuan-pertemuan itu atau waktu-waktu lain saat berada bersama Rasul saw, Imam Ali as mendengarkan ayat-ayat al-Quran langsung dari lisan Rasul saw, menulisnya dan menghapalnya. Imam juga sekaligus mempelajari ilmu tafsir,  takwil dan semacamnya dari beliau.

Dengan cara ini, Imam Ali as menimba pengetahuan dan hukum-hukum Islam sepanjang hari dari Rasul saw hingga hatinya menjadi perbendaharan ilmu dan cahaya.


Ali as Pemilik Segala Ilmu

Berkat bakat alami dan doa khusus yang dipanjatkan Rasul saw untuk Imam Ali as, ia menguasai semua ayat al-Quran beserta tafsirnya, ilmu dan hukum-hukum agama yang diajarkan Rasul saw kepadanya selama dua puluh tiga tahun periode kenabian, hingga ia menjadi sebuah perbendaharaan pengetahuan agama seperti yang ditegaskan Rasul saw berulangkali:

Rasul saw bersabda kepada Imam Ali as, “Wahai Ali! Selamat atasmu, engkau telah menguasai berbagai ilmu bak meneguk air.” [231]

Beliau juga bersabda, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang menginginkan ilmu, hendaknya ia masuk melalui pintunya.” [232]

Sabda beliau yang lain menyebutkan, “Wahai Ali! Aku adalah kota ilmu dan kau adalah pintunya. Orang yang menyangka bahwa ia bisa memasuki kota tanpa melalui pintu, sungguh telah melakukan kebohongan besar.” [233]

Salman Farisi meriwayatkan sabda Rasul saw, “Setelahku, Ali adalah orang yang paling alim di tengah umatku.” [234]

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasul saw bersabda kepada Ali as, “Sepeninggalku, engkau akan menjelaskan masalah-masalah yang diperselisihkan umatku.” [235]

Abu Said al-Khudri menukil sabda Rasul saw, “Hakim terbaik di antara umatku adalah Ali.” [236]

Kesimpulannya, Rasul saw sendiri yang menegaskan bahwa Ali adalah perbendaharaan ilmu kenabian dan pemilik berbagai bidang pengetahuan.

Tujuan Rasul saw dari hal ini adalah untuk menitipkan ilmu-ilmu kenabian di tempat yang aman sehingga bisa dimanfaatkan umat sepeninggal beliau.


Penulisan Hadis

Meski Rasul saw mengetahui bahwa Imam Ali as tidak akan keliru dalam menyimpan serta menghapal ilmu dan hukum agama, beliau tetap memerintahnya untuk menulis semua yang didengarnya untuk menjadi bekal generasi yang akan datang.

Ali as berkata, “Rasul saw bersabda kepadaku, ‘Wahai Ali! Tulislah semua yang kudiktekan kepadamu.’ Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Apakah Anda khawatir aku lupa?’ Jawab beliau, ‘Aku tidak khawatir, karena aku telah meminta Allah memberimu daya ingat yang kuat. Aku menyuruhmu menulis untuk imam-imam dari keturunanmu.’” [237]

Sesuai perintah Rasul saw, Imam Ali as menulis dan menyimpan semua ilmu dan hukum agama yang diajarkan beliau kepadanya. Di kemudian hari, kitab-kitab itu berpindah tangan dari satu imam ke imam berikutnya. Ia merupakan salah satu sumber ilmu Ahlulbait as yang dijadikan pegangan dalam berbagai masalah. Mereka sering mengatakan, “Dalam kitab Ali atau di Shahîfah atau di Jâmi`ah disebutkan...”

Bakar berkata, “Aku mendengar Imam Shadiq as mengatakan, ‘Kami memiliki sesuatu yang dengannya kami tidak membutuhkan orang lain, sebaliknya merekalah yang memerlukan kami. Kami memiliki kitab yang didiktekan Rasul saw dan ditulis oleh Ali as, lembaran-lembaran yang memuat semua hukum halal dan haram. Apapun yang kalian tanyakan kepada kami, maka kami tahu bahwa kalian harus melakukannya atau meninggalkannya.’” [238]

Abdullah bin Sanan meriwayatkan, “Aku mendengar Imam Shadiq as berkata, ‘Kami memiliki sehelai kulit sepanjang tujuh puluh lengan yang memuat tulisan Ali as dengan dikte Rasul saw. Semua yang dibutuhkan orang-orang ada di dalamnya, bahkan denda (diyah) untuk suatu goresan di badan.’” [239]

Oleh karena itu, salah satu metode kekekalan ilmu dan hukum agama pada masa-masa awal Islam adalah dengan menulis dan menyimpannya dalam bentuk kitab. Tugas ini dipegang oleh Ali bin Abi Thalib as.

Setelah ilmu dan hukum-hukum agama ditransformasikan Rasul saw ke daya ingat Ali as yang kuat, lalu ditulis dan disimpan olehnya, beliau saw dalam hadis Tsaqalain dan hadis lain merekomendasikan Ahlulbaitnya sebagai sumber rujukan terpercaya dan menyuruh umat untuk mengikuti mereka.

Sepeninggal Rasul saw, Ali as menggunakan dua jalan (kitab yang didiktekan Rasul saw dan ilmu yang dikuasainya) ini dalam membimbing umat. Selain itu, ia juga mewariskan semua ilmu dan kitabnya kepada anaknya Imam Hasan as. Setelah syahadah Imam Ali as, Imam Hasan as memberikan keduanya kepada saudaranya Imam Husain as. Demikian seterusnya hingga ilmu warisan dan kitab itu sampai di tangan Imam Mahdi aj. para Imam  as sendiri menegaskan bahwa kitab-kitab itu adalah salah satu rujukan mereka.

Jabir meriwayatkan ucapan Imam Baqir as kepadanya, “Wahai Jabir! Bila kami menjawab pertanyaan kalian dengan pendapat kami sendiri, niscaya kami akan binasa. Namun, kami menjawab dengan hadis-hadis Rasul saw yang sampai ke tangan kami.” [240]

Sebagian perawi mendengar Imam Shadiq as berkata, “Hadisku adalah hadis ayahku, hadis ayahku adalah hadis kakekku, hadis kakekku adalah hadis Husain, hadis Husain adalah hadis Hasan, hadis Hasan adalah hadis Amiril Mukminin, hadis Amirul Mukminin adalah hadis Rasulullah saw dan hadis beliau adalah firman Allah Swt.” [241]

Rasul saw memilih Ahlulbaitnya yang maksum demi menjaga pengetahuan dan hukum-hukum agama. Sebab itu, beliau mengajarkan ilmu kenabian kepada mereka melalui dua cara: secara lisan dan hapalan serta tulisan dan kitab. Para Imam  as juga mentransformasikan ilmu-ilmu dengan dua jalan: pertama, dengan menukil hadis dari ayah-ayah mereka dan kedua, menukil hadis dari kitab warisan Rasul saw.

Oleh sebab itu, sesuai dengan hadis Tsaqalain dan hadis-hadis senada, Muslimin harus merujuk kepada mereka untuk mengambil ilmu dan hukum-hukum agama.


Akal Sumber Hukum Keempat

Akal bisa disebut sebagai referensi ilmu dan hukum agama yang keempat. Akal adalah kelebihan terpenting manusia yang membedakannya dari binatang. Peradaban tinggi dan kemajuan di bidang sains, industri, filsafat, irfan, akhlak, seni dan lainnya diperoleh dengan bantuan akal. Andai akal dan semua yang mungkin diketahuinya dirampas dari umat manusia, niscaya mereka akan kehilangan semua kesempurnaan ini. Pada dasarnya, kehidupan sehari-hari manusia bertumpu pada akal dan hal-hal yang bisa diketahui olehnya.

Dalam budaya Islam, akal disebut sebagai suatu fenomena istimewa dan berharga yang dapat membantu manusia menyingkap segala fakta dan realita. Islam adalah sebuah agama rasional dan argumentatif.

Al-Quran dalam banyak ayat menghimbau manusia untuk berpikir dan merenung serta mengecam orang-orang yang tidak mau menggunakan nalar, Sesungguhnya dalam penciptaan langit, bumi, pergantian siang dan malam, berlayarnya kapal-kapal yang berguna bagi manusia di lautan, hujan yang turun dari langit dan menghidupkan bumi serta mencerai beraikan binatang, pergerakan angin dan awan di antara langit dan bumi, terdapat banyak pelajaran bagi orang-orang berakal. [242]

Allahlah yang menciptakan telinga, mata dan hati untuk kalian, (namun) kalian hanya sedikit bersyukur. Dialah yang memunculkan kalian di muka bumi dan kalian akan dikumpulkan kepada-Nya. Dialah yang menghidupkan dan mematikan dan mengendalikan siang dan malam, kenapa kalian tidak mau berpikir? [243]

Juga terdapat banyak hadis yang berbicara tentang nilai akal dan menghimbau manusia untuk berpikir. Tema pertama dalam kitab Ushûl al-Kâfî adalah Kitâb al-`Aql wa al-Jahl (Bab Akal dan Kebodohan). Di sana disebutkan:

Abdullah bin Sanan meriwayatkan dari Imam Shadiq as, “Nabi adalah hujjah Allah atas hamba-hamba-Nya dan akal adalah hujjah antara Allah dan hamba-hamba.” [244]

Beliau juga mengatakan, “Akal adalah pembimbing orang mukmin.” [245]

Selain menyeru manusia untuk berpikir, al-Quran juga melakukan argumentasi rasional di sebagian tempat. Rasul saw dan para Imam as juga menghimbau umat untuk menggunakan nalar mereka dan berargumentasi untuk membuktikan kebenaran ucapan mereka.

Oleh karena itu, Islam mendukung penggunaan akal dan argumentasi rasional serta mendorong manusia untuk melakukannya. Sebab itu, akal disebut sebagai salah satu dalil syar`i dan sumber hukum agama. Dengan menggunakan akal, manusia bisa sampai kepada kebenaran. Pengetahuan-pengetahuan rasional dapat menyingkap realita dan membuat kita yakin selama digunakan sesuai dengan neraca-neraca khasnya. Tentu, ini tidak berarti bahwa akal tidak pernah keliru, karena ada beberapa kesalahan akal yang tak bisa dipungkiri. Namun, sebagian kecil kesalahan tidak bisa menggoyahkan dan menggugurkan validitas akal, bahkan sebab kesalahan ini harus dicari dalam kekeliruan pola pikir dan metode argumentasi. Karena itulah, ilmu mantik (logika) ditelurkan untuk menangani masalah ini.


Penggunaan Akal

Benar bahwa akal adalah pemandu terpercaya yang bisa digunakan untuk menyingkap realita, namun tidak berarti kita hanya bertumpu pada argumentasi rasional untuk membuktikan segala sesuatu. Akal hanya digunakan di tempat-tempat tertentu yang sebagian di antaranya kami sebut di sini:


Dalil Rasional dalam Prinsip-prinsip Akidah

Akidah bisa dibagi menjadi dua: Prinsip-prinsip akidah dan cabang-cabang akidah.

Kita bisa menggunakan akal dan rasio sehubungan dengan prinsip-prinsip akidah, seperti membuktikan keberadaan Tuhan, tauhid, sifat-sifat positif dan negatif, hari akhir, keharusan pengutusan para nabi, pembuktian ilmu dan kemaksuman para nabi, konsep imamah dan kemaksuman imam.

Dalam prinsip-prinsip akidah, penggunaan dalil-dalil rasional adalah hal yang mungkin. Sebab itu, iman terhadap hal-hal di atas harus terwujud melalui rasa keingintahuan dan dalil rasional. Islam tidak pernah memaksa manusia menerima prinsip-prinsip agama tanpa dalil, bahkan mendorong mereka untuk berpikir dan menggunakan nalar mereka.

Adapun sekaitan dengan cabang-cabang akidah, kebanyakan dalil rasional tidak bisa digunakan, seperti keberadaan alam barzakh, pertanyaan di alam kubur, cara kebangkitan manusia di hari kiamat, catatan amal manusia, hisab dan neraca amal, shirath, hakikat kenikmatan surga dan siksa neraka dan lain-lain. Perkara-perkara semacam ini tidak bisa diketahui dengan jalan akal, tapi dengan dalil naqli yang terpercaya. Begitu pula halnya dengan masalah-masalah semisal syafaat para nabi as, imam dan wali Allah, keberadaan malaikat, setan dan caranya menggoda manusia serta cara turunnya wahyu kepada para nabi as.


Dalil Rasional dalam Hukum Taklifi

Dalam mengambil sebagian hukum-hukum taklifi, kita juga bisa menggunakan dalil rasional. Berikut sebagian contoh dari hukum-hukum tersebut:

Pertama, mengambil hukum syar`i dalam suatu maudhu` (obyek) yang kriteria hukum pastinya (milak al-hukm) juga ada dalam maudhu` lain. Contohnya, dalam ilmu Kalam ada suatu masalah yang diyakini sebagian besar Muslimin, khususnya Syi’ah Imamiyah, yaitu bahwa hukum-hukum syariat tunduk pada maslahat dan madharat yang sebenarnya. Maksudnya, bila sesuatu diwajibkan atau diharamkan oleh syariat, itu disebabkan ada maslahat atau madharat yang mengiringinya. Begitu pula halnya dengan hukum mustahab dan makruh.

Oleh karena itu, bila Allah meletakkan sebuah hukum dalam suatu maudhu` beserta sebabnya dan akal juga menemukan sebab yang sama dalam maudhu` lain, maka ia akan menghukumi bahwa maudhu` kedua memiliki hukum yang sama, walau hukum itu tidak sampai ke tangan kita.

Misalnya, syariat mengatakan, “Jangan minum khamr karena itu memabukkan.” Bila akal menemukan karakteristik khamr (memabukkan) dalam minuman lain, maka ia akan menghukumi bahwa minuman itu haram. Ini sejalan dengan kaidah yang berbunyi “Apapun yang dihukumi oleh akal, maka syariat juga memberikan hukum yang sama.”

Begitu juga bila akal menemukan suatu madharat dalam sebuah perbuatan yang mengharuskannya ditinggalkan. Dengan berpedoman pada kaidah di atas, kita bisa mengatakan bahwa syariat mengharamkan perbuatan tersebut, karena Allah tidak mungkin melewatkan suatu maslahat terhadap para hamba-Nya. Contoh, bila akal mengetahui bahwa penggunaan narkoba seperti heroin akan mengakibatkan kerusakan bagi individu dan masyarakat, ia menghukumi bahwa narkoba tidak boleh digunakan. Lalu, dengan kaidah di atas, kita bisa mengatakan bahwa syariat juga melarang penggunaan heroin.

Oleh karena itu, dalam hal-hal semacam di atas, kita bisa mengetahui hukum syar`i melalui hukum akal dan menjadikannya sebagai salah satu jalan penyimpulan hukum (istinbâth).

Tentu, kaidah di atas baru berlaku dan digunakan sebagai cara ber-istinbâth bila kriteria (milak) dan sebab (`illah) hukum yang sebenarnya terbukti dengan dalil syar`i, atau keberadaan maslahat atau madharat terbukti dengan dalil rasional yang pasti. Hukum syar`i  tidak bisa diperoleh dengan qiyas dan istihsân.

`Alakulli hal, istinbâth-istinbâth seperti ini hanya bisa dilakukan oleh fukaha yang tahu seluk beluk kondisi zaman.

Kedua, benturan (tazâhum) antara dua hal wajib. Misalnya, dari satu sisi, waktu shalat amat sempit dan hanya tersisa waktu untuk melaksanakan shalat wajib. Di sisi lain, seorang mukmin akan tenggelam dalam air. Dalam situasi ini, ada dua kewajiban di pundak seorang mukallaf: melaksanakan shalat wajib dan menyelamatkan nyawa orang mukmin. Namun, karena ia hanya bisa melakukan satu kewajiban saja, ia harus memilih di antara keduanya. Di sini akal menghukumi bahwa menyelamatkan nyawa orang mukmin jauh lebih penting dari shalat wajib. Maka itu, menyelamatkan orang tenggelam diprioritaskan atas shalat wajib, walau waktunya akan terlewati.

Ketiga, kewajiban melaksanakan mukadimah amalan wajib. Maksudnya, bila suatu amalan diwajibkan, maka akal menghukumi bahwa mukallaf harus melakukan mukadimah amalan itu sehingga ia bisa melaksanakan amalan wajib itu. Contohnya, bila seseorang wajib melakukan haji, akal menghukumi bahwa ia harus mempersiapkan mukadimah safar supaya ia bisa pergi ke Makkah dan melaksanakan ibadah haji. Menurut akal, melakukan mukadimah hal wajib adalah suatu keniscayaan dan keharusan, walau syariat tidak memberi hukum secara khusus baginya.

Oleh karena itu, akal juga merupakan salah satu sumber hukum agama; sehubungan dengan prinsip-prinsip akidah, ia adalah hujjah dan demikian pula sekaitan dengan proses istinbâth hukum syar`i.


Ijtihad dan Taklid

Dalam bahasa, makna ijtihad adalah usaha keras. Sedangkan dalam istilah, maknanya adalah pengerahan upaya istinbâth dan mengambil hukum syar`i dari sumber-sumbernya seperti al-Quran, hadis Nabi saw dan maksumin, akal, ushûl amaliyah dan kaidah-kaidah general (kulli) yang validitasnya sudah dibuktikan dengan dalil syar`i.

Oleh sebab itu, ijtihad bukan bagian dari sumber hukum syar`i, tapi perantara dan sarana untuk mengambil hukum syar`i dari sumbernya.

Pada zaman Rasul saw, tidak ada ijtihad dalam bentuk seperti sekarang dan memang tidak ada kebutuhan terhadapnya, karena Muslimin memiliki akses kepada Rasul saw dan bisa mengetahui jawaban masalah yang mereka hadapi secara langsung atau dengan perantara. Zaman itu disebut dengan zaman tasyri`.

Semenjak periode kepemimpinan Ali as hingga masa syahadah Imam Askari as, ijtihad juga tidak terlalu dibutuhkan, karena umat Islam dapat berhubungan dengan para pewaris ilmu kenabian (para Imam  as). Para pengikut Ahlulbait as, langsung atau tidak langsung, menanyakan masalah mereka kepada para Imam  as dan memperoleh jawabannya. Dalam periode ini, para Imam maksum as bersungguh-sungguh dalam menyebarkan hukum dan ajaran agama Islam. Para sahabat mereka juga mengerahkan usaha mereka dalam menjaga hadis-hadis dan menyebarkannya. Berkat kesungguhan para Imam  as dan usaha para sahabat mereka, budaya tasyayu` menyebar dan orang-orang Syi’ah sangat berkecukupan dari sisi pengetahuan dan hukum agama. Ratusan buku seputar berbagai topik ditulis di zaman itu. Di era Imam Baqir as dan Imam Shadiq as, Madinah menjadi pusat akademi yang mengajarkan berbagai bidang ilmu dan menyebarkannya ke seantero markas-markas tasyayu`. Dalam era penuh berkah ini, ratusan ulama dan pemikir lahir di tengah masyarakat yang berperan dalam menyebarkan ajaran Ahlulbait as.   

Dengan semua fasilitas ini, orang-orang Syi’ah tidak terlalu membutuhkan ijtihad. Meski demikian, di antara para perawi hadis, ada sebagian fukaha yang menjadi rujukan umat dalam masalah-masalah cabang (far`i). Orang-orang ini memiliki pandangan dan fatwa dalam masalah-masalah fikih dan pendapat mereka dikenal luas di kalangan ulama dan penulis kitab. Yunus bin Abdurrahman dan Zurarah adalah sebagian di antara mereka. [246]

Para Imam as juga menyatakan dukungan kepada orang-orang semacam ini. Ketika ada orang Syam meminta berdialog dalam masalah fikih dengan Imam Shadiq as, beliau berkata kepada Zurarah, “Berdialoglah dengan dia!” [247] Imam Baqir as berkata keapda Aban Taghlib, “Duduklah di mesjid Madinah dan berfatwalah untuk masyarakat, karena aku suka melihat orang-orang sepertimu muncul dari kalangan Syi’ah.” [248]

Imam Shadiq as berkata, “Kami harus memberikan kaidah-kaidah umum kepada kalian dan kalian bertugas untuk mengeluarkan cabang-cabangnya.” [249] Dari sini diketahui bahwa para Imam as memberi perhatian kepada masalah faqahah (kefakihan) dan ijtihad. Berkat perhatian Para Imam as dan usaha para sahabat, muncul beberapa mujtahid yang memiliki kitab fikih dan menjadi rujukan umat dalam masalah-masalah keagamaan. Nama dan kitab sebagian mereka disebut dalam Fihrist Ibnu Nadim. [250]

Walaupun di era para Imam as ada beberapa fakih dari kalangan sahabat mereka yang telah mencapai derajat ijtihad, namun (mereka masih tetap) merujuk kepada para Imam as dan bertanya langsung kepada mereka lebih diprioritaskan.

Namun, dalam masa kegaiban kecil, kondisi Syi’ah Imamiyah berbeda dengan kondisi sebelumnya, karena di satu sisi, jumlah orang-orang Syi’ah bertambah banyak dan di sisi lain, kondisi masyarakat secara umum telah berubah dan muncul banyak masalah baru yang harus diatasi. Sayangnya, Imam keduabelas gaib dan orang-orang Syi’ah tidak dapat berhubungan langsung dengan beliau kecuali melalui para wakil khusus yang dinobatkan secara bergantian. Hubungan inipun tidak bisa memenuhi kebutuhan ilmiah orang-orang Syi’ah secara maksimal.

Di zaman itu, keberadaan ulama dan fukaha yang mampu menutupi kekosongan Imam Mahdi as sangat diperlukan, yaitu orang-orang yang dapat mengambil hukum dari sumber-sumber syariat dan menjadi rujukan Muslimin. Eksistensi mereka sebagai rujukan (marji)` agama sangat dibutuhkan komunitas Syi’ah yang masih muda dan berkat rahmat Allah, mereka berkembang secara bertahap.

Salah satu dari ulama besar zaman itu adalah Ali bin Husain bin Musa bin Babawaih al-Qummi. Fakih besar ini lahir pada permulaan kegaiban kecil. Ia mengalami masa tiga wakil khusus Imam Mahdi as. Pada tahun 328 H ia bertemu dengan Husain bin Ruh (wakil ketiga Imam Mahdi as) di Baghdad dan meninggal pada tahun 329 di Qum sekaligus dimakamkan di sana. Pada masa itu, ia adalah salah satu marji` agama dan figur intelektual yang terkenal. Ia menulis banyak buku dalam berbagai bidang ilmu, seperti asy-Syarai` di bidang fikih. Komunitas Syi’ah sangat berhutang budi kepada jasa-jasa besar ulama ini. [251]

Sepeninggalnya, putranya Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih, yang dikenal dengan Shaduq, juga menjadi salah satu marji` agama umat Syi’ah. Iapun menulis banyak buku dalam berbagai bidang ilmu, termasuk fikih, seperti al-Muqni`, Man La Yahdhuruhu al-Fâqih dan lain sebagainya. Fakih besar ini tinggal di Qum dan selama beberapa waktu, sempat mengajar di Baghdad. Pada penghujung usianya, ia menetap di Rei dan meninggal di tahun 381 H kemudian dimakamkan di sana. [252]

Dua fakih besar ini banyak bersandar pada hadis-hadis dalam berijtihad dan berfatwa.

Salah seorang fakih lain yang hidup di penghujung kgaiban kecil dan permulaan kegaiban besar adalah Hasan bin Ali bin Abi Aqil `Amani. Ia juga salah satu fukaha besar yang memegang marja`iyah Syi’ah dan menyebarkan ilmu-ilmu Ahlulbait as dengan pena dan lisannya. Ia menelurkan banyak karya di berbagai bidang seperti fikih. Karya terpentingnya adalah al-Mustamsik bi Habli Al ar-Rasul. [253]

Muhammad bin Ahmad bin Junaid Iskafi juga hidup pada permulaan kegaiban besar. Sepertinya fakih besar ini juga sempat mengalami masa kegaiban kecil. Ia termasuk ulama dan fukaha abad keempat Hijriyah. Karya-karyanya mencakup berbagai tema dan salah satu karyanya di bidang fikih adalah Tahdzîb asy-Syî’ah lî Ahkâm asy-Syarîah. [254]

Ibnu Junaid mengikuti metode Amani dalam ber-istinbâth. Dua fakih ini termasuk para perintis metode ijtihad yang sahih. Dalam ber-istinbâth, mereka juga menggunakan dalil akal dan memerhatikan semua sumber dan sisi permasalahan. [255]

Metode ijtihad inilah yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Syekh Mufid (336-381 H), salah satu murid istimewa Ibnu Junaid. Salah satu karya fikih Syekh Mufid adalah al-Muqni`ah yang untungnya terlindung dari peristiwa-peristiwa zaman itu dan hingga sekarang dapat dimanfaatkan para pecinta ilmu.

Setelah Syekh Mufid, Sayyid Murtadha (wafat 436 H) menulis al-Intishâr wa an-Nashiriyat, dan Salar bin Abdulaziz (wafat 463 H) menelurkan al-Marâsim sesuai dengan metode ijtihad yang sahih.

Syekh ath-Thaifah, Muhammad bin Hasan Thusi (385-460 H) mengungguli ulama-ulama sebelumnya dalam usaha menyempurnakan metode ijtihad. Ia menimba ilmu dari Syekh Mufid dan Sayyid Murtadha selama 22 tahun di Baghdad, kemudian setelah mereka, ia menjabat sebagai marji` orang-orang Syi’ah. Setelah terjadinya peristiwa-peristiwa memilukan di Baghdad, ia pindah ke Najaf dan mendirikan hauzah ilmiah di sana. Buku-buku seperti al-Khilaf, at-Tadzkîrah dan al-Mabsûth adalah karya-karyanya di bidang fikih. Syekh Thusi adalah orang pertama yang mengembangkan fikih argumentatif (fiqih istidlâli) Syi’ah dan mengeluarkan berbagai permasalahan ushûl.

Para fukaha setelah Syekh Thusi juga mengerahkan usaha mereka dalam menyempurnakan fikih dan ilmu ushul-yang merupakan fondasi istinbâth-hingga proses ijtihad menjadi lebih luas dan mendetail seperti masa sekarang.


Syarat-syarat Ijtihad

Ilmu fikih dan ushul berkembang secara bertahap sehingga menjadi seperti yang kita saksikan di masa kini. Karena itulah, ijtihad dan istinbâth adalah pekerjaan berat dan penuh tanggung jawab yang memerlukan banyak persiapanan dan spesialisasi. Berikut adalah sebagian syarat-syarat bagi seorang mujtahid:

1. Spesialisasi dalam bidang-bidang ilmu yang berhubungan dengan istinbâth hukum, seperti sastra Arab, ilmu hadis (dirayah) , ilmu rijal, ilmu tafsir, penguasaan atas hadis-hadis Nabi saw dan para Imam as serta ilmu ushul.

2. Kecerdasan, kebebasan berpikir dan keberanian dalam mengutarakan kebenaran.

3. Mengenal perkembangan sains dan industri serta pengaruh keduanya dalam kondisi kehidupan individu, sosial, politik dan ekonomi umat Islam.

4. Memerhatikan tuntutan zaman dan tempat serta masalah-masalah kontemporer.

5. Menguasai semua bab dan kitab fikih, termasuk fikih empat mazhab Ahlussunnah.

Orang yang bertahun-tahun sibuk belajar dan mengkaji, mampu untuk sampai ke tingkat ijtihad dan istinbâth. Orang semacam ini memiliki kapasitas untuk mengambil hukum-hukum syariat dari dalil-dalil syar`i terpercaya.

Mujtahid, adalah seorang pakar Islam sejati yang memerhatikan semua peristiwa yang terjadi di dunia dan dampaknya terhadap kehidupan individu, sosial, moral, politik dan ekonomi umat Islam. Dengan visi kefakihan yang dimiliki, ia dapat memecahkan semua masalah yang dihadapi umat dan membimbing mereka menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Fakih sejati mampu memenuhi semua kebutuhan manusia di setiap zaman dan tempat. Selain itu, ia juga bisa mencegah penyimpangan, bid’ah, kesalahan penafsiran dan ekstrimisme. Ia mengambil solusi yang absah (masyru`) dan sesuai kondisi zaman, kemudian mempersembahkannya ke negara dan masyarakat Islam. Dengan ini, praktis ia telah membuktikan kekekalan Islam sebagai undang-undang terbaik bagi manusia.

Dalam hadis-hadis, mujtahid semacam ini disebut sebagai pewaris para nabi as dan sentral pembelaan terhadap Islam.

Imam Shadiq as berkata, “Orang yang tahu kondisi zamannya, tidak akan diserang oleh kekeliruan.” [256]

Ali bin Hamzah berkata, “Aku mendengar Imam Musa bin Ja`far as mengatakan, ‘Setiap kali seorang mukmin meninggal dunia, maka para malaikat akan menempati bumi yang enjadi tempat ibadahnya dan pintu-pintu langit yang menjadi tempat masuk amal-amalnya akan menangisinya. Akan terjadi sebuah kekosongan dalam Islam yang tidak bisa ditutupi apapun, karena orang-orang mukmin adalah penjaga Islam, bak tembok yang melindungi kota dari musuh.’” [257]


Taklid

Makna taklid adalah mengikuti seorang fakih dan mengambil hukum darinya. Mujtahid yang memenuhi syarat adalah spesialis dalam istinbâth hukum. Maka itu, orang-orang yang tidak memiliki spesialisasi di bidang ini harus merujuk kepada seorang fakih, karena merujuknya orang awam kepada para pakar di suatu bidang adalah hal yang manusiawi dan didukung akal, seperti orang sakit yang merujuk ke dokter, mahasiswa kepada dosen, petani kepada insinyur pertanian dan semacamnya.

 

196. Misalnya, ketika pasangan pria dan wanita mengucapkan ijab dan kabul, maka hukum wadh`i perkawinan tercipta antara mereka berdua dan efek hukum ini adalah mereka bisa saling menyentuh dan memandang tanpa diharamkan lagi—pent.
197. QS. al-Isra:9.
198. QS. Fushilat:3.
199. QS. al-Maidah:15-16.
200. QS. Yusuf:1.
201. QS. Shad:29.
202. QS. al-An`am:155.
203. QS. al-An’am:19.
204. Shahîh Muslim, 4/1873.
205. QS. Muhammad:23.
206. QS. al-Ahzab:21.
207. Shahîh Bukhârî, 4/52.
208. Shahîh Muslim, 2/943.
209. Mustadrak al-Hâkim, 3/109.
210. Ansâb al-Asyrâf, 2/110.
211. Majma` az-Zawâid, 9/162.
212. Târîkh Baghdad, 8/424.
213. Musnad Ahmad bin Hanbal, 3/59.
214. Yanâbi` al-Mawaddah, 41.
215. Ash-Shawâiq al-Muhriqah, 150.
216. Majma` az-Zawâid, 9/168.
217. QS. al-Ahzab:33.
218. Mustadrak al-Hakim, 3/146.
219. Usud al-Ghabah, 2/12.
220. Shahîh Muslim, 4/1883.
221. Farâid as-Simthayn, 2/133.
222. Masalah imamah dan kemaksuman membutuhkan kajian luas dan mendetail yang sayangnya tidak bisa dipaparkan di sini. Bila ada kesempatan di waktu yang akan datang, kami akan membahasnya.
223. QS. al-Haqqah:12.
224. Manâqib al-Khawarizmi, 199.
225. Ibid.,
226. Yanâbi` al-Mawaddah, 79.
227. Nahj al-Balâghah, khotbah 192.
228. Ansâb al-Asyraf, 2/98.
229. Al-Kâfî1/64.
230. Thabaqat Ibnu Sa’ad, 2/338.
231.  Usud al-Ghâbah, 4/22.
232. Yanâbi` al-Mawaddah, 82.
233. Ibid.,
234. Farâid as-Simthayn, 2/97.
235. Mustadrak al-Hakim, 3/122.
236. Manâqib Khawarizmi, 39.
237. Yanâbi` al-Mawaddah, 22.
238. Al-Kâfî, 1/241.
239. Jâmi` Ahâdits asy-Syî`ah, 1/10.
240. Ibid., 13.
241. Al-Kâfî,1/53.
242. QS. al-Baqarah:164.
243. QS. al-Mukminun:78-80.
244. Al-Kâfî,1/25.
245. Ibid.,
246. Al-Kâfî, 7/83.
247. Qamus ar-Rijâl, 4/156.
248. Ibid., 1/73.
249. Wasâil asy-Syî’ah, 27/61.
250. Fihrist Ibnu Nadim, 317-328.
251. Bahjat al-Amal 5/416; Loghatname-e Dehkhuda ‘Ibnu Babawaih’ dan Farhang-e Mo`in jil 15 ‘Ibnu Babawaih’.
252. Bahjat al-Amal 6/495; Loghatname-e Dehkhuda ‘Ibnu Babawaih’ dan Farhang-e Mo`in jil 15 ‘Ibnu Babawaih’.
253. Bahjat al-Amal, 3/150-154.
254. Ibid., 6/241-250.
255. Ibid., 3/150-153 dan 6/241-250.
256. Al-Kâfî,1/26.
257. Ibid., 38.